Renungan Minggu, 28 Desember 2014: Keluarga Kudus Nazaret

 
Hari Raya Keluarga Kudus
 
 Kej 15:1-6,21:1-3; Mzm 105; Ibr 11:8,11-12,17-19; Luk 2:22-40

Hari Raya Keluarga Kudus menjadi muara perkembangan yang panjang. Pesta ini baru dirayakan seluruh Gereja tahun 1895, kala Paus Leo XIII (1878-1903) menetapkan perayaan ini pada hari Minggu ketiga sesudah Penampakan Tuhan. Kemudian St Yohanes XXIII (1958-1963) memindahkan perayaan ini pada hari Minggu sesudah Hari Raya Kelahiran Yesus.

Pemindahan dan penempatan Hari Raya itu, pastilah mengandung pesan iman. Yang mau ditegaskan, keluarga merupakan bagian karya penyelamatan Allah. Artinya, keluarga adalah persekutuan hidup –dalam bahasa alkitabiah, Gereja kecil– yang dipakai Allah dalam melaksanakan rencana penyelamatan- Nya. Dalam Keluarga Kudus Nazaret, Yesus lahir, dididik hingga “bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada- Nya” (Luk 2:40) dan akhirnya siap melaksanakan perutusan yang harus diselesaikan- Nya.

Seperti apakah Keluarga Kudus sehingga Anak yang lahir di dalamnya menjadi penuh hikmat dan kasih karunia Allah ada pada-Nya? Jawabannya antara lain dapat ditemukan dalam dua pribadi yang disebut dalam Luk 2:22-40, yaitu Simeon (Luk 2:25) dan Hana (Luk 2:36). Tak ada keterangan apakah Simeon pernah berkeluarga. Sementara Hana adalah seorang janda. Yang jelas, mereka berdua termasuk dalam kelompok yang sering disebut “orang-orang yang cinta damai di negeri” (bdk. Mzm 35:20). Mereka hidup dengan spiritualitas tertentu. Spiritualitas atau semangat hidup mereka lebih mudah dipahami jika dibandingkan dengan semangat hidup kelompok lain yang merupakan arus besar pada zaman itu. Bangsa Yahudi yakin, sejak semula mereka adalah bangsa terpilih dan yakin pula pada suatu saat mereka akan menjadi penguasa dunia dan semua bangsa lain tunduk pada mereka. Karena itu, mereka mengharapkan datangnya tokoh istimewa yang akan mewujudkan keyakinan ini; dan sebagian percaya tokoh ini akan muncul dari wangsa Daud. Dengan kata lain, kelompok arus besar ini mengharapkan seorang pembebas dari garis Daud yang akan datang dengan kekuatan dan kekuasaan.

Sementara Simeon dan Hana, “orang-orang yang cinta damai di negeri”, hidup dalam penantian akan janji Allah dengan doa yang tekun dan sabar. Simeon menantikan penghiburan bagi umat. Penantian itu terpenuhi ketika ia datang ke Bait Allah oleh Roh Kudus, melihat Yesus yang muncul tidak dengan kekuasaan dan kekuatan. Bagi Simeon, Yesus yang dipersembahkan kepada Tuhan di Bait Allah ialah kepenuhan penantian dan harapannya. Karena sudah tak ada yang dinantikan dan diharapkan lagi, Simeon mohon pada Tuhan agar ia dibiarkan pergi dalam damai sejahtera.

Hana disebut sebagai nabi perempuan. Ia janda berusia 84 tahun dan hanya sempat hidup bersama suaminya selama tujuh tahun. Dengan riwayat hidup seperti ini, bisa dibayangkan, hidupnya berbeban. Ternyata beban itu tak membuat hidupnya pahit. Sebaliknya, pengalaman hidup membuatnya tegar dan makin dekat dengan Tuhan. Dalam usia uzur, ia tetap berharap dan meneguhkan harapannya dengan berpuasa dan berdoa (Luk 2:36-38). Akhirnya, ia pun berbicara tentang Yesus yang dipersembahkan ke Bait Allah sebagai kepenuhan harapannya sendiri dan harapan seluruh bangsanya.

Dalam Gereja Katolik, perkawinan adalah sakramen. Melalui sakramen perkawinan, dianugerahkan rahmat yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan perkawinan. Adapun salah satu tujuan sakramen perkawinan adalah agar keluarga yang dibangun olehnya menjadi Injil –warta gembira bagi Gereja dan dunia– seperti keluarga Nazaret, Simeon dan Hana. Rahmat itu tak datang dengan sendirinya, tapi mesti selalu dimohon. Berikut ini adalah bagian doa yang ditawarkan dalam bagian terakhir pesan yang disampaikan Paus Fransiskus bersama dengan para peserta Sinode Luar Biasa mengenai keluarga pada Oktober 2014.

“Bapa, anugerahkanlah kepada semua keluarga, mempelai-mempelai yang kuat dan bijaksana, agar mereka menjadi dasar keluarga yang merdeka dan bersatu. Bapa, anugerahkanlah kepada semua orangtua, agar mereka mempunyai rumah tempat mereka boleh hidup dalam damai dengan keluarga mereka. Bapa, buatlah agar anak-anak menjadi tanda kepercayaan serta harapan dan agar orang-orang muda boleh memiliki keberanian untuk menempa komitmen kesetiaan seumur hidup.”

Renungan Rabu, 24 Desember 2014: Nama Besar

 
Pekan Biasa Khusus Adven IV
 
2Sam 7:1-5, 8b-12, 16; Mzm 89; Luk 1:67-79

Pernahkah Anda bercita-cita menjadi orang hebat, punya nama besar dan berkuasa? Sekiranya menjadi kenyataan, sampai berapa lama kehebatan dan kebesaran itu dapat Anda nikmati? Lalu masih dapat dikenang berapa lama oleh anak cucu? Banyak orang terobsesi meraih nama besar dengan menempuh segala cara sampai mengorbankan hakikat dan makna hidup. Berjuang tanpa arah yang benar dan bekerja keras tanpa mencapai tujuan. Betapa melelahkan bukan? Kemegahan dunia dan kejayaan manusia akan lenyap.

Tuhan memiliki rancangan dan Ia hendak bertindak atas kita seperti yang Ia janji kan kepada keturunan Daud melalui Nabi Natan, “Aku membuat besar namamu seperti nama orang-orang besar yang ada di bumi.... Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan- Ku, takhtamu akan kokoh untuk selama-lamanya” (7:9,16). Allah menawarkan yang tak bisa diberikan dunia kepada kita; kebesaran yang kokoh, kejayaan abadi, dan kemuliaan kekal.

Imanuel, Allah beserta kita, menghidupkan bumi dengan kuasa-Nya yang tak akan sirna dan melindungi manusia dengan nama-Nya yang besar untuk selama-lamanya. Dialah Sang Surya Pagi yang memancarkan terang bagi bangsa-bangsa yang hidup dalam kegelapan. Dari tempat- Nya yang mahatinggi, Dia akan melawat kita. Maranata! Datanglah Tuhan!


Renungan Sabtu, 20 Desember 2014: Bersedia Ikut Serta

 
Hari Biasa Khusus Adven III
 
 Yes 7:10-14; Mzm 24; Luk 1:26-38

“Ecce ancilla Domini fiat mihi secundum verbum tuum” (Luk 1,38). Inilah kata-kata yang menutup dialog antara Maria dengan Malaikat Gabriel yang kemudian menjadi sangat terkenal dan mengilhami banyak orang. Tiga kali dalam sehari kita mendaraskan dalam doa Angelus. Jelas, kata-kata ini merupakan kesediaan untuk ikut serta dalam karya Tuhan dengan segala risiko. Bunda Maria tentu mengungkapkan kalimat ini setelah dia menimbang-nimbang kata-kata malaikat yang mendatangi dia.

Seperti yang saya renungkan pada hari-hari ini, Tuhan tampaknya membutuhkan kerja sama manusia untuk dapat mewujud kan karya keselamataan-Nya. Seandai nya Bunda Maria menolak, Tuhan tetap tidak akan merampas kebebasan manusia untuk menyatakan pendapat. Tapi meskipun demikian, kita tetap boleh yakin bahwa karya Tuhan tetap akan terwujud karena “tidak ada satu pun dari firman-Nya itu yang dibiarkan-Nya gugur” (bdk. 1Sam 3,19). Tetapi ketika Bunda Maria mengungkapkan fiat-nya, maka ini merupakan keputusan dewasa yang lahir dari kemerdekaan yang murni untuk bekerja sama dengan Allah, dengan segala risiko yang mengiringi. Kalau sudah demikian, tak ada lagi tempat untuk mengeluh dan mempersalahkan pihak lain!

Lalu? Tuhan sangat menjunjung tinggi manusia dengan kebebasan. Persoalannya, bagaimana kita mau memanfaatkan kebebasan ini? Untuk kemuliaan Tuhan atau untuk kemuliaan kita?

Renungan Jumat, 19 Desember 2014: Yohanes Pembaptis

 
Hari Biasa Khusus Adven III
 
Hak 13:2-7.24-25a; Mzm 71; Luk 1:5-25

Yohanes Pembaptis yang kelahirannya dinubuatkan dalam Injil hari ini merupakan tokoh yang secara khusus memper siapkan kedatangan Yesus. Ia menjadi contoh orang yang bisa melayani Yesus, mempersiapkan jalan bagi Yesus. “Ia menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya” (Luk 1:17). Seruan pertobatan yang ia warta kan mempersiapkan orang untuk menyambut Sang Terang sejati “yang sedang datang ke dalam dunia” (bdk. Yoh 1:8).

Rencana keselamatan Allah yang memasuki babak penting dengan kelahiran Yesus ke dunia ini masih perlu secara konkret diwujudkan di dunia ini. Masih dibutuhkan partisipasi banyak orang untuk ikut membangun Kerajaan Allah, se hingga semakin banyak orang bisa merasakan keselamatan yang dari Allah itu. Tanpa kecuali, semua mendapat kesempatan ambil bagian dalam karya agung ini. Yohanes Pembaptis menjadi contoh ideal, justru karena ia mengatakan “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh 3:30). Lalu? Menjadi seperti Yohanes Pembaptis memang bukan pilihan populer. Berani menerima tantangan ini?

Lalu? Menjadi seperti Yohanes Pembaptis memang bukan pilihan populer. Berani menerima tantangan ini?


Renungan Kamis, 18 Desember 2014: Sabda Jadi Daging

 
Hari Biasa Khusus Adven III
 
Yer 23:5-8; Mzm 72; Mat 1:18-24

Misteri inkarnasi, Firman yang menjadi daging, sungguh-sungguh merupakan misteri Allah yang turun ke dunia. Dia yang penuh kuasa rela turun menjadi manusia yang lemah dan sepenuhnya menggantungkan nasib kepada manusia. Ketakberdayaan Yang Kuasa ini sudah tampak sejak Sang Firman berada dalam gua garba Bunda Maria. Yusuf sudah mau menceraikan Maria, ketika ia mengetahui bahwa tunangannya hamil. Hanya oleh desakan Malaikat Tuhan, Yusuf bersedia mengambil Maria dan dengan demikian menjadi ayah Yesus secara hukum. Kelahiran Sang Firman ke dunia ini bisa terjadi, karena ada manusia yang bersedia melayani-Nya, meskipun mengurbankan kepentingan sendiri.

Sampai kini pun rasanya masih sama. Sesuai dengan janji-Nya, Tuhan Yesus masih tetap menyertai kita sampai pada akhir zaman (bdk. Mat 28:20). Akan tetapi, untuk melahirkan Sang Firman dalam kehidupan manusia zaman modern ini, diperlukan orang-orang yang bersedia mengurbankan diri dengan menjadi tangan, kaki, atau bibir Tuhan untuk mendatangi dan menyapa sesama. Dulu, Maria dan Yusuf yang bersusah payah berkurban untuk menghadirkan Yesus di dunia. Sekarang, orang Kristen juga mesti bersusah payah menampakkan Yesus di dunia ini melalui hidup dan tindakan.

Lalu? Semoga Natal nanti menjadi kesempatan bagi kita untuk bersama Ibu Maria dan Bapa Yusuf melahirkan Sang Penyelamat dalam hidup kita sehari-hari.


Renungan Rabu, 17 Desember 2014: Silsilah Yesus

 
Hari Biasa Khusus Adven III
 
Kej 49:2.8-10; Mzm 72; Mat 1:1-17

Silsilah biasa ditulis mundur, dari generasi sekarang sampai ke nenek moyang. Demikian juga dengan silsilah Tuhan Yesus. Dari Tuhan Yesus, orang lalu merunut kebelakang dan menyusun silsilah. Dikatakan bahwa masing-masing ada empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud, dari Daud sampai pembuangan Babel, dan dari pembuangan Babel sampai Kristus (ay. 17).

Melalui silsilah itu, mau dinyatakan betapa Allah dengan sabar mempersiapkan rencana-Nya dengan sangat rinci dan persis. Kalau diperhatikan, juga tampak bahwa nenek moyang Tuhan Yesus bukanlah para tokoh istimewa yang menjadi pahlawan pada setiap generasi. Bahkan, ada juga orang-orang yang di kenal justru karena dosanya. Daud dan Salomo adalah raja-raja besar yang juga berbuat dosa besar. Tetapi ternyata dosa manusia tidak harus menjadi penghalang mewujudkan rencana keselamatan Allah. Logika Allah tidak sama dengan logika manusia.

Lalu? Masing-masing dari kita mempunyai tempat dan peranan juga dalam sejarah keselamatan Allah. Apakah kita menyadari dan berusaha mewujudkan?

Renungan Selasa, 16 Desember 2014: Mewujudkan Iman

 
Pekan Adven III
 
 Zef 3:1-2.9-13;Mzm 34; Mat 21:28-32

Sebenarnya ada masalah tekstual dalam bacaan hari ini. Coba periksa Alkitab Anda! Apa sebenarnya jawaban dari anak yang pertama kali ditanya bapa nya? (ay. 29). Menjawab ‘Aku tidak mau’, tapi ia berangkat atau menjawab ‘ya’, tapi tidak berangkat? Lalu, siapa di antara mereka yang dinilai melakukan kehendak bapanya? (ay. 31). Yang pertama atauyang terakhir? Lectionarium dan Alkitab yang dimiliki oleh kebanyakan dari Anda berbeda dengan Perjanjian Baru edisi revisi yang terbit 1997.

Kesempatan seperti ini tentu bukan saat untuk menjelaskan persoalan teks seperti itu. Cukup bagi kita untuk menegaskan bahwa teks manapun yang diambil, perumpamaan ini mau menunjuk kan bahwa mengatakan ‘ya’ kepada Tuhan, mesti diiringi dengan langkah-langkah hidup yang sesuai. Menjadi Kristen bukan sekadar menerima Sakramen Baptis, tetapi juga cara menghidupi iman Kristen itu. Mesti ada keselarasan antara yang diungkapkan di bibir dan yang diwujudkan dalam hidup sehari-hari.

Lalu? Masa Adven rasanya merupakan kesempatan yang tepat untuk merenung. Kita bersiap merayakan kelahiran Tuhan mungkin dengan macam-macam kegiatan. Tetapi apakah Tuhan juga lahir dalam hidup keseharian kita?

Renungan Sabtu, 13 Desember 2014: Elia yang Baru

 
Pw S. Lusia, PrwMrt.
 
 Sir 48:1-4,9-11; Mzm 80; Mat 17:10-13

Santa Lusia adalah martir kemurnian. Ia meninggal pada usia yang masih muda. Latar belakang keluarga Katolik yang saleh membuat Lusia setia dalam iman serta mempertahankan kemurnian demi kasih kepada Kristus. Ia tekun berdoa dan menolong orang-orang miskin. Santa Lusia bagaikan Elia yang baru pada zamannya.

Bacaan hari ini mengingatkan kita pada sosok Nabi Elia. Dalam Perjanjian Lama pernah disebutkan bahwa Elia akan datang lebih dulu sebelum kedatangan Mesias. “Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari Tuhan yang besar dan dahsyat itu” (Maleakhi 4:5). Akan tetapi, Yesus memberitahu para murid bahwa yang dimaksud Nabi Elia janganlah diartikan secara harfiah sebagai kedatangan personal Elia.

Yohanes Pembaptis adalah Elia yang baru pada zaman Yesus yang datang mendahului- Nya. Banyak orang tidak mengindahkan, bahkan bertindak seenaknya terhadap Yohanes Pembaptis. Namun banyak pula yang mendengarkan dia dan turut mempersiapkan kedatangan Tuhan. Bagaimana dengan kita pada zaman sekarang? Apakah kita cukup peka untuk melihat dan mendengarkan seruan Elia yang baru?

Renungan Jumat, 12 Desember 2014: Memperhatikan Tuhan


Pekan II Adven

Yes 48:17-19; Mzm 1; Mat 11:16-19

Dalam Kitab Yesaya dikatakan, “Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah- Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti” (Yes 48:18).

Pada masa Adven ini, kita diberi kesempatan untuk memperhatikan Tuhan secara khusus. Pada pengujung tahun, saat ada masa liburan dan umat beriman antusias mempersiapkan hari raya Natal, saat ini lah semangat kita untuk memperhatikan Tuhan lebih menyala. Kebersamaan dalam keluarga juga lebih terasa menjelang Natal. Maka, gunakanlah kesempatan ini untuk lebih memperhatikan anggota keluarga.

Jangan lupa juga memperhatikan masyarakat di sekitar kita, terutama mereka yang kekurangan dan sedang menderita. Sebab, kita pun memperhatikan Tuhan melalui mereka. Saat kita sungguh memperhatikan Tuhan, Ia akan menuntun untuk melakukan yang benar menurut ke hendak-Nya. Dengan begitu, hidup kita selalu diberkati, karena dekat dengan-Nya. Lewat Injil hari ini, Yesus mengajarkan untuk selalu memperhatikan dengan benar dan bertindak dengan bijaksana. Percayalah bahwa kita akan dipenuhi dengan damai sejahtera dan kebahagiaan setiap hari, bila kita lebih memperhatikan-Nya. Mampukah aku menjadi pribadi yang memperhatikan Tuhan, keluarga, dan masyarakat?

Renungan Kamis, 11 Desember 2014: Berani Aktif

 
Pekan II Adven
 
Yes 41:13-20, Mzm 145; Mat 11:11-15

Yesus pernah mengatakan, “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!” Seruan ini keras sekaligus menguatkan. Ia ingin supaya orang-orang beriman mengambil bagian secara aktif dalam transformasi Gereja yang berlangsung terus-menerus. Kalau masih banyak keluarga Katolik yang belum berani terlibat aktif dalam hidup menggereja dengan berbagai alasan, mestinya mereka jangan takut, sebab Tuhan sendiri yang memegang tangan kanan umat-Nya dan menolong mereka. Langkah pertama yang paling penting adalah berani menyediakan waktu.

Pembelajaran yang hebat adalah ada keluarga-keluarga Katolik yang meskipun sedang menghadapi tantangan dan cobaan hidup yang berat, masih mau menyediakan waktu untuk aktif dalam kegiatan menggereja. Mereka mampu melakukan dengan keberanian, iman, dan kasih. Mereka tidak menganggap beban hidup sebagai penghalang untuk melayani Tuhan dan sesama. Bagaimana dengan kita? Apakah kita dan keluarga kita sudah berani aktif melayani Tuhan dan sesama?

Renungan Rabu, 10 Desember 2014: Kekuatan Baru

 
Pekan II Adven
 
 Yes 40:25-31; Mzm 103; Mat 11:28-30

Tantangan terbesar dalam sebuah keluarga adalah kesetiaan, baik itu kesetiaan antara suami dan istri maupun antara orangtua dan anak. Keluarga membutuhkan iman yang kuat, kerendahan hati, kepedulian, dan waktu yang berkualitas dalam keluarga. Namun, tuntutan hidup dan berbagai godaan seringkali menjadi alasan berkurangnya waktu untuk memperhatikan keluarga. Kalau sudah begitu, biasanya sangat mudah terjadi perselisihan. Beban pribadi dan keluarga yang dipikul pasti terasa berat.

Bacaan hari ini mengingatkan kita untuk selalu berharap kepada Tuhan, menanti kan pertolongan-Nya yang memberikan kekuatan baru bagi kita untuk mengatasi segala beban hidup di dunia. Dengan kekuatan baru dalam iman, harapan, dan kasih, kita dikuatkan untuk memikul salib kita tanpa kenal lelah.

Yesus tidak bermaksud mengangkat semua beban hidup kita. Ia ingin, kita tetap berusaha. Ia memberi pertolongan kepada orang yang mau datang kepada-Nya. Pertolongan itu berupa sarana untuk memikul beban yang dalam perumpamaan disebut kuk. Sarana yang dimaksud Yesus adalah iman, harapan, dan kasih yang akan membantu kita melihat dan merasakan belas kasih Allah dalam kehidupan kita. Yesus adalah Guru yang sabar dan rendah hati, Ia senantiasa mengajarkan untuk mau berkurban dan saling memaafkan. Inilah panggilan bagi keluarga-keluarga kristiani yang sejati.

Renungan Selasa, 09 Desember 2014 : Melawat Umat-Nya

 
Pekan II Adven
 
Yes 40:1-11; Mzm 96; Mat 18:12-14

Siapa yang tidak senang jika di kunjungi orang yang sangat dikasihi? Pasti kita akan mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum bertemu. Begitu pula dengan orang-orang yang mengasihi Tuhan. Mereka akan mempersiapkan diri untuk kedatangan-Nya. Meski tidak ada yang tahu kapan Tuhan akan datang, namun kuncinya adalah kesetiaan karena iman.

Tuhan tidak terlihat, tapi Tuhan selalu setia kepada umat-Nya. Ia menjanjikan keselamatan bagi seluruh umat manusia. Ia mau turun ke dunia untuk melawat umat-Nya. Tidak hanya melawat, tapi Ia tinggal, melayani, dan menebus dosa-dosa umat manusia. Ia juga tidak memilih siapa yang akan diselamatkan. Justru, Ia datang mencari dan memberi perhatian khusus kepada orang-orang berdosa.

Yesus datang ke dunia dengan misi mencari dan menyelamatkan yang hilang (Luk 19:10). Ia memanggil orang-orang yang dikucilkan dan tidak terhormat (Mat 9:13). Sikap Yesus inilah yang harus kita perbuat kepada orang-orang di luar Gereja, misal kepada masyarakat yang terpinggirkan. Apakah kita hanya sibuk dan nyaman melayani keluarga sendiri, atau kita juga berani menyelamatkan sesama yang terpinggirkan?

Renungan Senin, 08 Desember 2014: Hidup Suci

 
Hari Raya SP Maria Dikandung Tanpa Noda
 
Kej 3:9-15, 20; Mzm 98; Ef 1:3-6,11-12; Luk 1:26-38

Kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa disebabkan godaan iblis. Sejak itu, Allah mengadakan permusuhan antara iblis dengan manusia. Tapi sayang, manusia sepertinya lebih mudah berteman dengan iblis, daripada bermusuhan dengan iblis. Banyak godaan dalam pikiran dan perasaan yang membuat manusia sulit hidup suci luar dalam, begitu juga dalam keluarga. Tantangan dan cobaan bagaikan bayangan gelap yang sering muncul dalam rumah. Jika ditanggapi, bayangan gelap itu akan melahirkan dosa dan merusak keharmonisan keluarga.

Namun, Allah tetap mencintai manusia. Ia selalu ingat janji setia kepada umat- Nya. Manusia yang meyakini janji setia Allah akan melihat keselamatan. Sebab sesungguhnya manusia memperoleh jalan kepada pembebasan dan keselamatan sejak Allah menciptakan manusia, diingat kan melalui kedatangan Kristus, dan di penuhi pada saat kebangkitan-Nya.

Allah menciptakan manusia kudus dan tanpa cacat sejak semula. Manusia yang setia menjaga kekudusan pasti beroleh kasih karunia Allah. Bukti nyatanya adalah Bunda Maria. Penyertaan Tuhan atas Bunda Maria memberi kekuatan sebagai Bunda Kristus sekaligus Bunda Gereja. Kunci hidup suci meneladan Bunda Maria adalah kerendahan hati dan kedekatan dengan Tuhan. Teladan ini harus dimulai pertama-tama dari lingkup keluarga. Apakah keluarga saya mampu bersikap rendah hati dan mau dekat dengan Tuhan?

Renungan Minggu, 07 Desember 2014: Sukacita dalam Roh Kudus

 
Minggu Adven II
 
Yes 40:1-5,9-11; Mzm 85; 2Ptr 3:8-14; Mrk 1:1-8

Pada akhir masa pembuangan di Babilonia, tanda-tanda kedatangan penyelamat Israel semakin dirasakan nabi Yesaya (Deutero Yesaya). Ia menyerukan warta sukacita Allah, “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku … ” (Yes 40:1). Nubuat itu terpenuhi ketika Koresh Agung, Raja Persia, mengeluarkan surat perintah yang mengizinkan orang Yahudi kembali ke Yerusalem (538 SM).

Yohanes Pembaptis pun merasakan kedatangan Sang Juru Selamat, Yesus Kristus kian dekat dan mempersiapkan jalan bagi-Nya. Nubuat itu terjadi ketika ia berjumpa dengan Yesus di Sungai Yordan. Bahkan, dialah yang membaptis-Nya. Namun, Yohanes sadar bahwa sesudah dia, akan datang Dia yang lebih berkuasa. “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus” (Mrk 1:8).

Apa artinya Yesus akan membaptis kita dengan Roh Kudus? Pertanyaan itu muncul dalam pikiran saya ketika Sidang Tahunan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2014, selama para uskup mempelajari Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium (EG). Buah pembelajaran para uskup tertuang dalam Pesan Sidang Tahunan KWI 2014. (Baca: http://www.hidupkatolik.com/2014/12/05/pesan-sidang-tahunan-2014-kwi).

“Sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus” (EG. 1). Perjumpaan dengan- Nya menjadi alasan utama mengapa murid- Nya mewartakan sukacita Injil kepada orang lain. Panggilan menjadi murid memuat tugas perutusan untuk membangun persaudaraan baru. Kepada para murid, Yesus telah memberikan amanat perutusan Tuhan, “…pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Mat 28:19). Agar Kerajaan Allah hadir secara nyata dan Injil tetap diwartakan, Kristus mendirikan Gereja- Nya, himpunan orang beriman Kristiani berkat baptisan air yang menjadikan seseorang anggota Gereja, Tubuh Kristus. Kita berdoa dan bersyukur karena rahmat-Nya, Gereja tumbuh, berakar, mekar, dan berbuah di Indonesia.

Kristus membaptis dengan Roh Kudus (bdk. Mrk 1: 8). Roh Kudus mengubah manusia lama yang dikuasai dosa menjadi manusia baru, yakni kepada mereka yang menerima maupun yang tidak menerima baptisan air. Bagaimana Roh Kudus bekerja ditegaskan oleh Bapa Suci: “Roh Kudus dapat dikatakan memiliki kreativitas tak terbatas, tepat untuk pikiran ilahi, yang tahu bagaimana melonggarkan simpul-simpul permasalahan manusia, bahkan yang paling rumit dan sulit dipahami” (EG.178).

Roh Kudus yang bekerja dalam diri Yesus memampukan- Nya untuk melaksanakan kehendak Allah secara tuntas dengan bersedia menapaki jalan salib menuju kematiaan-Nya di Golgota. Di puncak Golgota, Yesus Kristus diakui sungguh Anak Allah (bdk. Mat 27:54). Dalam Yesus, kita menemukan pola hidup sebagai Anak Allah, pola dasar untuk membangun persaudaraan sejati dengan siapa saja dan apa saja. Bagaimana persaudaraan sejati itu dibangun di Indonesia? Dalam Pesan Sidang para Uskup ditegaskan: “Di bumi Indonesia yang majemuk, beriman berarti beriman dalam kebersamaan dengan yang lain, yang berbeda agama, suku, ras dan golongan. Dialog antaragama memerlukan sikap terbuka terhadap kebenaran dan terhadap kasih” (EG.250). Membangun persaudaraan sejati tak cukup dengan sikap toleran, sekadar menerima yang lain karena ada, tapi dibutuhkan sikap kasih terhadap yang lain, dan saling menghormati untuk mewujudkan persaudaraan sejati antarsesama manusia dan semua makhluk, di mana Alllah menjadi Bapa bagi semua.

Dewasa ini, kita merasakan hembusan Roh Kudus yang bekerja secara kreatif untuk membangun bangsa Indonesia melalui orang-orang yang berkehendak baik. Bangsa Indonesia sedang merasakan tanda-tanda zaman dengan terpilihnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Kesediaannya untuk mengemban tugas kepemimpinan dengan semangat pelayanan dalam pemerintahan yang bersih menjadi harapan bagi banyak orang untuk membangun masa depan lebih baik. Kiatnya mengadakan revolusi mental merupakan ajakan pertobatan bagi seluruh bangsa untuk membangun Indonesia Baru.

Memasuki Minggu Adven II, marilah kita bersuka cita dalam Roh Kudus. Allah telah menitipkan pesan-Nya, “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku …” (Yes 40:1), karena ’ Sang Juru Selamat kita segera datang.

Renungan Sabtu, 06 Desember 2014: Inisiatif Allah

 
Pekan I Adven
 
 Yes 30:19-21,23-26; Mzm 147; Mat 9:35-10:1,6-8

Ketika pertama kali memanggil para murid, Yesus mengatakan, “Ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala ikan.” (Mat.4:19). Tugas menjadi ‘penjala ikan’ merupakan tugas pengadilan, yaitu memilah yang baik dan yang buruk, seperti digambarkan Mat 13:46-47.

Hal yang sama juga terkandung dalam ungkapan therismos (Yun. tuaian), yang dipakai Mat 9:37, 13:30, dan 13:39. Nuansa pengadilan dalam Kerajaan Allah sangat kuat. Seperti penjala, para penuai juga bertugas membuat pemisahan; menyimpan gandum yang baik ke dalam lumbung dan mencabut serta membuang ilalang ke dalam api. (Mat 13:30). Karena tugas pengadilan ini, maka pekerja tuaian tak dipilih oleh sistem manusia, tetapi oleh sistem illahi. “Mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Dia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu.” (Mat 9:38).

Panggilan menjadi Kristen, dengan tugas ikut serta dalam pengadilan Kerajaan Allah, bukanlah usaha atau inisiatif manusia. Keselamatan tak bisa diupayakan sendiri oleh manusia. Di sinilah, panggilan menjadi penuai menjadi sesuatu yang mengagumkan. Aksi panggilan yang paling tepat adalah ‘berdoa memohon kepada Allah untuk mengutus para penuai yang segera menjawab panggilan tersebut’..

Renungan Jumat, 05 Desember 2014: Kasihanilah Kami

 
Pekan I Adven
 
Yes 29:17-24;Mzm 27; Mat 9:27-31

Zaman kemajuan teknologi komunikasi telah memunculkan, yang oleh Bertram Gross (1964) disebut information overload. Orang banyak mendapatkan informasi, sehingga tak mampu lagi membuat keputusan. Ia menjadi ‘buta’, tak tahu arah bersikap, atau tak tahu prinsip yang harus dipegang. Yang kemudian terjadi, mengikuti trend tanpa harus berpikir, atau kembali kepada dirinya, menjadi narsis.

Dalam hal ini, penyembuhan mata dua orang buta dalam Mat 9:27-31 menjadi relevan. Kedua orang buta itu berteriak, “Eleson hemas” (Yun. kasihanilah kami). Sesuai artinya, dalam kata ‘eleos’ (belas kasih) terkandung perasaan hati yang sedih karena penderitaan. Kedua orang buta itu melihat kebutaan sebagai penderitaan yang tak dapat ditangani manusia. Maka, mereka mengandalkan masa depan kepada Yesus. Ada nuansa iman dalam teriakan, “eleson hemas”. Iman itulah yang kemudian menyembuhkan.

Satu dampak terbesar dari information overload adalah manusia tenggelam dalam lautan informasi. Tak ada lagi prinsip hidup atau iman kokoh yang menjadi acuan. Inilah situasi culture of death, kata St Yohanes Paulus II. Masalah ini tak cukup diatasi dengan kecanggihan ilmu. Yang dibutuhkan adalah kembali kepada Allah, di mana terdapat ‘segala sesuatu yang ada di bumi maupun di sorga’

Renungan Kamis, 04 Desember 2014: Dimensi Sosial Iman

 
Pekan I Adven
 
Yes 26:1-6;Mzm 118; Mat 7:21,24-27

Dalam ilmu bangunan, fondasi dasar merupakan yang paling utama. Ia menentukan masa depan bangunan beserta seluruh penghuninya. Hal yang sama berlaku bagi fondasi kehidupan. “Bila taufan melanda, lenyaplah orang fasik, tetapi orang benar tetap abadi kokoh berlandasan.” (Ams 10:25).

Dalam Mat 7:25, Yesus menunjukkan masa depan rumah kehidupan harus didirikan di atas petra (Yun. gunung batu). Dalam tradisi Perjanjian Lama, petra adalah gambaran kekuatan Allah. Yahwe adalah gunung batu keselamatan kita, kata Mzm 95:1. Ini berarti, kekuatan dan kehadiran Allah merupakan satu-satunya landasan setiap kehidupan Kristen. Namun, iman ini tak boleh berhenti dalam ucapan, tapi harus diwujudkan, sehingga iman akan kekuatan dan kehadiran Allah, memiliki dimensi sosial.

Ungkapan ‘mengikuti’ (Yun. akoloutheó) Yesus, memiliki arti ‘berada di belakang keleuthos (Yun. jalan)’ yang ditempuh Yesus. Ini berarti, seluruh hidup kita harus berjalan melalui dan dalam ‘tapak-tapak Yesus’, di mana terdapat seluruh karya, penderitaan, kematian, serta kebangkitan-Nya. Dalam tapak-tapak itulah, keselamatan terjadi.

Renungan Selasa, 02 Desember 2014 : Sujud Kepada Allah

 
Pekan I Adven
 
Yes 11:1-10;Mzm 72;Luk 10:21-24

Satu-satunya yang membuat Yesus bersyukur, karena Allah adalah Bapa- Nya. Ia juga minta agar para murid-Nya selalu mengimani Allah sebagai Bapa. Dialah Pencipta dan sekaligus Penguasa dunia dan sorga. Paulus mengatakan, “Aku sujud kepada Bapa, yang dari pada- Nya semua turunan dalam sorga dan di atas bumi menerima nama-Nya” (Ef 3:14-15). Sebagai Bapa, Allah selalu setia memberikan kasih dan concern-Nya, dalam situasi suka maupun duka.

Namun, dengan memakai dikotomi ‘orang bijak yang tak mampu mengimani ke-Bapa-an Allah’, dan ‘orang kecil yang diberi kurnia melihat pernyataan Allah’, Yesus memberi peringatan. Kesombongan bisa menjadi hambatan mengasihi dan memahami Allah sebagai Bapa. Kesombongan yang selalu memusatkan diri kepada ego dapat menutup manusia dari kebenaran Allah dan kebijakan hidup. Itulah yang dalam diri para malaikat yang jatuh dalam kesombongan (Why 12:7-9; Yud 1:6-7).

Sebaliknya, mereka yang rendah hati dan berhati sederhana, lebih mudah ‘merasakan’ kelembutan kehadiran Allah sebagai Bapa, yang datang seperti angin (Yoh 3:8). Tugas kita adalah memantulkan kembali sinar ke-Bapa-an Allah ini kepada sesama dan alam semesta.

Renungan Senin, 01 Desember 2014 : Iman Bukan Warisan

 
Pekan I Adven
 
 Yes 2:1-5; Mzm 122; Mat 8:5-11

Orang Yahudi zaman Yesus menyadari, mereka semua keturunan Abraham. Kesadaran ini memunculkan keyakinan bahwa iman dan keselamatan adalah warisan. Maka, mereka sangat marah, saat Yesus mengatakan, iman perwira Romawi yang minta tolong agar ‘hamba’-nya yang lumpuh itu disembuhkan, jauh lebih besar daripada iman orang Israel (Mat 8:10).

Bagi orang Yahudi, perwira Romawi berpangkat Hekatontarchos (Yun. perwira yang membawahi 100 prajurit) itu adalah gambaran ‘kekotoran’. Pertama, ia bagian dari kekuasaan penjajah asing. Kedua, menurut ukuran Yahudi, moralnya bejat. Concern berlebihan dari perwira terhadap ‘hamba’-nya itu, Mat 8:6 memakai istilah pais (Yun. remaja), sedangkan Luk 7:2 memakai doulos entimos (budak yang di sayang), patut dipertanyakan. Ada indikasi, perwira itu punya ‘pederastic relationship, ‘hubungan ‘akrab’ antara laki-laki dewasa dengan laki-laki muda’, yang di kalangan perwira Romawi sudah lazim. Sebaliknya, pada Kitab Imamat 20:13, hubungan semacam itu dilarang keras.

Namun, Yesus memuji perwira ‘kotor’ itu, karena memiliki iman yang kuat; “katakan sepatah kata, maka remajaku akan sembuh”, dan kerendahan hati yang besar: “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku”. Bagi Yesus, iman dan kerendahan hati adalah kunci. Atas dasar itu, siapa saja bisa “datang dan duduk makan bersama dengan Abraham, Ishak, dan Yakub dalam Kerajaan Sorga,” (ay.11; bdk. Yes 56:1-8).

Renungan Sabtu, 29 November 2014 : Sumber Kekuatan

 
Pekan Biasa
 
Why 22:1-7; Mzm 95; Luk 21:34-36

Doa merupakan aspek penting dalam kehidupan Yesus. Dalam doa, Yesus membangun relasi khusus dan mendalam dengan Tuhan. Ia selalu berada di bawah kendali kehendak Allah, bukan di bawah keinginan atau kemauan orang lain. Orang yang selalu berdoa, hidupnya diresapi dengan kehendak Tuhan, pikiran dan kehendaknya disetir kehendak Allah. Yesus mengawali setiap pekerjaan-Nya maupun keputusan-keputusan-Nya dengan terlebih dahulu berdoa kepada Bapa-Nya.

Sikap yang tepat bagi setiap orang dalam menantikan kedatangan Tuhan adalah “berjaga”. Tapi itu belum cukup. Dalam berjaga orang harus senantiasa “berdoa” atau berkomunikasi dengan Tuhan. Berjaga bukan berarti menunggu waktu, melainkan melaksanakan ke hendak Tuhan dalam hidup harian yang biasa, agar ketika Dia datang, Ia menemukan kita dalam keadaan “berjalan menurut kehendak- Nya”. Seluruh hidup kita dapat menjadi sebuah doa yang tak berkesudahan.

Bagi orang kristiani, doa merupakan sumber lentera yang senantiasa memberikan terang, memberikan kehangatan, dan menjadi penyuluh bagi setiap langkah hidup. Allah dapat melakukan mukjizat melalui doa-doa yang sederhana, tulus dan penuh iman.

Renungan Jumat, 28 November 2014 : Musim Semi

 
Pekan Biasa XXXIV
 
Why 20:1- 4,11- 21:2; Mzm 84; Luk 21:21-33

Pewartaan tentang kedatangan Kerajaan Allah selalu disampaikan penginjil melalui kiasan. Kali ini penginjil mengangkat pohon ara yang mulai bertunas pada musim semi. Musim semi atau “primavera” adalah suatu keadaan yang menggembirakan, matahari mulai bersinar, tumbuh-tumbuhan mulai bertunas, setiap pohon mulai berbuah.

Yesus mewartakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Nuansa dari kerajaan tersebut seperti keindahan musim semi yang membawa semangat hidup baru. Kehidupan baru tersebut ditandai dengan pembebasan dan pelepasan dari berbagai belenggu yang selama itu dialami rakyat kecil.

Yesus meneguhkan dan memberi jaminan terhadap pelaksanaan pewartaan-Nya dengan pernyataan yang sangat tegas, “... langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan- Ku tidak akan berlalu.” Pembebasan itu benar terjadi dan nyata melalui berbagai mukjizat penyembuhan, pembangkitan orang mati, dan konflik dengan para pemimpin agama yang menindas hak-hak rakyat jelata. Bagi umat kristiani zaman sekarang, bagaimana kita mengambil bagian dalam misi pembebasan Yesus bagi sesama yang masih terbelenggu?

Renungan Rabu, 26 November 2014 : Berani Bersaksi

 
Pekan Biasa XXXIV
 
 Why 15: 1-4; Mzm 98; Luk 21:12-19

Kedua buku yang ditulis penginjil Lukas, Kisah Para Rasul dan Injil, menunjukkan kesamaan antara hidup Yesus dan hidup para murid-Nya. Yesus dimampukan oleh Roh Kudus untuk melaksanakan misi-Nya (Luk 3:22), begitu pula para murid (Kis 2:1-13). Yesus dilawan dan dibenci banyak orang, demi kian juga para murid (Luk 23:1-25 dan Kis 25-26). Yesus mengingatkan para murid-Nya, agar ketika mereka menghadapi penolakan dan kebencian, mereka tidak perlu membela diri dengan cara-cara yang biasa dipakai manusia. Sebab, Roh Yesus akan menyanggupkan mereka untuk bersaksi.

Para murid bertanya kepada Yesus tentang kapan tanda-tanda akhir zaman itu terjadi. Yesus hanya mengatakan bahwa akan didahului dengan berbagai peperangan dan bencana. Tidak seorang pun dari manusia yang hidup ini tahu kapan akhir zaman terjadi, sebab itu adalah rencana ilahi.

Yang dapat kita lakukan adalah melaksanakan kehendak Tuhan, sekalipun ada tantangan, bahkan kematian seperti Yesus. Zaman ini membutuhkan orang yang tangguh dalam iman dan mampu bersaksi tentang kebenaran dalam Yesus Kristus. Bagaimana dengan kita?

Renungan Selasa, 25 November 2014 : Hukum Kasih

 
Pekan Biasa XXXIV
 
 Why 14:14-20; Mzm 96; Luk 21:5-11

Mula-mula umat Israel tidak mempunyai rumah ibadah permanen yang disebut Kenisah. Mereka mengembara di padang gurun bersama kawanan ternak. Biasanya mereka mendirikan sebuah tenda yang di dalamnya diletakkan semacam tabernakel berisi sepuluh Firman Allah.

Baru pada masa Raja Salomon, didirikan sebuah Kenisah megah di atas bukit Moria. Kenisah itu menjadi kebanggaan dan simbol identitas umat Israel, sekaligus simbol kehadiran Allah di tengah umat-Nya (1Raj 8:10-13). Setiap orang Yahudi harus datang berziarah ke Bait Allah tersebut sekali dalam satu tahun. Begitu penting Bait Allah di Yerusalem, sehingga keruntuhannya dilihat sebagai tanda-tanda akhir zaman.

Ramalan Yesus tentang kehancuran Bait Allah dan berbagai peperangan di Yeru salem mengisyaratkan dua hal yang akan terjadi; penganiayaan terhadap Gereja oleh orang-orang Yahudi dan penghukuman Allah terhadap Yerusalem yang menolak pewartaan Yesus Kristus. Dalam Perjanjian lama hal itu dilihat sebagai ‘Hari kedatangan Tuhan’ (Yes 34:8;35:4) yang adalah saat penghakiman terhadap manusia. Perbuatan kasih yang diajarkan Tuhan menjadi dasar pengadilan-Nya.

Kehancuran Bait Allah yang kedua kali menjadi tanda berakhir zaman hukum lama; orang akan menemukan sebuah era dan jalan hidup baru dalam Yesus Kristus yang menguatkan hukum kasih. Sikap yang tepat dalam menanti hari kedatangan Tuhan adalah “bertobat”, dan hidup dalam keadaan siap sedia melaksanakan kehendak-Nya.

Renungan Minggu, 23 November 2014 : Raja Semesta Alam

 
Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam
 
Yeh 34:11-12,15-17; Mzm 23; 1Kor 15:20-26,28; Mat 25:31-46

Injil pada Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam dalam Tahun A ini berkisah tentang “Pengadilan Terakhir”. Yesus Kristus adalah Raja atas segala ciptaan: manusia, dunia, dan semesta alam. Sebagai Raja semesta alam, Yesus digambarkan sebagai Dia yang akan menghakimi dunia –terutama manusia– pada akhir zaman.

Kisah “Pengadilan Terakhir” dalam Injil Matius (Mat 25:31-46) memberi pesan yang sangat penting untuk hidup keagamaan kita. Di tempat lain dalam Injil yang sama, Yesus menegaskan, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat 5:20). Yesus menyalahkan hidup keagamaan para ahli Taurat dan kaum Farisi yang hanya bersifat legalistis-formalistis, semata lahiriah, dan tidak keluar dari hati.

Tidakkah gejala semacam itu tampak dalam kehidupan keagamaan di tengah masyarakat kita dewasa ini? Di satu pihak, tampaknya bangsa kita sangat agamis. Pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) setiap Warga Negara Indonesia (WNI) pasti tercatat sebagai pemeluk salah satu agama atau kepercayaan. Sejumlah Hari Raya setiap agama yang diakui resmi oleh negara dijadikan hari libur nasional. Tempat- tempat ibadah (masjid, gereja, pura, vihara, klenteng) bertaburan di mana-mana. Tempat-tempat ibadah tersebut hampir selalu penuh sesak pada hari-hari suci agama yang bersangkutan. Setiap pejabat negara diangkat dengan mengucapkan sumpah menurut agama masing-masing. Dalam setiap upacara kenegaraan pasti ada acara doa. Dan, setiap pidato atau sambutan pejabat selalu dibuka serta ditutup dengan sapaan khas agama.

Namun di lain pihak, perilaku masyarakat kita, khususnya kalangan elit, dalam kehidupan nyata jauh berbeda, bahkan bertentangan dengan ajaran agama. “Iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata. Penghayatan iman lebih berkisar Raja Semesta Alam Mgr Johannes Liku Ada’ Uskup Agung Makassar pada hal-hal lahiriah, simbol-simbol dan upacara keagamaan,” demikian ditegaskan dalam Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2003.

Dengan demikian, pesan Injil hari ini menjadi sungguh relevan. Pada akhir zaman, Kristus akan datang dan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya untuk mengadili kita. Saat itu, Ia tidak akan menanyakan pengetahuan kita tentang Allah atau Mesias, tentang ibadah dan praktik kesalehan kita. Ia justru akan menilai keberhasilan atau kegagalan hidup kita dengan mengemukakan satu pertanyaan saja: “Bagaimana kamu bersikap terhadap sesamamu?”

Kristus telah mengajar dan menunjukkan kepada kita tentang Hukum Kasih. Ia menegaskan bahwa kasih adalah hukum yang pertama dan utama. Kasih adalah hukum dasar yang daripadanya segala hukum lainnya bergantung. Dan, kasih itu harus dihayati serta diamalkan dalam tindakan-tindakan konkret, seperti memberi makan bagi yang lapar, memberi minum bagi yang haus, memberi tumpangan bagi orang asing, memberi pakaian kepada yang telanjang, melawat yang sakit, serta mengunjungi yang dalam penjara. Dari tindakan-tindakan kasih itulah tergantung keselamatan kita!

Bahkan, Kristus menegaskan bahwa dalam diri sesama kita yang sederhana dan hina dina, kita sebenarnya bertemu dengan Tuhan, Raja Semesta Alam itu sendiri. Sebab,Raja itu bukan seorang raja yang bersemayam di dalam kemuliaan yang tak terhampiri. Ia merupakan seorang raja yang solider dengan rakyat- Nya yang paling kecil sekalipun. Ia mengenal seluk-beluk hidup mereka dan Ia berada bersama mereka. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara- Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Ya,

Yesus Raja Semesta Alam, buatlah aku mampu melihat dan mencintai Engkau dalam diri sesamaku. .

Renungan Sabtu, 22 November 2014: Jawaban Tepat

 
Pw St Sesilia
 
Why 11:4-12; Mzm: 144; Luk 20:27-40

Injil hari ini mengisahkan sebagian dari serangan para lawan Yesus yang dengan berbagai macam cara mencoba menjerat Yesus. Mereka berusaha mencari-cari kesalahan Yesus yang sedang mengajar di Bait Allah. Mereka menunggu jawaban salah Yesus yang akan menghancurkan keyakinan orang banyak yang pada saat itu mulai terpikat dengan Yesus.

Satu per satu dari Luk 20:1 secara bergantian imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat, dan orang Saduki mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang “bercabang”. Misal, pertanyaan seputar dari mana kuasa yang didapat Yesus, apakah boleh membayar pajak kepada kaisar, dan tentang apakah ada kebangkitan. Untuk yang terakhir, kalau Yesus bilang ada kebangkitan, maka Yesus dianggap menentang Hukum Musa. Sementara, jika Yesus bilang tidak, hal itu bertentangan dengan ajaran-Nya bahwa Anak Manusia akan bangkit pada hari ketiga. (Luk 18:33).

Pertanyaan bercabang dua ini mengandung jerat perangkap pada setiap cabangnya. Namun, Yesus, Tuhan kita, sungguh luar biasa. Yesus menggunakan pola pikir atau strategi para lawannya sendiri. Jawaban cerdas Yesus diakui beberapa ahli Taurat, “Guru, jawab-Mu itu tepat sekali.” Para lawan Yesus pun tidak berani lagi menanyakan apa-apa kepada Yesus (ay.40)..

Renungan Jumat, 21 November 2014: Menyucikan Bait Allah

 
Pw Maria Dipersembahkan kepada Allah
 
Why 10:8-11; Mzm 119; Luk 19:45-48

Tindakan Yesus menyucikan Bait Allah sebenarnya dilakukan dengan dua cara. Yang pertama sebagaimana kita tahu yaitu dengan mengusir para pedagang (ay. 45) dan yang kedua yang paling penting sebenarnya adalah Yesus hadir di Bait Allah dan mengajar disana (ay. 47).

Kehadiran Yesus di rumah Allah mengingatkan kita akan kisah-kisah dalam Perjanjian Lama, seperti dalam Kitab Ulangan, Mazmur, 1-2 Samuel, dan Kitab Nabi-Nabi. Kehadiran Allah di Bait-Nya merupakan simbol identitas bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah. Kehadiran Allah di Bait-Nya akan memulihkan segala penderitaan Israel, karena kasih dan ke adilan akan ditegakkan di tengah bangsa ini.

Kehadiran Allah di tengah umat-Nya menuntut tanggapan dari pihak manusia. Hal ini digambarkan dengan indah dalam ay. 48, di mana dikatakan, “seluruh rakyat terpikat kepada-Nya dan ingin mendengarkan Dia.”

Renungan Kamis, 20 November 2014 : Tangisan Mesias

 
Pekan Biasa XXXIII
 
Why 5:1-10; Mzm 149; Luk 19:41-44

Injil menceritakan Yesus yang masuk ke kota Yerusalem. Yang menarik adalah ketika Yesus melihat kota itu, Yesus menangisinya. Ungkapan ini sangat luar biasa karena menggambarkan Tuhan Yesus mempunyai hati yang penuh dengan belas kasih. Kata “menangis” dalam Kitab Suci adalah suatu ungkapan “kekecewaan dan penyesalan”. Apa yang disesali Yesus?

Untuk bisa menjawab, kita harus mendekat dengan pewartaan nabi-nabi dalam Perjanjian Lama. Di sini Yesus seperti para nabi, bernubuat tentang kehancuran Yerusalem pada masa depan. Kota ini adalah ibukota dari Yehuda, bangsa pilihan Allah, Anak Emas Allah. Kota suci ini penduduknya seringkali menolak Allah dengan sikap hidup mereka. Sudah berulang kali Allah menghukum kota ini dalam Perjanjian Lama, namun mereka tidak juga jera. Hukuman Allah ini seringkali diikuti dengan “penyesalan” Allah, karena Ia begitu mengasihi bangsa ini.

Tangisan Yesus seumpama tangisan orangtua untuk anak yang mereka sayangi, namun anak itu selalu melawan orang tua. Kala semua tindakan kasih hanya berbalas pemberontakan dan penolakan, orangtua akan menangis ketika membayangkan akan jadi apa anak ini kelak kalau mempunyai perangai seperti ini. Tangisan orangtua untuk anak bukan soal air mata yang keluar dari mata, tetapi remuknya hati mereka menyesali dan menyalahkan diri sendiri, mungkin salah mendidik anak-anak.

Renungan Rabu, 19 November 2014 : Mendengarkan Dia

 
Pekan Biasa XXXIII
 
Why 4:1-11; Mzm 150; Luk 19:11-28

Perumpamaan tentang Mina, dipakai oleh Yesus untuk menggambarkan disposisi batin-Nya sebelum memasuki kota Yerusalem. Menarik di awal di kata kan bahwa perumpamaan ini di tujukan Yesus untuk “mereka yang mendengarkan Dia” (ay. 11). Dalam perumpamaan dikatakan bangsawan itu memanggil sepuluh orang hamba dan memberikan sepuluh Mina kepada mereka. Arti nya, setiap hamba menerima satu Mina.

Di awal kisah, bangsawan ini sebenarnya “memberi modal” atau investasi atau menabur dan menunjukkan sikap “adil” kepada hamba-hambanya. Ditambah pula hamba baik yang berhasil mengembangkan Mina diberi tanggung jawab; ikut jadi bangsawan juga, terhadap kota-kota yang jumlahnya sesuai dengan jumlah Mina yang mereka hasilkan.

Kenyataan ini jelas berlawanan dengan ucapan hamba jahat (ay. 21);“tuan adalah manusia yang keras (Yun. austeros); tuan mengambil apa yang tidak pernah tuan taruh dan menuai apa yang tidak tuan tabur.” Mereka “melihat” tindakan sang tuan secara negatif, bukan melihat se bagai kesempatan memperoleh rahmat.

Akhirnya bangsawan itu menghakimi hamba yang jahat menurut perkataan/pikiran mereka sendiri. Lagi-lagi, Injil ini mengajak kita untuk berefleksi soal cara kita; melihat, mendengar, dan mengikuti Yesus.

Renungan Selasa, 18 November 2014 : Tuhan, Lihat Aku!

 
Pekan Biasa XXXIII
 
Why 3:1-6, 14- 22; Mzm 15; Luk 19:1-10

Bacaan hari ini semakin mempertajam refleksi kita. Dikisahkan di kota Yeriko ada seorang pemungut cukai bernama Zakeus yang berbadan pendek. Ada kata-kata yang terulang dari Injil kemarin seperti, “Melihat” dan “Orang Banyak”. Perhatikan kata “melihat” yang terulang empat kali dalam kisah ini; "berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu”, “memanjat pohon ara untuk melihat Yesus”, “Yesus melihat". Lagi-lagi, orang-orang “normal” melihat dengan keliru dalam ayat 7, “semua orang yang melihat hal itu bersungut-sungut.”

Dua kata “melihat” pertama, menggambarkan pergolakan batiniah seseorang yang dianggap pendosa oleh seluruh masyarakat. Di situ tampak ada perkembangan dari keingintahuan yang mula-mula bersifat dangkal berubah menjadi suatu tindakan nyata dan perjuangan yang mengalahkan keterbatasan diri atau berlari lebih cepat supaya bisa di “depan” dan badannya yang pendek yang menjadi penghalang, diatasi dengan naik pohon ara.

Kedua usaha inilah yang “dilihat” Yesus. Yesus tidak “melihat” Zakeus sebagai pendosa, seperti orang banyak “melihat”, tetapi Yesus melihat seorang pendosa yang berusaha untuk melihat dan mencari keselamatan.

Renungan Senin, 17 November 2014 : Orang Buta

 
Pw St Elisabet dr Hungaria
 
Why 1:1- 4;2:1-5a; Mzm 1; Luk 18:35-43

Injil ini sangat kaya akan simbol dan dinamika indah yang mencerminkan proses perkembangan iman seorang kristiani. Dikisahkan seorang buta yang duduk di pinggir jalan kota Yeriko (arti: City of the Moon) yang disembuhkan Yesus. Perhatikan tiga kata yang hampir selalu muncul dalam kisah-kisah panggilan seseorang dalam Injil: “Mendengar”(ay.36), “Melihat” (ay.41.42.43) dan “Mengikuti” (ay.43). Tiga sikap ini adalah syarat utama bagi seseorang untuk menjadi murid Yesus. Pertama, mendengar Sabda Tuhan. Kedua, melihat campur tangan Allah yang mengubah hidupnya. Dan ketiga, mengikuti Yesus, bahkan sampai ke Golgota atau berani menderita.

Orang banyak (Yun: oxlos) yang tidak buta yang berjalan di depan hanya mengenal Yesus sebagai “Yesus orang Nazaret lewat” (ay. 37). Kata “di depan”adalah simbol orang yang merasa sudah lebih dulu mengenal dan dekat dengan Yesus. Tetapi apa yang “dilihat” orang buta itu? Dua kali ia “melihat” identitas Yesus yang sebenarnya. Dia berseru, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Ketika dia di larang oleh orang banyak, “indera imannya”, bahkan membuat dia melihat lebih dalam dan semakin yakin untuk berteriak lebih keras, “Anak Daud, kasihanilah aku!” Penyembuhan orang buta ini membuat rakyat (Yun. Laos) disembuhkan juga dari kebutaan iman, sehingga mereka mampu melihat dengan benar” dan memuji-muji Allah.

Renungan Minggu 16 November 2014 : Siap Bertemu Tuhan

 
Minggu Biasa XXXIII
 
Ams 31:10-13,19-20,30-31; Mzm 128; 1Tes 5:1-6; Mat 25:14-30

Allah menuntut inisiatif dan kreativitas kita untuk mengembangkan talenta, bahkan jika harus menghadapi bahaya kehilangan talenta sekalipun. Kita diberi talenta agar bersiap diri menjemput ‘hari Tuhan’, Allah datang untuk merajai kita.

Menjelang akhir Tahun Liturgi, Gereja selalu mengingatkan kita akan hari kedatangan Tuhan, seperti pencuri pada waktu malam. Meski mengetahuinya, kesibukan kita tak memberi peluang memikirkannya. Peringatan ini dibutuhkan saat kita sibuk dengan urusan duniawi hingga tak punya waktu memikirkan ‘akhir zaman’. “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua yang lain akan ditambahkan kepadamu” (Mat 6:33).

Perjumpaan dengan Tuhan ini sangat bermakna dalam persiapan menjemput ‘Hari Tuhan’. Dalam Himbauan Apostolik Evangelii Gaudium (EG, Sukacita Injil), Paus Fransiskus mengingatkan agar kita tak terjebak dalam kesalehan semu (keduniawian rohani). “Keduniawian rohani, yang bersembunyi di balik penampilan kesalehan dan bahkan kasih pada Gereja, yang sebetulnya bukan mencari kemuliaan Allah, melainkan kemuliaan manusia dan kesejahteraan pribadi.” (EG 93).

Dalam Bacaan Kedua, St Paulus mengingatkan: “...kamu sendiri tahu benar-benar, bahwa hari Tuhan datang seperti pencuri di waktu malam” (1Tes 5:2); “... baiklah kita sadar, berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan akan keselamatan” (1Tes 5:8), sehingga hidup kita terlindung dan terarah kepada Tuhan. Dalam iman, kita harus hidup seolah akan mati hari ini.

Dalam Injil, talenta dikategorikan sebagai petunjuk untuk mempersiapkan diri menjemput ‘Allah yang berkehendak merajai diri kita’. Yang penting, bukan jumlah talenta dan siapa penerimanya, atau siapa dapat apa dan berapa, melainkan ‘siapa Allah yang memberikan talenta dan dengan maksud apa Allah memberikannya pada kita’.

Allah menuntut inisiatif dan kreativitas kita untuk mengembangkan talenta, bahkan jika harus menghadapi bahaya kehilangan talenta sekalipun. Kita diberi talenta agar bersiap diri menjemput ‘Hari Tuhan’, Allah datang untuk merajai kita. Maka, dua hamba yang baik dan setia segera ‘pergi’ ke pasar untuk mengembangkan talentanya. Kala Tuhan datang, mereka telah melipatgandakan talentanya; bukan untuk kepentingan pribadi, tapi demi kepentingan bersama dan kemuliaan Pemberi talenta.

Sebagai penerima talenta, Gereja tak boleh menutup diri, tetapi pergi ke ruang publik untuk mengembangkannya bersama orang di luar Gereja. Mereka juga menerima talenta untuk dikembangkan, berbuah dan berguna bagi banyak orang.

Prioritas pengembangan talenta perlu diperhatikan agar kita tak terjebak dalam kesia-siaan. Bacaan Pertama tentang istri yang cakap menunjukkan keutamaan yang harus dijadikan sikap hidup, seperti setia kepada Allah dan mengabdi demi sukacita sejati, serta mengulurkan tangan kepada yang tertindas dan miskin. Yang diutamakan ialah kecantikan batin (inner beauty), cinta Tuhan dan sesama; bukan kemolekan fisik.

Allah memberi talenta pada kita bukan untuk disembunyikan hingga ‘mandul’ dan tak menghasilkan apa-apa. Tuntutan Tuhan sangat keras, yakni siapa yang tak berinisiatif mengembangkan talenta, berarti “siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya, akan diambil dari padanya” (Mat 13:12b; 25:29); dan harus dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi (Mat 25:30). Seperti garam yang tak lagi asin, tak ada gunanya, kecuali dibuang dan diinjak-injak orang (Mat 5:13). “Orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian, sehingga menerangi semua orang yang di dalam rumah. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga” (Mat 5:15-16; Luk 11:33).

Sebagai umat beriman, kita memilih bersikap seperti hamba yang baik dan setia. Mereka menggandakan talenta dan mempertanggungjawabkannya. Pilihan ini dibuat, bukan karena kita akan mendapatkan talenta dan kelebihannya, tapi kita akan bersukacita menyerahkan talenta dengan penggandaannya kepada Pemberi talenta. Pun pada akhir zaman, kita tanpa kecuali harus mempertanggungjawabkan talenta itu. Tak seorangpun yang tak menerima talenta demi kepentingan bersama. Maka talenta tak boleh dikubur hanya demi keamanan yang tak menghasilkan. Dalam usaha menggandakan talenta, kita yakin Tuhan senantiasa melengkapi Kita adalah alat di tangan- Nya untuk menunjukkan kasih-Nya kepada kita dan ’ sesama.

Renungan Sabtu, 15 November 2014 : Setia Berharap


Pekan Biasa XXXII

3 Yoh 5-8;Mzm 112; Luk 18:1-8

Dalam Injil hari ini, Yesus menampilkan seorang hakim yang lalim dan seorang janda yang tekun meminta pembelaan dari si hakim. Ketekunan si janda dalam memohon pembelaan lebih kuat daripada ketidakpedulian si hakim, sehingga akhirnya hakim itu mengabulkan permohonannya. Tentu saja hakim itu juga mengabulkan permohonan itu agar ia tidak dipermalukan gara-gara permohonan si janda. Kita mungkin pernah melakukan sesuatu bukan untuk membangun motivasi yang baik dan benar, tetapi supaya jangan direpotkan.

Begitulah ketekunan yang diharapkan dari orang beriman dalam menantikan hari kedatangan Anak Manusia. Penantian panjang bisa sangat membosankan dan melelahkan. Orang bisa kehilangan pengharapan sebelum tiba pada hari yang dinantikan. Melalui perumpamaan ini Yesus menegaskan bahwa Allah tidak mengecewakan. Jika seorang hakim yang lalim tahu memberikan yang diminta darinya, apalagi Allah Bapa yang baik.

Sebagai orang pilihan, kita diajak setia dalam sikap berjaga di masa penantian yang berat, seperti Yesus setia kepada kehendak Allah. Paus Fransiskus berulang kali menyerukan agar kita menjadi orang kristiani yang tidak pernah kehilangan pengharapan. Kesetiaan dan ketekunan dalam berharap tidak bisa dihasilkan dari kemauan keras manusia semata, tapi juga merupakan buah Roh yang diterima manusia dalam persahabatan dengan Allah..

Renungan Jumat, 14 November 2014 : Siap Sedia

 
Pekan Biasa XXXII
 
2 Yoh 4-9; Mzm 119; Luk 17:26-37

Yesus memberi sedikit gambaran apabila hari final itu tiba. Kedatangan Dia tanpa disertai pemberitahuan dan tanda apapun. Murid harus siap, sebab tak ada kompromi pada hari itu. Yang tercerai berai akan disatukan, yang bersatu akan tercerai-beraikan. Sekelompok orang bisa saja terlibat dalam kegiatan atau pelayanan yang sama, namun pada hari itu akan terlihat kemurnian iman dan ketulusan hati masing-masing yang belum tentu sama.

Gambaran tersebut bukan untuk menakuti murid-murid-Nya, melainkan suatu ajakan untuk menjadi orang beriman yang siap sedia, selalu berjaga, dan memiliki tekad untuk menjadi orang yang berbeda dengan orang-orang yang hidup tanpa iman. Maka iman bukanlah sesuatu yang temporer. Hidup kita mengalami pasang surut, suka duka silih berganti, sehat dan sakit turut memberi warna, tetapi kita tetap beriman sampai hari kedatangan Tuhan.

Kita tidak perlu lagi bertanya, kapan dan di mana hari terakhir itu akan tiba. Kerajaan Allah bukan perihal waktu dan tempat, melainkan anugerah keselamatan yang ditawarkan Allah kepada manusia dan oleh manusia disambut dengan iman.

Renungan Kamis, 13 November 2014 : Pemurnian Iman


 Pekan Biasa XXXII

 Flm 7-20; Mzm 146; Luk 17:20-25

Kerajaan Allah mencakup yang sudah datang, yakni karya dan kehidupan Yesus yang hadir di dunia, juga yang akan datang, yaitu kedatangan Yesus untuk kedua kali. Dibutuhkan mata hati atau iman untuk melihatnya. Kaum Farisi dan ahli-ahli kitab sering dikecam Yesus sebagai orang yang punya mata, tetapi tidak melihat.

Kerajaan Allah bukan pertama soal tanda sebagaimana diminta kaum Farisi. Yesuslah satu-satunya tanda yang menghadirkan Kerajaan Allah. Ia mengingatkan bahwa ketidak-mengertian para murid akan menjadi peluang bagi masuknya aliran-aliran yang mengatasnamakan agama dan memberi petunjuk bahwa Ia ada di sini dan di sana. Yesus ingin mereka tidak terpancing dan tidak perlu ikut menyelidiki.

Sebelum itu semua, manusia akan mengalami hari-hari Anak Manusia, yaitu masa di mana Yesus dan Kerajaan Allah yang diwartakan-Nya hadir di dunia, meski Yesus tidak hadir secara fisik. Pada masa panjang ini manusia berulang kali jatuh dalam ketidaksetiaan, hidup tanpa iman, dan tanpa syukur kepada Allah. Masa ini berakhir tanpa disertai tanda apapun pada hari yang dinantikan. Hari itu akan menjadi hari penyelamatan bagi yang tetap beriman, namun hari bencana bagi yang tidak beriman. Mari senantiasa berjaga!
Tuhan murnikanlah iman kami kepada-Mu.

Renungan Rabu, 12 November 2014 : Sembuh dan Selamat


Pw St Yosafat, Uskup Martir

Tit 3:1- 7; Mzm 23; Luk 17:11-19

Perjalanan Yesus ke Yerusalem adalah perjalanan menuju kematian demi keselamatan manusia. Dalam konteks keselamatan universal inilah kita ingin memaknai kembalinya satu orang dari sepuluh orang kusta yang disembuhkan. Yesus tidak pernah menolak siapapun, kendati Ia sering ditolak.

Penderitaan sosial yang berat akibat dikucilkan dalam pergaulan telah membuat mereka sungguh merindukan belas kasihan Yesus. Hanya satu orang (Samaria) kembali, sembilan lainnya (orang Yahudi) tidak kembali. Kerajaan Allah disambut mereka yang disebut kafir, namun hatinya terbuka, daripada oleh bangsa pilihan yang menganggap diri sudah tahu, namun menutup diri.

Di tengah perjalanan wajib lapor diri para kusta kepada imam, kebekuan hukum di cairkan oleh satu orang yang kembali kepada Yesus untuk menyembah Allah dan memuliakan-Nya sebagai Sang Penyembuh. Itulah tujuan penyembuhan, yaitu membantu orang mencari, menemukan, dan memuliakan Allah yang hidup, bukan demi kesehatan semata atau demi terhindar dari rasa sakit dan derita. Ketika orang sembuh dan tidak memuliakan Allah, ia sedang menumpuk penderitaan dalam dirinya.

Renungan Selasa, 11 November 2014 : Menekuni Kebaikan


Tit 2:1-8, 11-14; Mzm 37; Luk 17:7-10

Pernahkah Anda merasa tersinggung atau marah ketika kebaikan Anda diabaikan? Misal Anda tidak mau memberi sumbangan lagi karena panitia lupa mencatat dan mengumumkan nama Anda sebagai donatur? Atau tidak mau menyapa orang itu lagi karena ia tidak mengucapkan terima kasih atas kebaikan yang Anda berikan kepada dia?

Yesus menyampaikan nasihat-nasihat Injil bukan hanya kepada mereka yang melakukan kejahatan, tetapi juga kepada mereka yang rajin berbuat baik. Perbuatan baik yang dilakukan tanpa sikap tulus dan rendah hati dapat menciptakan batu sandungan.

Tuhan dan orang lain tidak berhutang apa-apa atas kebaikan kita. Bagi setiap orang beriman, berbuat baik adalah kewajiban, bukan keutamaan. Kitalah yang berhutang kebaikan kepada Tuhan atas semua kasih dan berkat-Nya setiap hari. Kita berterima kasih kepada sesama yang menjadi tanda kehadiran Tuhan bagi kita. Ibu Teresa dari Kalkuta memberi nasihat, “Apabila kebaikanmu diabaikan, apabila orang lain salah paham atau mencurigai perbuatan baikmu, tetaplah berbuat baik....” Itulah keutamaan kristiani yang membawa kebahagiaan sejati.

Renungan Senin, 10 November 2014: Kekuatan Iman


Tit 1:1-9; Mzm 24:1-6; Luk 17:1-6

“Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.”

Hari ini kita baca Injil Lukas yang mewartakan Yesus yang berbicara tentang kekuatan iman untuk mengatasi kesulitan dan tantangan dalam ketekunan di jalan kasih kepada Allah dan sesama. Kekuatan iman mengalahkan tantangan dan hambatan hidup kita.

Tuhan Yesus bersabda, “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.” Apa artinya?

Sabda ini serupa dengan sabda lain tentang kekuatan iman yang mampu “memindahkan gunung”. Ungkapan ini dimaksudkan sebagai kiasan untuk menyebut mereka yang mampu memecahkan persoalan yang menggunung yakni masalah-masalah besar dalam kehidupan ini. Iman adalah kunci untuk memindahkan tantangan dan kesulitan yang memampukan kita melaksanakan kehendak Allah.

Kita hanya dapat memiliki iman yang demikian dalam kekuatan Roh Kudus. Roh Kudus menolong kita bertumbuh dalam iman yang penuh pengharapan ini sehingga kita dapat mengatasi hambatan dan tantangan hidup kita. Tak ada yang mustahil bagi orang yang percaya kepada Yesus Kristus.

Sementara kita menyembah Yesus Kristus dalam Adorasi Ekaristi Abadi, kita mohon kepada Yesus agar menganugerahkan iman yang seperti disabdakan Yesus. Kita mohon Roh Kudus pada-Nya agar membantu kita bertumbuh dalam iman yang kuat, harapan yang teguh dan kasih yang setia.

Sabtu, 8 November 2014 : Setialah Mulai dari Yang Kecil-kecil


YESUS bersabda:”Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barang siapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia juga tidak benar dalam perkara-perkara besar. Jadi jika kalian tidak setia mengurus mamon yang tidak jujur, siapa mempercayakan harta sejati kepadamu.”

Berjalanlah menurut irama kehidupan. Sejak kecil kita sudah diajar untuk berjalan setapak demi setapak, lalu kita bisa melangkah dan berjalan normal. Dulu kita belum tahu apa-apa, kemudian mulai diajak belajar, mulai dari TK, SD, SMP, SLA, lalu yang mampu dapat meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Tidak ada orang yang langsung jadi profesor tanpa melalui jenjang yang lebih rendah.

Tidak ada pemimpin atau pejabat masyarakat tanpa lebih dahulu menapaki jenjang yang biasa-biasa. Tidak ada orang yang langsung menjadi kaya dan mempunyai pusat usaha yang besar tanpa melalui proses menjadi pedagang loakan atau bakul kecil-kecil.

Dalam hal ini tidak ada loncatan. Orang kecil tidak mungkin secara mendadak menjadi orang besar dan punya jabatan tinggi kalau mulus jalannya. Kalau terjadi bahwa orang kecil secara mendadak dapat meraih jabatan, hal ini terjadi, ini pasti menunjukkan adanya salah jalan, dengan kolusi, manipulasi,sogokan dsb.

Orang miskin tak mungkin langsung menjadi orang kaya kalau berjalan melalui jalan biasa. Kalau toh hal ini terjadi orang miskin tiba-tiba menjadi kaya, pasti ada sesuatu yang salah. Orang ini berjalan tidak melalui proses dari bawah, tetapi melakukan perbuatan tidak adil, merampas milik orang lain atau korupsi.

Maka Yesus menganjurkan agar orang setia dalam mengurus perkara-perkara kecil. Kalau orang setia dengan jujur menempuh kehidupan bawah dengan pasti, justru orang itu akan dipercaya untuk mengurus hal yang besar. Untuk menjadi pengajar atau dosen orang perlu menguasai materi yang nanti akan disampaikan pada calon mahasiswanya dulu. Baru kalau lulus ia dapat menjadi pengajar yang baik, dan kalau setia tekun pasti akan naik jenjangnya. Begitu kalau mau menjadi dokter atau pimipinan masyarakat.

Demikian pula dalam soal keagamaan, seperti yang dikatakan Yesus kepada orang-orang Farisi: “Kalian membenarkan diri dihadapan orang, tetapi Allah mengetahui hatimu. Sebab apa yang dikagumi manusia dibenci Allah.”
Artinya: Manusia bisa saja jadi tokoh agama atau pempinan agama, tetapi kalau tidak melewati jalan Tuhan, melaksanakan FirmanNya dan mendekatkan hidupNya kepada Tuhan, tak mungkin jadi panutan orang lain. Marilah kita refleksi: yang dipentingkan disini adalah belajar hidup suci menurut anjuran Tuhan.