Hari Raya Keluarga Kudus
Kej 15:1-6,21:1-3; Mzm 105; Ibr 11:8,11-12,17-19; Luk 2:22-40
Hari
Raya Keluarga Kudus menjadi muara perkembangan yang panjang. Pesta ini
baru dirayakan seluruh Gereja tahun 1895, kala Paus Leo XIII (1878-1903)
menetapkan perayaan ini pada hari Minggu ketiga sesudah Penampakan
Tuhan. Kemudian St Yohanes XXIII (1958-1963) memindahkan perayaan ini
pada hari Minggu sesudah Hari Raya Kelahiran Yesus.
Pemindahan
dan penempatan Hari Raya itu, pastilah mengandung pesan iman. Yang mau
ditegaskan, keluarga merupakan bagian karya penyelamatan Allah. Artinya,
keluarga adalah persekutuan hidup –dalam bahasa alkitabiah, Gereja
kecil– yang dipakai Allah dalam melaksanakan rencana penyelamatan- Nya.
Dalam Keluarga Kudus Nazaret, Yesus lahir, dididik hingga “bertambah
besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-
Nya” (Luk 2:40) dan akhirnya siap melaksanakan perutusan yang harus
diselesaikan- Nya.
Seperti apakah Keluarga
Kudus sehingga Anak yang lahir di dalamnya menjadi penuh hikmat dan
kasih karunia Allah ada pada-Nya? Jawabannya antara lain dapat ditemukan
dalam dua pribadi yang disebut dalam Luk 2:22-40, yaitu Simeon (Luk
2:25) dan Hana (Luk 2:36). Tak ada keterangan apakah Simeon pernah
berkeluarga. Sementara Hana adalah seorang janda. Yang jelas, mereka
berdua termasuk dalam kelompok yang sering disebut “orang-orang yang
cinta damai di negeri” (bdk. Mzm 35:20). Mereka hidup
dengan spiritualitas tertentu. Spiritualitas atau semangat hidup mereka
lebih mudah dipahami jika dibandingkan dengan semangat hidup kelompok
lain yang merupakan arus besar pada zaman itu. Bangsa Yahudi yakin,
sejak semula mereka adalah bangsa terpilih dan yakin pula pada suatu
saat mereka akan menjadi penguasa dunia dan semua bangsa lain tunduk
pada mereka. Karena itu, mereka mengharapkan datangnya tokoh istimewa
yang akan mewujudkan keyakinan ini; dan sebagian percaya tokoh ini akan
muncul dari wangsa Daud. Dengan kata lain, kelompok arus besar ini
mengharapkan seorang pembebas dari garis Daud yang akan datang dengan
kekuatan dan kekuasaan.
Sementara Simeon dan
Hana, “orang-orang yang cinta damai di negeri”, hidup dalam penantian
akan janji Allah dengan doa yang tekun dan sabar. Simeon menantikan
penghiburan bagi umat. Penantian itu terpenuhi ketika ia datang ke Bait
Allah oleh Roh Kudus, melihat Yesus yang muncul tidak dengan kekuasaan
dan kekuatan. Bagi Simeon, Yesus yang dipersembahkan kepada Tuhan di
Bait Allah ialah kepenuhan penantian dan harapannya. Karena sudah tak
ada yang dinantikan dan diharapkan lagi, Simeon mohon pada Tuhan agar ia
dibiarkan pergi dalam damai sejahtera.
Hana
disebut sebagai nabi perempuan. Ia janda berusia 84 tahun dan hanya
sempat hidup bersama suaminya selama tujuh tahun. Dengan riwayat hidup
seperti ini, bisa dibayangkan, hidupnya berbeban. Ternyata beban itu tak
membuat hidupnya pahit. Sebaliknya, pengalaman hidup membuatnya tegar
dan makin dekat dengan Tuhan. Dalam usia uzur, ia tetap berharap dan
meneguhkan harapannya dengan berpuasa dan berdoa (Luk 2:36-38).
Akhirnya, ia pun berbicara tentang Yesus yang dipersembahkan ke Bait
Allah sebagai kepenuhan harapannya sendiri dan harapan seluruh
bangsanya.
Dalam Gereja Katolik, perkawinan
adalah sakramen. Melalui sakramen perkawinan, dianugerahkan rahmat yang
diperlukan untuk mewujudkan tujuan perkawinan. Adapun salah satu tujuan
sakramen perkawinan adalah agar keluarga yang dibangun olehnya menjadi
Injil –warta gembira bagi Gereja dan dunia– seperti keluarga Nazaret,
Simeon dan Hana. Rahmat itu tak datang dengan sendirinya, tapi mesti
selalu dimohon. Berikut ini adalah bagian doa yang ditawarkan dalam
bagian terakhir pesan yang disampaikan Paus Fransiskus bersama dengan
para peserta Sinode Luar Biasa mengenai keluarga pada Oktober 2014.
“Bapa,
anugerahkanlah kepada semua keluarga, mempelai-mempelai yang kuat dan
bijaksana, agar mereka menjadi dasar keluarga yang merdeka dan bersatu.
Bapa, anugerahkanlah kepada semua orangtua, agar mereka mempunyai rumah
tempat mereka boleh hidup dalam damai dengan keluarga mereka. Bapa,
buatlah agar anak-anak menjadi tanda kepercayaan serta harapan dan agar
orang-orang muda boleh memiliki keberanian untuk menempa komitmen
kesetiaan seumur hidup.”