Renungan Minggu, 28 Desember 2014: Keluarga Kudus Nazaret

 
Hari Raya Keluarga Kudus
 
 Kej 15:1-6,21:1-3; Mzm 105; Ibr 11:8,11-12,17-19; Luk 2:22-40

Hari Raya Keluarga Kudus menjadi muara perkembangan yang panjang. Pesta ini baru dirayakan seluruh Gereja tahun 1895, kala Paus Leo XIII (1878-1903) menetapkan perayaan ini pada hari Minggu ketiga sesudah Penampakan Tuhan. Kemudian St Yohanes XXIII (1958-1963) memindahkan perayaan ini pada hari Minggu sesudah Hari Raya Kelahiran Yesus.

Pemindahan dan penempatan Hari Raya itu, pastilah mengandung pesan iman. Yang mau ditegaskan, keluarga merupakan bagian karya penyelamatan Allah. Artinya, keluarga adalah persekutuan hidup –dalam bahasa alkitabiah, Gereja kecil– yang dipakai Allah dalam melaksanakan rencana penyelamatan- Nya. Dalam Keluarga Kudus Nazaret, Yesus lahir, dididik hingga “bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada- Nya” (Luk 2:40) dan akhirnya siap melaksanakan perutusan yang harus diselesaikan- Nya.

Seperti apakah Keluarga Kudus sehingga Anak yang lahir di dalamnya menjadi penuh hikmat dan kasih karunia Allah ada pada-Nya? Jawabannya antara lain dapat ditemukan dalam dua pribadi yang disebut dalam Luk 2:22-40, yaitu Simeon (Luk 2:25) dan Hana (Luk 2:36). Tak ada keterangan apakah Simeon pernah berkeluarga. Sementara Hana adalah seorang janda. Yang jelas, mereka berdua termasuk dalam kelompok yang sering disebut “orang-orang yang cinta damai di negeri” (bdk. Mzm 35:20). Mereka hidup dengan spiritualitas tertentu. Spiritualitas atau semangat hidup mereka lebih mudah dipahami jika dibandingkan dengan semangat hidup kelompok lain yang merupakan arus besar pada zaman itu. Bangsa Yahudi yakin, sejak semula mereka adalah bangsa terpilih dan yakin pula pada suatu saat mereka akan menjadi penguasa dunia dan semua bangsa lain tunduk pada mereka. Karena itu, mereka mengharapkan datangnya tokoh istimewa yang akan mewujudkan keyakinan ini; dan sebagian percaya tokoh ini akan muncul dari wangsa Daud. Dengan kata lain, kelompok arus besar ini mengharapkan seorang pembebas dari garis Daud yang akan datang dengan kekuatan dan kekuasaan.

Sementara Simeon dan Hana, “orang-orang yang cinta damai di negeri”, hidup dalam penantian akan janji Allah dengan doa yang tekun dan sabar. Simeon menantikan penghiburan bagi umat. Penantian itu terpenuhi ketika ia datang ke Bait Allah oleh Roh Kudus, melihat Yesus yang muncul tidak dengan kekuasaan dan kekuatan. Bagi Simeon, Yesus yang dipersembahkan kepada Tuhan di Bait Allah ialah kepenuhan penantian dan harapannya. Karena sudah tak ada yang dinantikan dan diharapkan lagi, Simeon mohon pada Tuhan agar ia dibiarkan pergi dalam damai sejahtera.

Hana disebut sebagai nabi perempuan. Ia janda berusia 84 tahun dan hanya sempat hidup bersama suaminya selama tujuh tahun. Dengan riwayat hidup seperti ini, bisa dibayangkan, hidupnya berbeban. Ternyata beban itu tak membuat hidupnya pahit. Sebaliknya, pengalaman hidup membuatnya tegar dan makin dekat dengan Tuhan. Dalam usia uzur, ia tetap berharap dan meneguhkan harapannya dengan berpuasa dan berdoa (Luk 2:36-38). Akhirnya, ia pun berbicara tentang Yesus yang dipersembahkan ke Bait Allah sebagai kepenuhan harapannya sendiri dan harapan seluruh bangsanya.

Dalam Gereja Katolik, perkawinan adalah sakramen. Melalui sakramen perkawinan, dianugerahkan rahmat yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan perkawinan. Adapun salah satu tujuan sakramen perkawinan adalah agar keluarga yang dibangun olehnya menjadi Injil –warta gembira bagi Gereja dan dunia– seperti keluarga Nazaret, Simeon dan Hana. Rahmat itu tak datang dengan sendirinya, tapi mesti selalu dimohon. Berikut ini adalah bagian doa yang ditawarkan dalam bagian terakhir pesan yang disampaikan Paus Fransiskus bersama dengan para peserta Sinode Luar Biasa mengenai keluarga pada Oktober 2014.

“Bapa, anugerahkanlah kepada semua keluarga, mempelai-mempelai yang kuat dan bijaksana, agar mereka menjadi dasar keluarga yang merdeka dan bersatu. Bapa, anugerahkanlah kepada semua orangtua, agar mereka mempunyai rumah tempat mereka boleh hidup dalam damai dengan keluarga mereka. Bapa, buatlah agar anak-anak menjadi tanda kepercayaan serta harapan dan agar orang-orang muda boleh memiliki keberanian untuk menempa komitmen kesetiaan seumur hidup.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar