Renungan Senin, 01 Desember 2014 : Iman Bukan Warisan

 
Pekan I Adven
 
 Yes 2:1-5; Mzm 122; Mat 8:5-11

Orang Yahudi zaman Yesus menyadari, mereka semua keturunan Abraham. Kesadaran ini memunculkan keyakinan bahwa iman dan keselamatan adalah warisan. Maka, mereka sangat marah, saat Yesus mengatakan, iman perwira Romawi yang minta tolong agar ‘hamba’-nya yang lumpuh itu disembuhkan, jauh lebih besar daripada iman orang Israel (Mat 8:10).

Bagi orang Yahudi, perwira Romawi berpangkat Hekatontarchos (Yun. perwira yang membawahi 100 prajurit) itu adalah gambaran ‘kekotoran’. Pertama, ia bagian dari kekuasaan penjajah asing. Kedua, menurut ukuran Yahudi, moralnya bejat. Concern berlebihan dari perwira terhadap ‘hamba’-nya itu, Mat 8:6 memakai istilah pais (Yun. remaja), sedangkan Luk 7:2 memakai doulos entimos (budak yang di sayang), patut dipertanyakan. Ada indikasi, perwira itu punya ‘pederastic relationship, ‘hubungan ‘akrab’ antara laki-laki dewasa dengan laki-laki muda’, yang di kalangan perwira Romawi sudah lazim. Sebaliknya, pada Kitab Imamat 20:13, hubungan semacam itu dilarang keras.

Namun, Yesus memuji perwira ‘kotor’ itu, karena memiliki iman yang kuat; “katakan sepatah kata, maka remajaku akan sembuh”, dan kerendahan hati yang besar: “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku”. Bagi Yesus, iman dan kerendahan hati adalah kunci. Atas dasar itu, siapa saja bisa “datang dan duduk makan bersama dengan Abraham, Ishak, dan Yakub dalam Kerajaan Sorga,” (ay.11; bdk. Yes 56:1-8).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar