Renungan Senin, 22 September 2014 : Pewarta Sukacita


“Salib dan penderitaan manusia yang kadang tidak bisa di pahami, sekarang bisa diartikan sebagai pengurbanan bagi orang lain yang didasari kasih.” 

Pekan Biasa XXV

Ams 3;27-34; Mzm 15; Luk 8:16-18

Surat apostolik terakhir yang dikeluarkan Paus Fransiskus disebut Evangelii Gaudium, dalam bahasa Indonesia Sukacita Injili. Kalau dipikir-pikir, judul ini agak lucu. Bukankah evangelium yang berasal dari kata Yunani eu-anggelions ecara umum memang berarti kabar sukacita atau kabar gembira? Dengan demikian, Sukacita Injili sebenarnya juga bisa berarti Sukacita Kabar Sukacita atau Sukacita Kabar Gembira? Dua kali dipakai kata ‘sukacita’ dalam judul itu. Mengapa? Mungkin hal ini bisa di anggap redundant atau berlebihan, tetapi juga bisa dipandang sebagai usaha mengingatkan kita akan hal fundamental ini, yaitu bahwa kabar keselamatan sungguh merupakan kabar sukacita, kabar baik yang menggembirakan.

Selama ini ‘sukacita injili’ ini dirasa kurang tampak dalam kehidupan orang Kristen. Ada kesan, hidup Kristiani diwarnai dan diselimuti salib. Padahal kita tahu bahwa salib itu bukan akhir dari segala. Sesudah salib ada kebangkitan. Hanya saja terkesan, sukacita kebangkitan itu tersembunyi dan jarang sekali ditonjolkan. Kiranya, sekaranglah sesuatu yang tersembunyi itu dinyatakan. Inilah saatnya, pelita diletakkan di kaki pelita supaya semua orang bisa melihat cahaya, karena “tak seorangpun dikecualikan dari sukacita yang dibawa Tuhan” (EG 3).

Lalu? Apakah hidup kita sebagai pewarta memang mencerminkan sukacita? Atau penampilan kita justru seperti orang yang pulang dari pemakaman?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar