Pekan Biasa XXIII
1Kor 7:25-31; Mzm 45; Luk 6:20-26
Lukas 6:20-26 membuat kontras antara ‘berbahagialah’ (Yun.makarios),dengan ‘celakalah’ (Yun. ouai). Makna makarios adalah berada dalam ‘keadaan yang lama, di mana berkat dari Allah datang terus-menerus’.
Sebaliknya, ouai adalah ungkapan ‘kasihan terhadap mereka yang terkena pengadilan Illahi’. Tak ada lagi jalan menuju keselamatan bagi mereka yang sudah dikenai ouai.
Dalam Injil Lukas, Yesus menyebut mereka ‘yang miskin, lapar, menangis, dan dianiaya’ sebagai makarios. Mereka telah mengganti orientasi hidup: bermetanoia, mengosongkan diri, serta menutup semua hal yang menghalangi kehadiran Allah. Mereka menjadi lapar dalam roh, agar selalu mencari manna dari Sabda dan Roh Allah. Mereka selalu menangisi dosa, agar memperoleh kebebasan dari beban penindasan maut. Untuk menjadi makarios dibutuhkan iman (lih. Rom 4:5-7; 14:22- 23).
Sebaliknya, seruan ouai diterima mereka ‘yang kaya, kenyang, tertawa, dan di puji orang’. Ouai, celakalah, karena mereka berada jauh dari Allah, seluruh hidupnya telah dipenuhi ‘yang bukan Illahi’. Yang berkuasa hanyalah individualisme dan cinta diri, yang secara berurutan ‘melahirkan’ totalitarianisme, diskriminasi, kemiskinan, dana kehancuran martabat.
Ketika membaca perikop ini, mistikus Spanyol, St Yohanes Salib, mengatakan, “Biarkanlah jiwa saya hidup seakan-akan terpisah dari badanku”. Karena, menjadi ‘kosong’ berarti Allah telah memenuhi hidup ini, makarios sejati.
Lukas 6:20-26 membuat kontras antara ‘berbahagialah’ (Yun.makarios),dengan ‘celakalah’ (Yun. ouai). Makna makarios adalah berada dalam ‘keadaan yang lama, di mana berkat dari Allah datang terus-menerus’.
Sebaliknya, ouai adalah ungkapan ‘kasihan terhadap mereka yang terkena pengadilan Illahi’. Tak ada lagi jalan menuju keselamatan bagi mereka yang sudah dikenai ouai.
Dalam Injil Lukas, Yesus menyebut mereka ‘yang miskin, lapar, menangis, dan dianiaya’ sebagai makarios. Mereka telah mengganti orientasi hidup: bermetanoia, mengosongkan diri, serta menutup semua hal yang menghalangi kehadiran Allah. Mereka menjadi lapar dalam roh, agar selalu mencari manna dari Sabda dan Roh Allah. Mereka selalu menangisi dosa, agar memperoleh kebebasan dari beban penindasan maut. Untuk menjadi makarios dibutuhkan iman (lih. Rom 4:5-7; 14:22- 23).
Sebaliknya, seruan ouai diterima mereka ‘yang kaya, kenyang, tertawa, dan di puji orang’. Ouai, celakalah, karena mereka berada jauh dari Allah, seluruh hidupnya telah dipenuhi ‘yang bukan Illahi’. Yang berkuasa hanyalah individualisme dan cinta diri, yang secara berurutan ‘melahirkan’ totalitarianisme, diskriminasi, kemiskinan, dana kehancuran martabat.
Ketika membaca perikop ini, mistikus Spanyol, St Yohanes Salib, mengatakan, “Biarkanlah jiwa saya hidup seakan-akan terpisah dari badanku”. Karena, menjadi ‘kosong’ berarti Allah telah memenuhi hidup ini, makarios sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar