Pesta Salib Suci
Bil 21:4-9; Mzm 78; Flp 2:6-11; Yoh 3:13-17
Segala usaha Allah untuk mendekati dan menyelamatkan manusia, bahkan sampai rela serba mengalah adalah karena Allah mengasihi manusia.
Sebenarnya Allah dapat melakukan “kekerasan” untuk mendidik dan menyadarkan umat- Nya, seperti Bacaan I Minggu ini: Allah menghukum Israel yang bersungut-sungut dengan gigitan ular tedung yang mematikan. Kita ingat, Allah pernah mengirim air bah pada zaman Nuh (Kej 7) atau menghancurkan kota Sodom dan Gomora pada zaman Abraham (Kej 19:1-29).
Namun, sejarah pendampingan Allah pada Israel menampakkan Allah yang baik hati, pengampun, panjang sabar, dan berlimpah kasih setia (bdk.Bil 14:18). Alkitab merekam hal itu sejak awal Kitab Kejadian. Bukankah manusia pertama yang berdosa dan ingin menjadi seperti Allah pun diampuni-Nya?
Dalam Kitab Wahyu, Allah berkenan dan tak segan merepotkan diri mendatangi umat-Nya, “Ya, Aku datang segera” (Why 22:20). Dalam Kej 32:22-32, Allah rela diajak berkelahi oleh Yakub. Dalam peristiwa itu, Allah mengalah dan membiarkan Yakub menang. Allah pun rela diajak berdebat dan mengalah oleh permohonan tawar-menawar Abraham (Kej 18:23-33).
Banyak kisah dalam Perjanjian Lama menyatakan Allah yang rela duduk sama rendah dengan manusia, Allah yang mengajak Israel berdiskusi, berdebat, dan berperkara (misalnya: Ayb 9:3; 10:2; Mzm 143:2; Ams 29:9; Yes 1:18; 43:26; Yer 25:31; Yeh 20:36; Yoel 3:2; Mi 6:2). Dalam Flp 2:6-7, Yesus Putra Allah, “tidak menganggap kesetaraan-Nya dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan. Ia sangat merendahkan diri-Nya menjadi sama dengan manusia”.
Allah menghadapi dan mendidik manusia dengan kesabaran. Kita mungkin bisa membayangkan Allah yang sampai mengelus dada, “Jawablah Aku, dengan apa engkau Kulelahkan?” (Mi 6:3). Dalam kesejajaran dengan “mengelus dada” itu, kita ingat Yesus yang menangis keronto-ronto, nelangsa, remuk redam hati-Nya, ketika memandangi kota Yerusalem (Luk 19:41-42).
Tawaran Allah sering tidak kita dengarkan, apalagi kita turuti. Allah telah menempuh segala cara dan mengutus para nabi hingga Putra-Nya sendiri, untuk mendekati dan menyelamatkan manusia (Ibr 1:1-2). Marilah bertanya diri, apa tanggapan kita? Pada 14 September, kita memperingati Pemuliaan Salib Suci. Salib tempat Yesus bergantung ini konon pernah dijarah dan dibawa sampai Persia. Salib itu dibawa kembali ke Golgota kala Heraklius, Kaisar Roma mengalahkan Persia. Salib itu pun pernah hilang, tapi pada abad IV ditemukan kembali oleh St Helena (Ibu Kaisar Konstantinus).
Perayaan Pemuliaan Salib Suci mengacu pada peristiwa penemuan kembali Salib itu oleh St Helena. Perayaan Pemuliaan Salib Suci ini bukan pertama- tama menghormati “kayu palang” yang hilang dan ditemukan kembali. Perayaan ini terutama untuk menyatakan, Allah yang Mahakuasa itu penuh kasih dan rela menebus manusia, bahkan dengan cara yang paling hina sekalipun. Hal itu dilakukan oleh Allah, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak- Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16).
Jadi, segala usaha Allah untuk mendekati dan menyelamatkan manusia, bahkan sampai rela serba mengalah adalah karena Allah mengasihi manusia. Ketika saya membaca kisah orang Israel digigit ular dan Musa meninggikan ular perunggu, saya selalu teringat apotek, rumah obat, yang berlambang ular. Apotek adalah tempat orang bisa mendapatkan penawar luka atau penyakit untuk kesembuhannya.
Namun penawar di rumah obat hanya menyembuhkan penyakit fisik, sama seperti ular yang ditinggikan Musa. Luka rohani akibat dosa hanya bisa disembuhkan oleh Dia yang ditinggikan di kayu salib. Mengimani Dia yang ditinggikan di kayu salib akan mendatangkan keselamatan kekal.
Dalam Yesus, Allah telah bertekad agar tak seorang pun hilang (bdk.Yoh 6:39). Namun seperti lambang ular di apotek, salib sering sekadar menjadi hiasan. Masih banyak orang sakit yang tidak mencari obat ke apotek (baca: dokter), melainkan ke dukun.
Banyak orang memakai salib sekadar sebagai aksesoris, hiasan dinding rumah, bukan sebagai tanda syukur dan pertobatan. Kasih Allah yang menebus manusia masih harus terus diwartakan. Makna memperingati Pemuliaan Salib Suci adalah undangan agar kita sadar dan bersyukur bahwa Allah telah mencintai manusia sampai sehabis-habisnya.
Marilah membalas kasih-Nya dengan iman’ syukur yang sepadan.
Segala usaha Allah untuk mendekati dan menyelamatkan manusia, bahkan sampai rela serba mengalah adalah karena Allah mengasihi manusia.
Sebenarnya Allah dapat melakukan “kekerasan” untuk mendidik dan menyadarkan umat- Nya, seperti Bacaan I Minggu ini: Allah menghukum Israel yang bersungut-sungut dengan gigitan ular tedung yang mematikan. Kita ingat, Allah pernah mengirim air bah pada zaman Nuh (Kej 7) atau menghancurkan kota Sodom dan Gomora pada zaman Abraham (Kej 19:1-29).
Namun, sejarah pendampingan Allah pada Israel menampakkan Allah yang baik hati, pengampun, panjang sabar, dan berlimpah kasih setia (bdk.Bil 14:18). Alkitab merekam hal itu sejak awal Kitab Kejadian. Bukankah manusia pertama yang berdosa dan ingin menjadi seperti Allah pun diampuni-Nya?
Dalam Kitab Wahyu, Allah berkenan dan tak segan merepotkan diri mendatangi umat-Nya, “Ya, Aku datang segera” (Why 22:20). Dalam Kej 32:22-32, Allah rela diajak berkelahi oleh Yakub. Dalam peristiwa itu, Allah mengalah dan membiarkan Yakub menang. Allah pun rela diajak berdebat dan mengalah oleh permohonan tawar-menawar Abraham (Kej 18:23-33).
Banyak kisah dalam Perjanjian Lama menyatakan Allah yang rela duduk sama rendah dengan manusia, Allah yang mengajak Israel berdiskusi, berdebat, dan berperkara (misalnya: Ayb 9:3; 10:2; Mzm 143:2; Ams 29:9; Yes 1:18; 43:26; Yer 25:31; Yeh 20:36; Yoel 3:2; Mi 6:2). Dalam Flp 2:6-7, Yesus Putra Allah, “tidak menganggap kesetaraan-Nya dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan. Ia sangat merendahkan diri-Nya menjadi sama dengan manusia”.
Allah menghadapi dan mendidik manusia dengan kesabaran. Kita mungkin bisa membayangkan Allah yang sampai mengelus dada, “Jawablah Aku, dengan apa engkau Kulelahkan?” (Mi 6:3). Dalam kesejajaran dengan “mengelus dada” itu, kita ingat Yesus yang menangis keronto-ronto, nelangsa, remuk redam hati-Nya, ketika memandangi kota Yerusalem (Luk 19:41-42).
Tawaran Allah sering tidak kita dengarkan, apalagi kita turuti. Allah telah menempuh segala cara dan mengutus para nabi hingga Putra-Nya sendiri, untuk mendekati dan menyelamatkan manusia (Ibr 1:1-2). Marilah bertanya diri, apa tanggapan kita? Pada 14 September, kita memperingati Pemuliaan Salib Suci. Salib tempat Yesus bergantung ini konon pernah dijarah dan dibawa sampai Persia. Salib itu dibawa kembali ke Golgota kala Heraklius, Kaisar Roma mengalahkan Persia. Salib itu pun pernah hilang, tapi pada abad IV ditemukan kembali oleh St Helena (Ibu Kaisar Konstantinus).
Perayaan Pemuliaan Salib Suci mengacu pada peristiwa penemuan kembali Salib itu oleh St Helena. Perayaan Pemuliaan Salib Suci ini bukan pertama- tama menghormati “kayu palang” yang hilang dan ditemukan kembali. Perayaan ini terutama untuk menyatakan, Allah yang Mahakuasa itu penuh kasih dan rela menebus manusia, bahkan dengan cara yang paling hina sekalipun. Hal itu dilakukan oleh Allah, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak- Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16).
Jadi, segala usaha Allah untuk mendekati dan menyelamatkan manusia, bahkan sampai rela serba mengalah adalah karena Allah mengasihi manusia. Ketika saya membaca kisah orang Israel digigit ular dan Musa meninggikan ular perunggu, saya selalu teringat apotek, rumah obat, yang berlambang ular. Apotek adalah tempat orang bisa mendapatkan penawar luka atau penyakit untuk kesembuhannya.
Namun penawar di rumah obat hanya menyembuhkan penyakit fisik, sama seperti ular yang ditinggikan Musa. Luka rohani akibat dosa hanya bisa disembuhkan oleh Dia yang ditinggikan di kayu salib. Mengimani Dia yang ditinggikan di kayu salib akan mendatangkan keselamatan kekal.
Dalam Yesus, Allah telah bertekad agar tak seorang pun hilang (bdk.Yoh 6:39). Namun seperti lambang ular di apotek, salib sering sekadar menjadi hiasan. Masih banyak orang sakit yang tidak mencari obat ke apotek (baca: dokter), melainkan ke dukun.
Banyak orang memakai salib sekadar sebagai aksesoris, hiasan dinding rumah, bukan sebagai tanda syukur dan pertobatan. Kasih Allah yang menebus manusia masih harus terus diwartakan. Makna memperingati Pemuliaan Salib Suci adalah undangan agar kita sadar dan bersyukur bahwa Allah telah mencintai manusia sampai sehabis-habisnya.
Marilah membalas kasih-Nya dengan iman’ syukur yang sepadan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar