Renungan Selasa, 30 September 2014 : Tetap Fokus

 
Pw St Hieronimus, Imam Pujangga Gereja
 
Ayb 3:1-3, 11-17, 20-23; Mzm 88; Luk 9:51-56

Ungkapan ‘Yesus diangkat ke Surga’ dalam 9:51 tidak berhubungan langsung dengan kenaikan Yesus, tetapi memberi bingkai arah perutusan yang di terima Yesus dari Bapa, yaitu menuju Paskah sebagai puncak karya-Nya yang mengubah sejarah dunia. Pengangkatan atau peninggian Yesus dalam Injil Yohanes mencakup misteri hidup, penderitaan, wafat, kebangkitan, dan kenaikan ke surga.

Tindakan Yesus mengirim utusan yang mendahului-Nya ke Yerusalem menegaskan bahwa perjalanan Yesus juga perjalanan murid, yang harus siap mati demi Kerajaan Allah. Yakobus dan Yohanes, si ‘anak-anak guru’ marah terhadap penolakan orang-orang Samaria dan berniat membinasakan mereka. Pesan Yesus di balik teguran kepada para murid cukup jelas; Ia datang bukan untuk membinasakan, tetapi menyelamatkan!

Seorang murid tak membalas kejahatan dengan kejahatan. Utusan sejati tak membiarkan perhatian dicuri oleh perselisihan yang dapat melahirkan rencana atau tindakan tak terpuji. Ia tetap fokus dan mengarahkan pandangan ke depan, ke tempat di mana ia harus pergi.

Renungan Senin, 29 September 2014 : Dilindungi Malaikat

 
Pesta Malaikat Agung
 
Dan 7:9-10, 13-14; Mzm 138; Yoh 1:47-51

Filipus membawa Natanael kepada Yesus. Iman dan kejujuran Natanael di puji Yesus. Ia akan melihat hal-hal besar yang dijanjikan Yesus, antara lain ”melihat langit terbuka dan malaikat-malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia” (1:50-51). Hari ini Gereja merayakan Pesta Malaikat Agung; Mikael, Gabriel, dan Rafael.

Mikael berarti “siapakah yang sama dengan Allah”, ia adalah pembela orang beriman dalam menghadapi bahaya dan kejahatan. Sejumlah kisah tentang Mikael tampil dalam wahyu Yohanes. Mikael juga menolong bangsa Israel dari penganiayaan dan perpecahan.

Gabriel berarti “kekuatan Allah”, ia adalah pembawa kabar gembira yang diutus untuk membantu manusia memahami pesan dan penglihatan dari Tuhan. Dalam Perjanjian Baru, peranan dia dikenal dalam kunjungan kepada Maria untuk menyampaikan berita tentang kelahiran Yesus. Sementara, Rafael berarti “Tuhan menyembuhkan”, ia diutus menjadi tabib Allah. Kitab Tobit mengangkat kisah Rafael sebagai teman seperjalanan Tobia ke negeri Media, sekaligus utusan Tuhan untuk menyembuhkan Tobias dari kebutaan dan melepaskan kuasa gelap yang mengikat Sara, anak putri Raguel.

Ada malaikat yang melindungi kita dari bahaya. Ada malaikat pembawa kabar baik dan malaikat penyembuh dalam hidup kita. Terima kasih ya... Tuhan atas penyertaan- Mu melalui para Malaikat Agung.

Renungan Minggu, 28 September 2014 : Ketaatan Rohani

 
Minggu Biasa XXVI
 
Yeh 18:25-28; Mzm 25; Flp 2:1-11; Mat 21:28-32

Perumpamaan tentang dua orang bersaudara mencerminkan, setiap pribadi manusia memiliki pikiran, watak dan tindakan yang tak selalu sama dalam menanggapi Sabda Tuhan.


Saya pernah berkunjung ke sebuah penjara di Pontianak. Saya berjumpa bukan hanya dengan umat Katolik, tapi juga pemeluk agama lain yang meringkuk dalam penjara. Ini menunjukkan bahwa yang beriman atau beragama tidak dengan sendirinya terlepas dari tindak kejahatan. Setiap manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki keterbatasan, kekurangan dan kelemahan, sehingga sewaktu-waktu bisa jatuh dalam pikiran, perkataan dan tindak kejahatan yang menyengsarakan hidupnya.

Injil hari ini (Mat 21:28-32) menarik untuk disimak. Tema utama terkait dengan ketaatan rohani dalam hidup sehari-hari. Perumpamaan tentang dua orang bersaudara mencerminkan setiap pribadi manusia memiliki pikiran, watak dan tindakan yang tak selalu sama dalam menanggapi Sabda Tuhan. Anak sulung mendengar perintah ayahnya. Ia meng-iya-kan perintah itu namun tidak melaksanakannya. Kemudian, sang ayah mendatangi anak kedua dan menyampaikan isi pesan yang sama. Anak kedua menolak permintaan ayahnya. Namun, ia menyesal. Lalu, menjalankan perintah itu. Dari kedua anak tampak sikap dan tindakan yang berbeda. Si sulung hanya mengiyakan sebatas mulut. Hati, pikiran dan tindakannya tidak menjalankan perintah itu. Sedangkan, anak kedua membantah di mulut, tapi hati, pikiran dan tindakannya menjalankan perintah ayahnya.

Perumpamaan tentang “ketaatan” dan “ketidaktaatan” ini mengandung pesan keselamatan yang sangat penting bagi seluruh umat manusia. Orang-orang Farisi, yang berasal dari golongan rabi dan ahli taurat yang sangat berpengaruh, memiliki sikap lain. Umumnya mereka menganggap diri sebagai golongan yang menguasai taurat dengan lebih baik dan sudah menjalankan perintah Yahwe dengan sempurna. Akibatnya, mereka tertutup serta tak mau mendengarkan ajaran dan perintah Yesus. Mereka seolah-olah mendengarkan dan menerima Sabda Yesus. Padahal, setelah itu, mereka tak mau menjalankan perintah- Nya. Mereka menganggap diri jauh lebih baik, sempurna, dan kudus daripada orang lain. Mereka mendengarkan dan menanggapi Sabda Tuhan seperti angin lalu. Mereka tidak melaksanakan perintah Yesus.

Sementara itu, terdapat golongan masyarakat yang disingkirkan pada waktu itu, yaitu mereka yang berada diluar kaum Farisi dan orang Yahudi. Mereka dianggap sebagai orang kafir atau orang yang tidak mengenal Tuhan. Namun, justru golongan masyarakat yang dikelas duakan ini sungguh memperhatikan Sabda Tuhan. Mula-mula mereka merasa berat mendengarkan dan menjalankan Sabda Tuhan, tapi setelah itu mereka tersentuh dan tergerak oleh Sabda Tuhan. Di mulut, mereka menolak perintah Yesus, tapi dalam hidupnya, mereka melaksanakan perintah-Nya.

Pada zaman Yesus, sudah ada beberapa tipe manusia. Sekurang-kurangnya terdapat dua tipe yang menonjol. Golongan pertama adalah golongan anak sulung dan golongan kedua adalah golongan anak bungsu. Kedua golongan ini sama-sama mendengarkan pesan atau perintah ayahnya.

Yang pertama adalah yang bermulut manis. Kelihatannya lemah-lembut. Perkataannya enak didengar, kata-katanya halus, seakan tidak melukai. Yang bermulut manis tidak dengan sendirinya mencerminkan kemanisan hati. Ketidakserasian antara kata mulut dan hati sudah terasa sejak zaman Yesus. Lain di bibir, lain di hati. Kesenjangan ini menimbulkan sikap kemunafikan. Acapkali manusia tertipu oleh mereka yang pintar bermulut manis. Tindakan orang semacam ini biasanya jauh lebih kejam dan bengis. Cara-cara diplomasi biasanya menganut sistem pendekatan ini.

Sedangkan tipe kedua adalah mereka yang tidak bermulut manis, terkesan agak keras atau kasar. Mula-mula mereka menolak. Di balik kata-kata yang kurang manis, muncul penyesalan atau kekesalan. Dalam proses penyesalan ini muncul sikap positif, yaitu menjalankan apa yang dipesankan atau diperintahkan ayahnya. Di mulut, ia menolak, tapi dalam kenyataan ia melaksanakan atau memenuhi apa yang diperintahkan. Sikap ini mencerminkan kesungguhan seseorang untuk taat dan menjalankan perintah Yesus dengan penuh tanggung jawab.

Golongan kedua ini akan mendahului golongan Farisi memasuki Kerajaan Allah. Mereka yang hidup sederhana, jujur, tulus, dan berkehendak baik lebih dulu masuk Kerajaan Allah. Sementara mereka yang menganggap diri pintar, pandai, berkuasa dan lebih baik daripada yang lain mungkin masih harus menunggu proses antri yang panjang. Marilah kita siapkan diri sebaik mungkin ’ menyongsong kerajaan- Nya.

Renungan Sabtu, 27 September 2014 : Sukacita Salib

Pw. St. Vinsensius a Paul
 
 Pkh 11:9- 12:8; Mzm 90; Luk 9:43b-45

Ini adalah nubuat kedua tentang pen deritaan Yesus. Dikatakan bahwa para murid tak mengerti dan tak memahami perkataan Yesus karena isinya tersembunyi bagi mereka. Ketidakmengertian di antara murid bukan pertama-tama terletak di level intelektual, tetapi lebih di level eksistensial. Jalan atau model karya penyelamatan yang dijalani Yesus memang sesuatu yang tersembunyi.

Orang secara sederhana biasa berpikir, keselamatan itu identik dengan kegembiraan, makan enak, pesta pora, dan yang lain. Tidak pernah terbayangkan bahwa karya penyelamatan Allah ini terwujud melalui salib dan penderitaan. Tetapi, inilah sarana yang dipilih Allah. Dengan memilih salib dan kematian sebagai bagian dari karya keselamatan Allah, terbuka kemungkinan bagi kita untuk mengartikan salib atau penderitaan sebagai se suatu yang lebih positif. Salib dan penderitaan manusia yang kadang tidak bisa dipahami, sekarang bisa diartikan sebagai pengurbanan bagi orang lain yang didasari kasih.

Lalu? Kita bersyukur atas karya jenius Allah yang telah mengubah penderitaan manusia yang absurd dalam pandangan manusia menjadi sarana keselamatan..

Renungan Jumat, 26 September 2014 : Memahami Mesias


Pekan Biasa XXV

Pkh 3:1-11; Mzm 144; Luk 9:18-22

Ketika Petrus menjawab pertanyaan Yesus dengan tepat bahwa Ia ada lah “Mesias dari Allah”, Yesus justru melarang para murid agar tidak memberitahukan kepada orang lain. Kalau diperhatikan, maka perintah ini agak aneh. Di tempat lain, Yesus memerintahkan para murid untuk memberitakan kabar gembira, tetapi di sini Ia justru melarang para murid untuk mewartakan kepada dunia tentang identitas yang sejati sebagai “Mesias dari Allah”. Apakah Yesus melarang karena yang mau diwartakan adalah identitas-Nya? Kiranya tidak.

Yesus melarang para murid karena Ia perlu menjernihkan paham para murid tentang Mesias. Bisa saja para murid memahami Diri-Nya sebagai Mesias yang menang jaya. Maka, segera Yesus memberitakan bahwa Anak Manusia harus menderita, wafat dan bangkit (ay. 22). Yesus adalah Mesias, ya..., tetapi tidak seperti yang dibayangkan Petrus. Konsep para murid tentang Mesias perlu diluruskan sebelum diwartakan ke sudut-sudut bumi.

Lalu? Nabi Yesaya pernah mengatakan, “... rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan” (Yes 55,8). Dalam kehidupan beriman, kita memang hidup dalam ketegangan untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan gagasan atau kehendak Allah.

Renungan Kamis, 25 September 2014 : Berjumpa Yesus


Pekan Biasa XXV

Pkh 1:2-11; Mzm 90; Luk 9:7-9

Herodes merasa galau ketika mendengar “segala yang terjadi”, yang tampaknya menunjuk kepada “yang diperbuat Yesus”. Herodes galau karena hal ini dikaitkan dengan tokoh-tokoh istimewa dalam tradisi religius Israel, seperti Elia atau nabi terdahulu yang kemudian bangkit. Dalam tradisi Israel, kedatangan tokoh-tokoh tersebut mempunyai makna yang sangat serius: hari turun tangan Allah sudah tiba. Karena itu, Herodes ingin menegaskan siapa sebenarnya tokoh ini; ia ingin bertemu Yesus.

Tidak dikatakan hasil perjumpaan kedua tokoh ini. Tampak keinginan Herodes untuk bertemu dengan Yesus hanya merupakan keinginan yang tidak di iringi dengan kehendak yang cukup kuat untuk mewujudkan keinginan itu. Lukas mencatat bahwa pertemuan dua pribadi ini, Yesus dan Herodes, baru terjadi lebih dari sepuluh bab sesudah ini, yaitu pada Luk 23:8 dalam suasana yang berbeda. Di hadapan Herodes, Yesus tampil sebagai tahanan yang dikirim Pilatus. Pada waktu itu Herodes dikatakan “ia sangat girang. Sebab sudah lama ia ingin melihat-Nya, karena ia sering mendengar tentang Dia, lagi pula ia mengharapkan melihat bagaimana Yesus mengadakan suatu tanda.” Tetapi ketika Yesus diam saja, mulailah Herodes mengolok-olok dan menista Dia.

Lalu? Banyak orang tertarik kepada Yesus. Mereka lalu mencari tahu tentang Yesus. Tetapi, ketika mereka bertemu Yesus dan menyadari bahwa tuntutan Yesus tidak sesuai dengan pengharapan mereka, bisa jadi mereka segera mundur dari hadapan-Nya. Bagaimana dengan kita?

Renungan Rabu, 24 September 2014 : Kasihi Sesama

 
Pekan Biasa XXV
 
Ams 30:5-9; Mzm 119; Luk 9:1-5

Yesus mengutus murid-murid berkeliling dari desa ke desa memberitakan Kerajaan Allah dan menyembuhkan orang-orang sakit. Kabar Sukacita perlu diwartakan sampai ke ujung dunia. Seorang pewarta Kabar Sukacita tidak bisa hanya duduk menunggu konsumen yang tertarik. Ia mesti keluar dan pergi menjumpai semakin banyak mungkin orang. Para misionaris pada abad-abad awal sampai sekarang pun masih melaksanakan dengan penuh semangat perutusan Yesus ini.

Dua hal yang ada di balik semangat para misionaris ini; kasih kepada sesama dan keyakinan akan pesan yang dibawa. Kalau orang tidak mempunyai kasih kepada sesama, orang tak akan merasa perlu menawarkan pesan sukacita itu. Demikian juga, kalau orang tidak yakin akan pesan yang dibawa, untuk apa bersusah payah menawarkan kepada orang lain.

Lalu? Kalau dibandingkan dengan kelompok lain, aspek misioner orang Katolik kok tampak kalah jauh.

Apa benar demikian? Apa penyebabnya?

Renungan Selasa, 23 September 2014 : Keluarga Allah

 
Pekan Biasa XXV
 
Ams 21:1-6.10-13; Mzm 119; Luk 8:19-21

Orang mengatakan bahwa soal lahir, jodoh, dan mati ada di tangan Tuhan. Orang tidak bisa memilih atau menentukan ‘saya ingin lahir dari siapa atau di keluarga mana’. Hidup ini merupakan keterlemparan, tetapi tidak demikian hal jika kita berpikir tentang relasi Tuhan dengan manusia.

Ketika kepada Yesus diberitahukan bahwa ibu dan saudara-saudara-Nya mencari Dia, Yesus menanggapi dengan mengatakan, “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya.” Dengan demi kian Yesus membangun sesuatu yang baru. Relasi dengan Dia tak lagi ditentukan hubungan darah, tapi oleh pilihan bebas yang dibuat manusia. Keluarga Allah merupakan keluarga yang disatukan pilihan dan kehendak bebas manusia untuk mendengarkan Firman Allah dan melakukannya. Kemungkinan menjadi anggota keluarga Allah terbuka untuk siapapun yang mau.

Lalu? Tetapi untuk zaman sekarang ini, kita bisa bertanya, “Apakah menjadi anggota keluarga Allah atau menjadi ibu atau saudara-saudara Tuhan Yesus memang masih mempunyai makna?”

Renungan Senin, 22 September 2014 : Pewarta Sukacita


“Salib dan penderitaan manusia yang kadang tidak bisa di pahami, sekarang bisa diartikan sebagai pengurbanan bagi orang lain yang didasari kasih.” 

Pekan Biasa XXV

Ams 3;27-34; Mzm 15; Luk 8:16-18

Surat apostolik terakhir yang dikeluarkan Paus Fransiskus disebut Evangelii Gaudium, dalam bahasa Indonesia Sukacita Injili. Kalau dipikir-pikir, judul ini agak lucu. Bukankah evangelium yang berasal dari kata Yunani eu-anggelions ecara umum memang berarti kabar sukacita atau kabar gembira? Dengan demikian, Sukacita Injili sebenarnya juga bisa berarti Sukacita Kabar Sukacita atau Sukacita Kabar Gembira? Dua kali dipakai kata ‘sukacita’ dalam judul itu. Mengapa? Mungkin hal ini bisa di anggap redundant atau berlebihan, tetapi juga bisa dipandang sebagai usaha mengingatkan kita akan hal fundamental ini, yaitu bahwa kabar keselamatan sungguh merupakan kabar sukacita, kabar baik yang menggembirakan.

Selama ini ‘sukacita injili’ ini dirasa kurang tampak dalam kehidupan orang Kristen. Ada kesan, hidup Kristiani diwarnai dan diselimuti salib. Padahal kita tahu bahwa salib itu bukan akhir dari segala. Sesudah salib ada kebangkitan. Hanya saja terkesan, sukacita kebangkitan itu tersembunyi dan jarang sekali ditonjolkan. Kiranya, sekaranglah sesuatu yang tersembunyi itu dinyatakan. Inilah saatnya, pelita diletakkan di kaki pelita supaya semua orang bisa melihat cahaya, karena “tak seorangpun dikecualikan dari sukacita yang dibawa Tuhan” (EG 3).

Lalu? Apakah hidup kita sebagai pewarta memang mencerminkan sukacita? Atau penampilan kita justru seperti orang yang pulang dari pemakaman?

Renungan Minggu, 21 September 2014 : Keajaiban firman Tuhan


Pekan Biasa XXV

Yesaya 55:6-9;Filipi 1:20c-24,27a

  Apa yang menjadi jaminan bagi seseorang untuk kepastian keselamatannya? Bagi umat yang sudah sekian lama menderita karena hukuman Allah atas dosa-dosa mereka, tentu tidak akan sembarang memercayai janji keselamatan tanpa bukti nyata. Bukan hanya secara jasmani mereka menderita, rohani mereka pun gersang. Tak ada satu pun yang bisa mereka lakukan untuk melepaskan diri dari keputusasaan. Belenggu pembuangan begitu ketat dan kuat.

 Syukur kepada Allah, Dia telah menyatakan janji-Nya bahwa mereka yang berpaling dan menantikan keselamatan daripada-Nya tidak akan dikecewakan . Firman-Nya ya dan amin. Apa yang Allah janjikan dalam firman-Nya? Pertama, firmanNya adalah makanan dan minuman bagi jiwa, yang diberikan-Nya sebagai anugerah . Jangan mencari alternatif apapun untuk memuaskan dahaga rohani kita . Dia sendiri sudah menetapkan hamba-Nya, Mesias keturunan Daud, sebagai agen keselamatan ini .

 Kedua, ketika Allah berfirman, Ia juga menyatakan diri-Nya, Ia hadir di antara kita. Kita tidak dapat memisahkan firman-Nya dengan diri-Nya sendiri. Itu sebabnya, mencari Tuhan  adalah mencari firman-Nya. Ketiga, firman-Nya, jauh melampaui pemahaman kita . Dia adalah Allah yang tidak terbatas, firmanNya juga tidak terbatas. Namun segala kehendak-Nya dan apa yang Dia firmankan adalah untuk kebaikan kita. Keempat, firman-Nya sungguh berkuasa . Apapun yang Ia kehendaki pasti berhasil. Keadaan yang rusak, suasana yang mengerikan dan kehidupan yang sulit, secara ajaib akan berubah dengan baik ketika firman-Nya datang . Kelima, ada hormat dan pujian bagi orang yang memberitakan firman Tuhan  karena melalui dia, nama Tuhan dimahsyurkan.

 Firman-Nya ya dan amin. Kita yang sudah menerima keselamatan dan yang diberdayakan oleh firman-Nya demi misi-Nya, mari giat mengabarkan Injil agar lebih banyak lagi orang yang merespons undangan anugerah ini.

  Paulus menekankan pentingnya Hidup menghasilkan buah. Apa sebabnya Paulus dapat optimis bahkan bersukacita di tengah penderitaannya, khususnya pemenjaraan yang menimpa dirinya? Bukankah ada kemungkinan ia akan dieksekusi oleh karena imannya?

  Paulus tidak menguatirkan mengenai keselamatannya. Dia percaya bahwa kesudahan semua penderitaan dan penjara itu adalah keselamatan dirinya. Entah keselamatan dalam arti ia dibebaskan dari pemenjaraan fisik maupun keselamatan surgawi . Dirinya adalah pemberian dan milik Kristus, untuk Dia saja — hidup atau mati — Paulus mengabdikan dirinya.

  Yang Paulus kuatirkan ialah bagaimana hidupnya tetap dapat mempermuliakan Tuhan baik ketika ia ada di dalam penjara, maupun pada masa mendatang entah dalam keadaan apapun dia, bahkan sampai pada saat kematiannya . Bagi Paulus persoalannya bukan mati atau hidup, asalkan kedua-duanya memuliakan Tuhan. Di satu sisi memang kematian akan menyelesaikan perkara penderitaan dan kesusahan di dunia ini. Kematian berarti permulaan dari menikmati secara penuh persekutuan keselamatan yang telah Kristus kerjakan . Namun, di sisi lainnya Paulus melihat kebutuhan dan sekaligus panggilan Tuhan untuk tetap berkarya di dalam dunia ini. Paulus melihat kebutuhan konkret jemaat Filipi dan pelayanan mereka. Oleh sebab itu Paulus memutuskan untuk taat pada kehendak Allah yaitu tinggal di dalam dunia ini untuk hidup menghasilkan buah .

 Kematian bukan pelarian bagi Paulus. Selama ia hidup, ia harus memberi buah: menjadi berkat bagi orang-orang yang kepadanya Tuhan pertemukan. Kalau tiba waktunya kematian menjemput, Paulus tahu ia akan ke sorga mulia. Namun, sekarang selagi ia hidup berarti bekerja dan melayani Tuhan. Paulus sadar panggilan untuk menderita demi Kristus adalah panggilan mulia. Ia mendorong jemaat Filipi untuk tetap hidup sepadan dengan Injil  dan tiada gentar akan musuh-musuh yang akan menyerang mereka  walaupun menghadapi resiko sama seperti yang sedang dihadapi Paulus saat itu. Mengapa demikian?

  Pertama, adalah kehormatan bila seseorang menderita bagi Kristus karena itu berarti ia dipercaya untuk memikul salib dan mengikut Dia. Penderitaan menjadi suatu karunia sebab penderitaan itu karena melayani Dia yang telah menyerahkan nyawa-Nya bagi kita.

  Kedua, penderitaan mempersatukan Kristen. Bukan hanya berpegang pada prinsip Alkitab mempersatukan umat melalui disiplin ilahi, kenyataan hidup kita juga mempersatukan saat-saat Kristen menghadapi penganiayaan untuk menyangkal imannya, saat-saat itulah persekutuan doa dimulai. Saat-saat itulah Kristen saling menolong dan saling menguatkan.

  Ketiga, penderitaan merupakan latihan iman. Dengan melatih diri setia walaupun menderita, tetap melayani walaupun sakit, iman menjadi kuat dan tangguh. Tuhan dapat memakai kita untuk menjadi berkat bagi orang lain.

  Keempat, penderitaan beroleh makna baru. Bagi orang tidak beriman, penderitaan demi Injil adalah kekalahan. Bagi orang beriman, penderitaan demi Injil justru merupakan tanda keselamatan Allah sedang berlaku. Allah menyertai hamba-hamba-Nya dan menyelamatkan orang lain melalui penderitaan para hamba-Nya itu .

  Injil hari ini, Bukan upah tetapi karunia. Seperti halnya para pendengar ajaran Yesus, kita bisa berpikir bahwa mengikut Yesus sekian lama membuat kita layak beroleh upah. Upah itu adalah hak masuk sorga dan karunia kemuliaan sorgawi lainnya. Perumpamaan ini kembali menegaskan bahwa hak masuk sorga itu adalah karunia Allah; bukan upah dari Allah atas usaha moral atau agama yang kita lakukan. Panggilan Injil Kristus yang mencari, menemukan dan merubah kita. Orang bisa beriman, bertobat, berubah sifat, semata karena karunia Allah. Karena itu alasan untuk kita taat dan melayani Tuhan hanya satu: bersyukur dan mengasihi Tuhan yang telah lebih dulu mengasihi.

  Sama di hadapan karunia Allah. Bagian firman ini menolak anggapan bahwa karunia Allah membuat orang ayal-ayalan. Sebaliknya karunia Allah mengharuskan orang menjalani hidup sebagai murid Yesus yang tulus dan tekun dalam kebaikan serta pelayanan. Namun seluruh kebaikan dan pelayanan itu adalah hasil menerima dan mensyukuri karunia Allah. Di hadapan Allah, baik Kristen asal Yahudi (lebih dulu mengenal Yesus) maupun Kristen asal kafir (kemudian mengenal Yesus), sama tidak dapat membanggakan apa pun dari dirinya.

Renungan Sabtu, 20 September 2014: Kalahkan Maut!

 
Pw St Andreas Kim Tae-gon, Im dan Paulus Chong Hasang, dkk Mrt- Korea. 
 
1Kor 15:35-37,42-49; Mzm 56:10-14; Luk 8:4-15

Pertanyaan umat dalam bacaan, “Bagaimanakah orang mati dibangkitkan? Dan dengan tubuh apakah mereka akan datang kembali?” Paulus meyakinkan umat bahwa biji yang ditaburkan dalam kelemahan harus mati dahulu sebelum dibangkitkan dalam kekuatan (1Kor 15:43). Ia menegaskan, yang akan dibangkitkan bukanlah badan jasmani, tapi badan rohani kita. Janganlah menjadi orang bodoh yang hanya mementingkan keselamatan fisik dan materi. Kristus sudah mengalahkan maut dan kehidupan kekal menanti semua orang yang percaya kepada Dia.

Kebangkitan pada akhir zaman perlu dipersiapkan mulai sekarang. Kita ditantang agar mulai bangkit dari sekarang sebagai konsekuensi moral yang disinggung Paulus. Kebangkitan sekarang juga tidak diartikan secara fisik. Kita harus bisa membangkitkan jiwa dan roh kita untuk memuliakan Tuhan lewat sikap hidup. “Sebab Engkau telah meluputkan aku dari pada maut, bahkan menjaga kakiku, sehingga tidak tersandung; maka aku boleh berjalan di hadapan Allah dalam cahaya kehidupan” (Mzm 56:14).

Untuk mengalahkan maut, kita harus percaya kepada Allah dan memegang teguh firman-Nya. Melalui perumpamaan benih yang ditaburkan, Yesus mengajarkan untuk mendengarkan firman, menyimpan dalam hati, dan menghasilkan buah-buah kebaikan dengan tekun. Mari kita meneladan St Andreas Kim Taegon dan Paulus Chong Hasang yang berani beriman dengan serius dan mengalahkan maut..

Renungan Jumat, 19 September 2014 : Percaya Kebangkitan

 
Pekan Biasa XXIV
1Kor 15:12-20; Mzm 17; Luk 8:1-3

Credo atau pengakuan iman adalah rangkuman dari intisari iman kita. Dalam Credo terkandung kata-kata kebangkitan badan dan kehidupan kekal. Tanpa kebangkitan, sia-sialah pengorbanan Yesus. Kebangkitan Nya telah menyelamatkan dan membuat iman kita memperoleh pemenuhan. Paulus menegaskan, kebangkitan Kristus adalah bukti ada kebangkitan orang mati. Karena Kristus sungguh bangkit, maka kita seharus nya lebih berani mewartakan Injil dengan gembira, sebab iman kita tidaklah sia-sia.

Yesus blusukan keluar masuk kota dan desa memberitakan Injil bersama para rasul. Dalam pelaksanaan karya- Nya, Ia juga dibantu “tim sukses”. Hal yang menarik adalah tim sukses Yesus terdiri dari para perempuan yang telah disembuhkan-Nya. Perempuan biasa dianggap sebagai makhluk lemah, tetapi Yesus berani mengangkat martabat kaum perempuan. Kepada para perempuan ini nanti, Yesus menampakkan diri setelah kebangkitan (Mrk 16:9). Mereka juga yang mewartakan kebangkitan Yesus kepada banyak orang. Bagaimana dengan kita?

Renungan Kamis, 18 September 2014 : Kemurahan Tuhan

 
Pekan Biasa XXIV
1Kor 15:1-11; Mzm 118; Luk 7:36-50

Orang yang paling berdosa pun diselamatkan Tuhan. Dalam bacaan pertama, Paulus mengisahkan panggilan Tuhan atas dirinya. Paulus secara sadar menyebut dirinya sebagai yang paling hina. Ia merasa tak layak disebut rasul, karena masa lalunya. Ia menyebut dirinya lahir pada waktu yang salah, sebab ia ‘terlambat’ bertemu dengan Yesus dan ter lambat percaya kepada- Nya. Namun, bagi Tuhan, tak ada yang terlambat, jika orang mau membuka hati dan menerima hikmat-Nya.

Perempuan yang berdosa dalam bacaan Injil juga disebut sebagai orang yang paling hina. Meski begitu, ia mau bertobat dan berusaha memberikan yang terbaik bagi Tuhan. Terkadang manusia tak sadar bahwa segala sesuatu yang dimilikinya adalah pemberian Tuhan. Kita ditantang untuk memberikan sesuatu yang lebih bernilai bagi Tuhan, sebab Ia telah memberi kasih-Nya lebih dulu kepada kita.

Yesus menegur orang Farisi yang menyombongkan ketaatannya kepada Allah, tapi tak memberikan sesuatu yang dibutuhkan sesamanya. Iman kepada Allah tidak berarti hanya membangun relasi dengan Allah. Iman juga harus membangun relasi dengan sesama. Perbuatan kasih kepada sesama tak hanya membawa kita kepada keselamatan, tapi juga bagi orang-orang yang kita tolong. Dengan begitu, iman kita tak menjadi “iman yang egois”, melainkan iman yang merangkul dan menyelamatkan.

Renungan Rabu, 17 September 2014 : Love is the Greatest

 
Pekan Biasa XXIV
1Kor 12:31- 13:13; Mzm 33; Luk 7:31-35

Keutamaan adalah kebiasaan dan keteguhan hati untuk berbuat baik. Menurut Katekismus Gereja Katolik ada empat keutamaan hidup yang pokok; kebijaksanaan, keadilan, keuletan, dan penguasaan diri. Lalu, ditambah tiga keutamaan kristiani; iman, harapan, dan kasih.

Paulus menekankan, kasih adalah yang terbesar di antara semua keutamaan tersebut. Kasih menjadikan orang rendah hati dan terbuka kepada sapaan Allah. Orang yang kurang memiliki kasih, tak mampu menanggapi sapaan Allah dalam bentuk apapun. Yesus mengajarkan kepada kita, kasih adalah hukum pertama dan terutama (Mat 22:37-39). Namun, mengasihi dengan benar cukup sulit dilakukan, sebab mereka selalu mencari pembenaran bagi diri sendiri.

Yesus menegur orang-orang yang menolak-Nya. Ia mengumpamakan orang-orang itu sebagai orang yang sulit menerima hikmat. Orang yang mengakui hikmat berarti menerima Yesus. Supaya memperoleh hikmat, kita membutuhkan kasih yang besar. Kita diminta berani setia mengasihi Tuhan dan sesama sehabis-habisnya, seperti Yesus yang rela menderita, wafat dan bangkit bagi kita.

Renungan Selasa, 16 September 2014 : Keragaman dalam satu tubuh.


Pekan Biasa XXIV

1Kor 12:12-14,27-31a;Mzm 100:2,3,4,5;Luk 7:11-17

   Bhineka Tunggal Ika.” Semboyan ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beragam agama, bahasa dan suku bangsa. Namun, keberagaman itu tidak berarti menutup kemungkinan untuk bekerja bersama-sama. Paulus memakai keragaman ini melalui kesatuan tubuh dengan banyak anggota, untuk menggambarkan kesatuan gereja Kristus.

  Diakui bahwa tubuh kita terdiri dari bagian-bagian yang unik, khas, berbeda bentuk dan fungsinya (ayat 18). Peranan dan fungsi masing-masing anggota tubuh itu baru bisa dirasakan apabila ditempatkan dalam kesatuan tubuh. Di luar kesatuan itu masing- masing anggota tidak bisa berfungsi dan berperan sebagaimana mereka dibentuk. Kesatuan tubuh itu sedemikian solidnya sampai- sampai ketika gigi kita yang berlubang terasa nyeri maka kepala kita juga ikut pusing dan, pada akhirnya, seluruh anggota tubuh terganggu aktivitasnya (ayat 26).Kiasan ini sebenarnya merupakan adaptasi Paulus dari kuil Asklepius di Korintus. Dalam kuil tersebut terdapat banyak sekali anggota- anggota tubuh secara terpisah. Paulus ingin menekankan kepada jemaat tentang kesatuan tubuh Kristus. Jemaat Kristen di Korintus adalah gambaran tentang keadaan tubuh Kristus yang sebenarnya. Melalui penjelasan tersebut Paulus mengarahkan bagaimana jemaat Tuhan seharusnya hidup.

  Ada orang-orang yang diberikan fungsi khusus dalam rangka kesatuan jemaat. Tetapi tidak dapat dikatakan bahwa karunia yang satu lebih bernilai dibandingkan karunia lainnya, meskipun satu sama lainnya berbeda. Tetapi, Paulus mengingatkan bahwa mereka bisa berfungsi sebagai tubuh Kristus hanya bila mereka menyadari kebergantungan dan kesatuan dengan bagian tubuh lainnya.
Manfaatkanlah karunia-karunia khusus yang dianugerahkan oleh Kristus dalam kerjasama yang baik karena Dia yang kita layani.

   Injil hari ini, Yesus membangkitkan seorang pemuda yang sudah mati, anak dari ibu yang sudah janda. Namun peristiwa ini akan lebih memberikan gambaran yang lengkap jika kita lihat ayat-ayat sebelumnya tentang Yesus yang terlebih dahulu menyembuhkan seorang perwira di Kapernaum. Kita dapat menarik dua pelajaran penting dari cerita tentang seorang perwira di Kapernaum dan janda di Nain ini. Pertama, seorang perwira, bukan orang Israel, memiliki hamba yang sedang sakit keras dan hampir mati (ayat 9). Ia memiliki relasi yang sangat baik dengan orang-orang Yahudi (ayat 3), bahkan ikut berpartisipasi dalam pembangunan sinagoge (ayat 5). Ia juga memiliki suatu pengenalan yang benar tentang Yesus. Ia tahu Yesus memiliki kuasa untuk menyembuhkan tanpa harus datang, melihat ataupun menjamah hambanya yang sedang sakit keras dan hampir mati. Oleh karena itu, ketika permintaannya dipenuhi oleh Yesus, dan Yesus berjalan menuju rumahnya, ia mengutus sahabat-sahabatnya kepada Yesus, supaya Yesus tidak perlu ke rumahnya, cukup berkata saja, ia percaya bahwa hambanya akan sembuh. Pengenalannya yang tepat tentang Yesus yang adalah Mesias membuat perwira tersebut menanggapi secara aktif dan tepat terhadap Yesus.

   Kedua, ketika Yesus pergi ke Nain, di dekat gerbang kota, Ia melihat rombongan orang yang mengusung orang mati. Mestinya yang dilihat oleh Yesus pertama kali bukan orang mati yang diusung, tapi ibu dari orang mati tersebut. Seharusnya si ibu berjalan di depan, disusul usungan orang mati. Dia tidak memiliki suatu pengenalan yang tepat tentang siapa Yesus, sehingga dia tidak tahu harus bagaimana merespons kepada Yesus. Ketika berhadapan dengan Yesus, janda ini pasif. Namun dalam situasi seperti ini Yesus berinisiatif aktif terhadap janda ini. Dia menyentuh dan berkata kepada anak muda “bangkitlah.”

Dua pelajaran: Orang yang mengenal siapa Yesus, seharusnya memiliki respons iman seperti perwira. Kepada orang yang kurang mengenal Yesus, Yesus sendiri akan secara aktif memperkenalkan diri-Nya kepadanya.

Renungkan: Seberapa jauh dan dalam, pemahaman tentang Yesus? Pikirkan dan renungkanlah dalam hidupmu.

Renungan Minggu, 14 September 2014 : Allah Mengasihi secara Total

Pesta Salib Suci
 Bil 21:4-9; Mzm 78; Flp 2:6-11; Yoh 3:13-17

Segala usaha Allah untuk mendekati dan menyelamatkan manusia, bahkan sampai rela serba mengalah adalah karena Allah mengasihi manusia.

Sebenarnya Allah dapat melakukan “kekerasan” untuk mendidik dan menyadarkan umat- Nya, seperti Bacaan I Minggu ini: Allah menghukum Israel yang bersungut-sungut dengan gigitan ular tedung yang mematikan. Kita ingat, Allah pernah mengirim air bah pada zaman Nuh (Kej 7) atau menghancurkan kota Sodom dan Gomora pada zaman Abraham (Kej 19:1-29).

Namun, sejarah pendampingan Allah pada Israel menampakkan Allah yang baik hati, pengampun, panjang sabar, dan berlimpah kasih setia (bdk.Bil 14:18). Alkitab merekam hal itu sejak awal Kitab Kejadian. Bukankah manusia pertama yang berdosa dan ingin menjadi seperti Allah pun diampuni-Nya?

Dalam Kitab Wahyu, Allah berkenan dan tak segan merepotkan diri mendatangi umat-Nya, “Ya, Aku datang segera” (Why 22:20). Dalam Kej 32:22-32, Allah rela diajak berkelahi oleh Yakub. Dalam peristiwa itu, Allah mengalah dan membiarkan Yakub menang. Allah pun rela diajak berdebat dan mengalah oleh permohonan tawar-menawar Abraham (Kej 18:23-33).

Banyak kisah dalam Perjanjian Lama menyatakan Allah yang rela duduk sama rendah dengan manusia, Allah yang mengajak Israel berdiskusi, berdebat, dan berperkara (misalnya: Ayb 9:3; 10:2; Mzm 143:2; Ams 29:9; Yes 1:18; 43:26; Yer 25:31; Yeh 20:36; Yoel 3:2; Mi 6:2). Dalam Flp 2:6-7, Yesus Putra Allah, “tidak menganggap kesetaraan-Nya dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan. Ia sangat merendahkan diri-Nya menjadi sama dengan manusia”.

Allah menghadapi dan mendidik manusia dengan kesabaran. Kita mungkin bisa membayangkan Allah yang sampai mengelus dada, “Jawablah Aku, dengan apa engkau Kulelahkan?” (Mi 6:3). Dalam kesejajaran dengan “mengelus dada” itu, kita ingat Yesus yang menangis keronto-ronto, nelangsa, remuk redam hati-Nya, ketika memandangi kota Yerusalem (Luk 19:41-42).

Tawaran Allah sering tidak kita dengarkan, apalagi kita turuti. Allah telah menempuh segala cara dan mengutus para nabi hingga Putra-Nya sendiri, untuk mendekati dan menyelamatkan manusia (Ibr 1:1-2). Marilah bertanya diri, apa tanggapan kita? Pada 14 September, kita memperingati Pemuliaan Salib Suci. Salib tempat Yesus bergantung ini konon pernah dijarah dan dibawa sampai Persia. Salib itu dibawa kembali ke Golgota kala Heraklius, Kaisar Roma mengalahkan Persia. Salib itu pun pernah hilang, tapi pada abad IV ditemukan kembali oleh St Helena (Ibu Kaisar Konstantinus).

Perayaan Pemuliaan Salib Suci mengacu pada peristiwa penemuan kembali Salib itu oleh St Helena. Perayaan Pemuliaan Salib Suci ini bukan pertama- tama menghormati “kayu palang” yang hilang dan ditemukan kembali. Perayaan ini terutama untuk menyatakan, Allah yang Mahakuasa itu penuh kasih dan rela menebus manusia, bahkan dengan cara yang paling hina sekalipun. Hal itu dilakukan oleh Allah, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak- Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16).

Jadi, segala usaha Allah untuk mendekati dan menyelamatkan manusia, bahkan sampai rela serba mengalah adalah karena Allah mengasihi manusia. Ketika saya membaca kisah orang Israel digigit ular dan Musa meninggikan ular perunggu, saya selalu teringat apotek, rumah obat, yang berlambang ular. Apotek adalah tempat orang bisa mendapatkan penawar luka atau penyakit untuk kesembuhannya.

Namun penawar di rumah obat hanya menyembuhkan penyakit fisik, sama seperti ular yang ditinggikan Musa. Luka rohani akibat dosa hanya bisa disembuhkan oleh Dia yang ditinggikan di kayu salib. Mengimani Dia yang ditinggikan di kayu salib akan mendatangkan keselamatan kekal.

Dalam Yesus, Allah telah bertekad agar tak seorang pun hilang (bdk.Yoh 6:39). Namun seperti lambang ular di apotek, salib sering sekadar menjadi hiasan. Masih banyak orang sakit yang tidak mencari obat ke apotek (baca: dokter), melainkan ke dukun.

Banyak orang memakai salib sekadar sebagai aksesoris, hiasan dinding rumah, bukan sebagai tanda syukur dan pertobatan. Kasih Allah yang menebus manusia masih harus terus diwartakan. Makna memperingati Pemuliaan Salib Suci adalah undangan agar kita sadar dan bersyukur bahwa Allah telah mencintai manusia sampai sehabis-habisnya.

Marilah membalas kasih-Nya dengan iman’ syukur yang sepadan.

Renungan Sabtu, 13 September 2014 : Agama Palsu


Pw St Yohanes Krisostomus

1Kor 10:14-22a;Mzm 116;Luk 6:43-49

Bagi masyarakat Palestina, pohon ara (Ficus carica) merupakan pohon paling terkenal. Ia menjadi lambang kesuburan, perdamaian, dan kesejahteraan. Buah anggur juga menjadi lambang kegembiraan dan berkat. Sebaliknya, semak dan duri hanya layak dibakar. Dalam Injil hari ini, Yesus bicara tentang karakter Kristen. Ia tak tumbuh serta merta, tapi punya asal usul dan proses. Yesus bicara mengenai hubungan ‘sesuatu yang sehat’ dengan ‘hasil yang baik’. Hidup yang sehat berarti hidup jujur di hadapan Allah dan manusia. Kitab Yes 5:20 mengatakan, “Celakalah mereka yang menyebutkan kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat, yang mengubah kegelapan menjadi terang dan terang menjadi kegelapan, yang mengubah pahit menjadi manis, dan manis menjadi pahit.”

Kebohongan, buah yang buruk itu, memunculkan agama palsu yang menghilangkan ‘segala sesuatu yang keras’ dari religi, salib dari kekristenan, dan membuang kata-kata tajam Yesus, serta menempatkan pengadilan Allah sebagai latar belakang belaka.

Dengan menjadi jujur terhadap Allah, dalam Sabda-Nya, dan dalam Rahmat- Nya, kita memiliki landasan kokoh, yang tak akan lenyap meski taufan melanda (lih. Amsal 10:25). Memang perlu praktik!.

Renungan Jumat, 12 September 2014 : Bright Eyes, Bright

 
Pekan Biasa XXIII
 
1Kor 9:16-19, 22b-27; Mzm 84; Luk 6:39-42

Dengan mata jernih, masa depan pun jernih. Itulah pengalaman ribuan anak-anak SD yang mendapatkan kacamata gratis melalui aksi sosial dua yayasan peduli anak. Kegiatan itu terkait dengan Amsal 29:18, “Bila tidak ada penglihatan, menjadi liarlah rakyat.” Rakyat yang liar bukan lah yang kita kehendaki.

Maka, mata yang jernih, vision (penglihatan) mengenai kehidupan yang benar, memang menjadi kunci kesejahteraan dan arahan peta kehidupan. Dalam kekristenan, vision itu hanya diperoleh melalui Yesus Kristus. “Aku lah Jalan, dan Kebenaran, dan Hidup” (Yoh 14:6).

Jalan Yesus, jalan yang melewati salib. Dalam salib, dosa diampuni dan para pen dosa dibersihkan; kegelapan dan kebobrokan dihancurkan oleh cahaya dan kebenaran. Salib membebaskan kita dari kutukan dan menunjukkan jalan menuju kesatuan cinta dengan Allah.

Takhta Belas Kasih dengan salib menjadi mata yang baru untuk menatap masa depan. The Eyes of the Cross, ‘Mata dari Salib, itulah yang dipakai Nabeel Jabbour, seorang Arab beragama Kristen dalam memandang dan menilai budaya Islam. Hasilnya, sebuah ungkapan kasih!

Renungan Kamis, 11 September 2014 : Dua Sayap Doa

 
Pekan Biasa XXIII
1Kor 8:1b-7,11- 13; Mzm 139;Luk 6:27-38

ST Augustinus dari Hippo mengatakan, “Apakah kamu ingin doamu terbang kehadirat Allah? Berilah doa itu dua sayap; puasa dan derma.” Menurut Katekismus Gereja Katolik art. 1434, puasa, doa, dan berderma itu tiga bentuk tobat batin seorang Kristen menurut Kitab Suci dan Bapa Gereja.

Injil hari ini bicara tentang pertobatan. Sebelumnya, dalam relasi dengan sesama, yang dipakai adalah kriteria hak dan kewajiban. Kini, ketika berada dalam ke satuan dengan Yesus Kristus, yang menjadi ukuran adalah Rahmat Allah. Melalui ukuran itu, sesama diperlakukan berdasar ke hendak Allah yang Mahakasih dan Mahamurah.

Tobat batin itu sangat sulit. Apalagi ungkapan yang dipakai Yesus dalam ay.27-28, mengenai mereka yang melawan kita, sangat ‘menyengat’. Dalam teks Yunani itu sangat jelas. Echthros (musuh) adalah orang yang punya kebencian sangat pribadi; misé¯o (mem benci): tindakan kebencian disertai keinginan terus menganiaya; kataraomai (mengutuk): pengucapan kata-kata yang mencelakakan dengan memanggil kekuatan supranatural; ep¯ereázo¯ (mengancam): mengintimidasi memakai ancaman dan tuduhan terencana.

Dari sisi hak dan martabat manusia, semua tindakan itu harus dilawan. Namun, Yesus minta ‘mengasihi’ atau agapá¯o , yaitu sikap kasih yang tak berdiri sendiri, tapi selalu meluas ke sesama atas dasar kesatuan dengan kehendak Allah. Dibutuhkan pertobatan batin: berpuasa meninggalkan kriteria manusia, dan ‘mendermakan’ kasih Illahi.

Renungan Rabu, 10 September 2014 : “Makarios” Sejati

 
Pekan Biasa XXIII
1Kor 7:25-31; Mzm 45; Luk 6:20-26

Lukas 6:20-26 membuat kontras antara ‘berbahagialah’ (Yun.makarios),dengan ‘celakalah’ (Yun. ouai). Makna makarios adalah berada dalam ‘keadaan yang lama, di mana berkat dari Allah datang terus-menerus’.

Sebaliknya, ouai adalah ungkapan ‘kasihan terhadap mereka yang terkena pengadilan Illahi’. Tak ada lagi jalan menuju keselamatan bagi mereka yang sudah dikenai ouai.

Dalam Injil Lukas, Yesus menyebut mereka ‘yang miskin, lapar, menangis, dan dianiaya’ sebagai makarios. Mereka telah mengganti orientasi hidup: bermetanoia, mengosongkan diri, serta menutup semua hal yang menghalangi kehadiran Allah. Mereka menjadi lapar dalam roh, agar selalu mencari manna dari Sabda dan Roh Allah. Mereka selalu menangisi dosa, agar memperoleh kebebasan dari beban penindasan maut. Untuk menjadi makarios dibutuhkan iman (lih. Rom 4:5-7; 14:22- 23).

Sebaliknya, seruan ouai diterima mereka ‘yang kaya, kenyang, tertawa, dan di puji orang’. Ouai, celakalah, karena mereka berada jauh dari Allah, seluruh hidupnya telah dipenuhi ‘yang bukan Illahi’. Yang berkuasa hanyalah individualisme dan cinta diri, yang secara berurutan ‘melahirkan’ totalitarianisme, diskriminasi, kemiskinan, dana kehancuran martabat.

Ketika membaca perikop ini, mistikus Spanyol, St Yohanes Salib, mengatakan, “Biarkanlah jiwa saya hidup seakan-akan terpisah dari badanku”. Karena, menjadi ‘kosong’ berarti Allah telah memenuhi hidup ini, makarios sejati.

Renungan Selasa, 09 September 2014 : Dipilih sebagai Rasul

Pekan Biasa XXIII
1 Kor.6:1-11; Mzm.149; Luk.6:12-19

Yesus memilih 12 rasul (Yun. apóstolos) tanpa melalui ‘Rumah Transisi’ atau ‘lelang jabatan’. Lukas menulis, sebelum memilih, “Yesus pergi ke bukit, untuk berdoa, dan ia melewati seluruh malam (Yun. dianuktereuó) untuk berdoa kepada Allah” (Luk 6:12). Dalam Perjanjian Baru, ungkapandianuktereuó hanya ada satu kali (Luk 6:12). Ini sesuatu yang khusus. Para rasul dipilih berdasar dialog Yesus dengan Bapa, ‘setelah melewati seluruh malam bersama Allah’. Ada sisi keillahian dalam fungsi apóstolos. Berdoa menjadi ciri khusus Yesus saat akan mengambil keputusan penting.

Yesus memilih 12 rasul dari kalangan orang biasa, bukan profesional, tanpa pendidikan khusus, dan bukan tokoh publik. Yang diutamakan adalah kesediaan melakukan segala sesuatu di bawah kepemimpinan dan kekuasaan Yesus.

Dipilih menjadi apóstolos berarti diutus mewakili Yesus, memberi kesaksian mengenai Diri-Nya. Yang dibawa apóstolos adalah message dari Sang Pengutus, yang diwariskan melalui para rasul lain. Maka, rasul harus “menjadi saksi dengan kami tentang kebangkitan-Nya” (Kis 1:22). Ikatan dengan Gereja beserta seluruh Tradisi, Kitab Suci, serta Magisterium menjadi unsur dan kriteria yang paling penting mewujudkan karya kerasulan. Merasul bukan proyek pribadi, karena merasa imannya hebat. 

Renungan Senin, 08 September 2014 : Via Irregularis

Pesta Kelahiran SP Maria
Mi 5:2- 5a;Mzm 13;Mat 1:1-16, 18-23

Asal usul Yesus menurut Injil Mateus tak biasa (irregularis). Salah satunya, ada lima perempuan: Tamar, Rahab, Rut, Batsyeba (istri Uria), dan Maria, di tengah silsilah yang didominasi kaum pria. Dari lima tokoh itu, empat bukan orang Yahudi. Mereka melahirkan anak di luar skema normal adat setempat. Hubungan mereka dengan pasangan juga tak sesuai tuntutan hukum kemurnian zaman Yesus.

Tamar, orang Kanaan, mendekati Yehuda dengan berpakaian seperti perempuan asusila (Kej 38:1-30); Rahab, asal Yeriko, seorang tunasusila profesional (Yos 2:1-24); Batsyeba, orang Het, diambil Daud, meski bersuamikan Uria (2 Sam11:1-27); Rut, janda asal Moab, mendekati Boas dengan cara tak biasa (Rut 3:1-15; 4:13-17). Tentang Maria dan Yusuf, kita tentu sudah tahu.

Via irregularis, jalan yang tidak biasa, menjadi sarana perwujudan janji Keselamatan Allah. Jalan semacam ini banyak terjadi dalam sejarah keselamatan. Allah menjadi pengendali sejarah, bukan manusia. Maka, di hadapan sejarah keselamatan, semua memiliki nilai yang sama untuk dikasihi dan dipilih.

Maria dan Yusuf juga mengalami via irregularis tatkala diberi tugas menjadi sarana kehadiran Yesus. Maria menjawab, “Aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataan-Mu.” Sedangkan Yusuf “berbuat seperti yang diperintahkan oleh malaikat Tuhan kepadanya” (Mat 1:24). Teladan dua tokoh itu dapat membawa kita melihat kembali silsilah keluarga dengan kacamata Kasih Illahi. Dari situ,
segala yang baik akan mengalir sendiri.

Renungan Minggu 07 September 2014 : Tanggung Jawab Murid 'Menegur'


Minggu Biasa XXIII
Yeh 33:7-9; Mzm: 95; Rm 13:8-10; Mat 18:15-20

Kita itu berdosa bukan hanya karena secara aktif melakukan tindakan yang melawan cintakasih, melainkan juga karena secara pasif kita membiarkan orang melakukan kesalahan. Menegur adalah tindakan kasih.

Kita tidak pernah lepas dari kesalahan. Kalau didiamkan, kesalahan tersebut bisa makin parah, bukan hanya pada orang yang bersalah, tetapi juga bagi komunitasnya. Oleh karenanya, apabila ada orang yang bersalah, dibutuhkan orang yang mau dan mampu mengoreksi kesalahan tersebut, entah untuk menyelamatkan orang yang bersalah ataupun menyelamatkan kesejahteraan komunitas.

Injil hari ini (Mat 18:15-20) menampilkan Yesus yang meminta para murid-Nya untuk menegur orang yang bersalah guna menyelamatkan nyawanya. Menegur orang yang bersalah merupakan bagian dari tanggung jawab murid Tuhan. Seorang murid tidak boleh tinggal diam apabila ada saudaranya yang bersalah. Yesus bukan hanya meminta murid-Nya untuk menegur, tetapi bagaimana memberi teguran secara dewasa.

Pertama, teguran itu disampaikan dari hati ke hati sebagai suatu pertemuan dua saudara. Orang yang bersalah didatangi dan diajak bicara empat mata. Tentu teguran tersebut harus menggunakan kata dan cara yang pas dalam waktu yang tepat supaya orang yang ditegur dapat menerimanya dengan lapang dada; tidak merasa dipojokkan atau dihakimi. Di situ orang yang bersalah diharapkan mengakui kesalahannya dan mau memperbaiki perbuatannya. Itulah teguran langsung, tanpa tedeng aling-aling yang lahir dari cinta persaudaraan.

Akan tetapi, apabila yang bersalah tersebut tidak dapat menerima teguran, murid Tuhan diminta untuk melangkah ke tahap kedua, yaitu dengan menyertakan orang lain yang kiranya berwibawa untuk meyakinkan kesalahannya. Langkah kedua yang ditempuh ini menggunakan kewibaan orang-orang tertentu yang bisa memberi kesaksian atau bukti nyata. Bisa jadi orang tersebut tidak juga mau mendengarkan dua atau lebih orang lain yang berwibawa. Untuk itu, Yesus meminta para murid- Nya untuk maju ke tahap ketiga, yaitu membawa orang itu kepada komunitas. Setelah dengan menggunakan cara persaudaraan dan kewibawaan, orang yang bersalah tetap tidak mengindahkan, orang tersebut dihadapkan pada jemaat yang biasanya memiliki kesepakatan bersama (kekuatan hukum). Pada tahap ketiga ini, biarlah komunitas memperlihatkan kesalahannya secara legal supaya orang tersebut menyadari kesalahannya dan sungguh menyesalinya.

Yesus juga menyadari bahwa ternyata ada juga orang yang begitu bebal sehingga setelah melalui tiga tahap pun, yaitu pendekatan personal, teguran komunal, dan tuntutan legal (eklesial), orang yang bersalah tetap tidak mau memperbaiki kesalahannya. Untuk orang jenis ini, baik individu, komunitas, maupun Gereja tidak dapat berbuat apapun lagi. Anggaplah saja ia itu kafir, yaitu pemungut cukai; orang yang tak tahu hukum dan aturan; orang yang tak mengenal Allah. Di sini Yesus rupanya menyerahkan orang itu pada rahmat. Orang tersebut perlu didoakan dalam nama Yesus supaya bertobat.

Dalam tradisi kristiani, terdapat apa yang disebut dengan correctiofraterna, yaitu suatu kegiatan untuk mengoreksi saudara yang bersalah dengan semangat cinta kasih supaya orang yang bersalah diselamatkan dan keutuhan komunitas persaudaraan dapat dipertahankan. Dalam kehidupan kita, tegur- menegur menjadi masalah. Dalam bahasa Jawa, dikenal istilah ewuh-pakewuh, yaitu sikap segan kepada orang untuk mempertahankan hubungan dan menjaga perasaan orang yang bersangkutan. Orang merasa sungkan untuk menegur karena takut menyakiti saudara atau temannya. Bagi orang yang pekewuh, lebih baik mendiamkan orang bersalah daripada hubungan rusak gara-gara memberi teguran. Akan tetapi, rupanya ewuh pakewuh ini tak sesuai dengan nasihat Tuhan dalam Injil hari ini. Kita harus berani menegur sesama yang bersalah demi keselamatannya dan demi keutuhan komunitas. Kita berdosa bukan hanya karena secara aktif melakukan tindakan yang melawan cinta-kasih, melainkan juga karena secara pasif membiarkan orang melakukan kesalahan. Menegur adalah tindakan kasih kepada saudara dalam iman kepada Tuhan dengan harapan yang ditegur bertobat. Sambil dengan rendah hati melakukan introspeksi dan mawas diri, marilah kita berani memberi teguran kepada orang yang bersalah demi cinta-kasih sesuai dengan ’ perintah Tuhan..

Renungan Sabtu, 06 September 2014 : Mengabdi Manusia


Pekan Biasa XXII
1Kor. 4:6b-15; Mzm 145; Luk. 6:1-5

Kitab Suci Kejadian 1:1-2:3 bercerita tentang penciptaan alam semesta. Allah menyelesaikan ciptaan-Nya selama enam hari dan beristirahat pada hari ketujuh, maka hari itu dikuduskan untuk Allah. Kitab Ulangan 5:12- 15 memberi alasan lain hari Sabbat merupakan kesempatan istirahat bagi umat Israel. Hari itu mengingatkan Israel akan perbudakan di Mesir dan pembebasan oleh Allah. Maka, Sabbat mesti dinikmati dengan rasa syukur kepada Tuhan dan diisi dengan istirahat untuk memulihkan tenaga dari kelelahan selama enam hari bekerja keras, terutama bagi kaum buruh yang miskin. Jadi, hukum hari Sabbat menjamin kehidupan yang sejahtera bagi rakyat.

Pada masa Yesus, makna hari Sabbat disalahtafsirkan menjadi hari yang sulit, penuh aturan dan larangan, sehingga tak dapat dirayakan dengan sukacita. Ada sejumlah aturan dan larangan yang didaftarkan ahli-ahli Taurat berkaitan dengan “bekerja”, seperti menumbuk, menampi, mengirik, dan yang lain. Murid-murid Yesus melanggar kekudusan hari Sabbat, karena mereka memetik bulir-bulir gandum, mengirik dengan tangan, lalu menampi. Aturan Sabbat yang kaku ini masuk dalam kelompok “yang lama”, yang seharusnya sudah berakhir dengan kehadiran “yang baru” yaitu Mesias. Hukum apapun harus mengabdi kepada kepentingan manusia, bukan sebaliknya. Bagaimana sikap kita?

Renungan Jumat, 05 September 2014 : Kantong Baru


Pekan Biasa XXII
1 Kor 4:1 – 5; Mzm 37; Luk 5:33-39

Praktik berpuasa merupakan kebiasaan dalam tradisi Yahudi. Orang berpuasa dengan alasan tertentu, misal sebagai tanda pertobatan, perkabungan, atau untuk satu maksud tertentu. Beberapa orang Farisi mengeluh, karena murid-murid Yesus tidak berpuasa seperti yang lain. Yesus menanggapi keluhan itu dengan memberi gambaran tentang pengantin. Gagasan pengantin sering dipakai sebagai lambang kedatangan Mesias. Bila Mesias tiba, maka akan ada sukacita bagi mereka yang menerima Dia. Secara terselubung, Yesus adalah Mesias itu sendiri, yang kehadiran-Nya membawa kabar baik, berita pembebasan, pengampunan bagi mereka yang menerima.

Ajaran Yesus menawarkan pandangan hidup baru yang bertolak dari rencana Allah untuk menyelamatkan manusia. Sesuatu yang baru itu perlu ditanggapi dengan mentalitas baru, yakni sikap terbuka terhadap Sabda Tuhan. Yesus mengumpamakan dengan kain lama yang di tambal di kain baru dan anggur baru dalam kantong kulit lama. Bila masih mempertahankan hukum lama, maka akan sulit memahami pewartaan Yesus. Maka, pembebasan ke arah manusia baru pun sulit terjadi. Apakah kita masih menerima ajaran Yesus dalam kantong mental mapan yang sulit berubah?

Renungan Kamis, 04 September 2014 : Misi Baru


Pekan Biasa XXII
1Kor 3:18-23; Mzm 24; Luk. 5:1-11

Hari ini penginjil Lukas kembali menampilkan Yesus di tepi danau Genesaret. Mungkin saja orang banyak berdesakkan di sekitar Yesus karena ingin mendengarkan-Nya. Ia lalu berpindah keperahu Petrus dan mengajar. Orang banyak itu terkesan terhadap pribadi dan pengajaran Yesus. Tapi, tidak dikatakan secara jelas tanggapan mereka terhadap-Nya.

Kisah lalu berfokus kepada tokoh nelayan yang bernama Simon. Kesannya begitu dalam terhadap pribadi Yesus, sehingga ia membiarkan dirinya dicobai oleh-Nya, “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah...!” (Luk 5:4). Bagi Simon, hal ini tidak masuk akal, waktu dan strateginya tidak tepat. Jawab Simon, “Karena Engkau yang menyuruhnya, aku akan.... Inilah pengakuan iman Simon. Ternyata jala itu penuh ikan. Mereka heran dan bingung tentang pribadi Yesus. Ternyata, Dia memiliki “kuasa ajaib”.

Kata-kata Yesus telah mengubah pandangan hidup mereka. Daya tarik Yesus membuat mereka melepaskan keluarga, pekerjaan, dan mengikuti Dia. Petrus telah siap meninggalkan hidupnya sebagai nelayan dan menjadi murid Yesus. Ia telah menjadi manusia baru dengan nama baru dan misi baru. Setiap langkah perubahan itu tidak mudah. Namun, sabda Yesus menjadi jaminan. “Jangan takut...!” Bagaimana sikap kita?

Renungan Rabu, 03 September 2014 : Mari Pergi!


Pekan Biasa XXII
1Kor.3:1-9; Mzm 33; Luk. 4:38-44

Dari rumah ibadat di Kafarnaum, Yesus ke rumah Simon. Mertua Simon sedang demam keras. Yesus menyentuh tangannya dan memerintahkan penyakit itu keluar. Perempuan itu sembuh dan melayani rombongan Yesus. Menurut tradisi Yahudi, seorang laki-laki dilarang menyentuh perempuan. Tapi tindakan Yesus menghapus diskriminasi itu. Di mana saja Kerajaan Allah hadir, masalah sosial dan budaya, yang selama itu membelenggu manusia akan tersingkir.

Berita penyembuhan pun tersebar luas. Orang-orang sakit dihantar kepada Yesus. Ia meletakkan tangan ke atas mereka masing- masing tanpa gegabah; setiap orang mendapatkan perhatian-Nya secara penuh, meski jumlah mereka sangat banyak.

Hari berikut, Yesus pergi menyendiri untuk berdoa. Penginjil Lukas selalu menampilkan Yesus yang bekerja dan berdoa. Dalam doa, Yesus mengenal kehendak Allah. Orang banyak mencari-Nya, mungkin bukan untuk mendengarkan ajaran-Nya, tetapi ingin melihat mukjizat yang dilakukan-Nya. Mereka minta agar Yesus bermalam, tentu untuk melayani kebutuhan mereka, tanpa memikirkan kebutuhan orang di wilayah lain. Yesus berani meninggalkan penerimaan yang hangat dan pergi.

Renungan Selasa, 02 September 2014 : Perkataan Yesus


Pekan Biasa XXII
 1Kor. 2:10b-6; Mzm 145; Luk 4:31-37

Dari Nazaret, Yesus ke Kafarnaum, lingkungan orang-orang yang dianggap kafir. Ia masuk ke rumah ibadah lalu mengajar. Kata-kata-Nya penuh kuasa Roh dan menakjubkan, walaupun penginjil tidak menyampaikan persis kata-kata yang diucapkan-Nya. Roh jahat dalam diri orang kerasukan itu mengenal Yesus sebagai Yang Kudus dari Allah. Namun, Yesus tak mem biarkan diri-Nya dikenal. Ia malah menghardik setan itu agar diam dan keluar dari orang itu. Pernyataan diri Yesus sebagai Mesias baru akan terpenuhi pada peristiwa penyaliban dan kebangkitan-Nya. Semua orang heran, “alangkah hebat perkataan ini...!”

Perkataan Yesus bersumber dari diri- Nya yang memiliki hubungan intim dengan Allah. Ia berbicara atas nama diri- Nya, tidak sama seperti para ahli Taurat. Yesus tak hanya memberi informasi tentang Allah yang menyelamatkan, namun Dia memberi pengalaman akan penyelamatan itu melalui tindakan “penyembuhan”’. Tindakan itu menjadi tanda Kerajaan Allah hadir dan sedang memasuki sejarah manusia.

Manusia zaman ini juga tertarik dengan mukjizat penyembuhan. Orang akan pergi mencari, karena ingin sembuh. Melalui tanda-tanda ajaib itu, Tuhan mengundang kita untuk mengikuti-Nya. Apakah kita bersedia memikul salib-Nya?