Renungan Senin, 01 Desember 2014 : Iman Bukan Warisan

 
Pekan I Adven
 
 Yes 2:1-5; Mzm 122; Mat 8:5-11

Orang Yahudi zaman Yesus menyadari, mereka semua keturunan Abraham. Kesadaran ini memunculkan keyakinan bahwa iman dan keselamatan adalah warisan. Maka, mereka sangat marah, saat Yesus mengatakan, iman perwira Romawi yang minta tolong agar ‘hamba’-nya yang lumpuh itu disembuhkan, jauh lebih besar daripada iman orang Israel (Mat 8:10).

Bagi orang Yahudi, perwira Romawi berpangkat Hekatontarchos (Yun. perwira yang membawahi 100 prajurit) itu adalah gambaran ‘kekotoran’. Pertama, ia bagian dari kekuasaan penjajah asing. Kedua, menurut ukuran Yahudi, moralnya bejat. Concern berlebihan dari perwira terhadap ‘hamba’-nya itu, Mat 8:6 memakai istilah pais (Yun. remaja), sedangkan Luk 7:2 memakai doulos entimos (budak yang di sayang), patut dipertanyakan. Ada indikasi, perwira itu punya ‘pederastic relationship, ‘hubungan ‘akrab’ antara laki-laki dewasa dengan laki-laki muda’, yang di kalangan perwira Romawi sudah lazim. Sebaliknya, pada Kitab Imamat 20:13, hubungan semacam itu dilarang keras.

Namun, Yesus memuji perwira ‘kotor’ itu, karena memiliki iman yang kuat; “katakan sepatah kata, maka remajaku akan sembuh”, dan kerendahan hati yang besar: “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku”. Bagi Yesus, iman dan kerendahan hati adalah kunci. Atas dasar itu, siapa saja bisa “datang dan duduk makan bersama dengan Abraham, Ishak, dan Yakub dalam Kerajaan Sorga,” (ay.11; bdk. Yes 56:1-8).

Renungan Sabtu, 29 November 2014 : Sumber Kekuatan

 
Pekan Biasa
 
Why 22:1-7; Mzm 95; Luk 21:34-36

Doa merupakan aspek penting dalam kehidupan Yesus. Dalam doa, Yesus membangun relasi khusus dan mendalam dengan Tuhan. Ia selalu berada di bawah kendali kehendak Allah, bukan di bawah keinginan atau kemauan orang lain. Orang yang selalu berdoa, hidupnya diresapi dengan kehendak Tuhan, pikiran dan kehendaknya disetir kehendak Allah. Yesus mengawali setiap pekerjaan-Nya maupun keputusan-keputusan-Nya dengan terlebih dahulu berdoa kepada Bapa-Nya.

Sikap yang tepat bagi setiap orang dalam menantikan kedatangan Tuhan adalah “berjaga”. Tapi itu belum cukup. Dalam berjaga orang harus senantiasa “berdoa” atau berkomunikasi dengan Tuhan. Berjaga bukan berarti menunggu waktu, melainkan melaksanakan ke hendak Tuhan dalam hidup harian yang biasa, agar ketika Dia datang, Ia menemukan kita dalam keadaan “berjalan menurut kehendak- Nya”. Seluruh hidup kita dapat menjadi sebuah doa yang tak berkesudahan.

Bagi orang kristiani, doa merupakan sumber lentera yang senantiasa memberikan terang, memberikan kehangatan, dan menjadi penyuluh bagi setiap langkah hidup. Allah dapat melakukan mukjizat melalui doa-doa yang sederhana, tulus dan penuh iman.

Renungan Jumat, 28 November 2014 : Musim Semi

 
Pekan Biasa XXXIV
 
Why 20:1- 4,11- 21:2; Mzm 84; Luk 21:21-33

Pewartaan tentang kedatangan Kerajaan Allah selalu disampaikan penginjil melalui kiasan. Kali ini penginjil mengangkat pohon ara yang mulai bertunas pada musim semi. Musim semi atau “primavera” adalah suatu keadaan yang menggembirakan, matahari mulai bersinar, tumbuh-tumbuhan mulai bertunas, setiap pohon mulai berbuah.

Yesus mewartakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Nuansa dari kerajaan tersebut seperti keindahan musim semi yang membawa semangat hidup baru. Kehidupan baru tersebut ditandai dengan pembebasan dan pelepasan dari berbagai belenggu yang selama itu dialami rakyat kecil.

Yesus meneguhkan dan memberi jaminan terhadap pelaksanaan pewartaan-Nya dengan pernyataan yang sangat tegas, “... langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan- Ku tidak akan berlalu.” Pembebasan itu benar terjadi dan nyata melalui berbagai mukjizat penyembuhan, pembangkitan orang mati, dan konflik dengan para pemimpin agama yang menindas hak-hak rakyat jelata. Bagi umat kristiani zaman sekarang, bagaimana kita mengambil bagian dalam misi pembebasan Yesus bagi sesama yang masih terbelenggu?

Renungan Rabu, 26 November 2014 : Berani Bersaksi

 
Pekan Biasa XXXIV
 
 Why 15: 1-4; Mzm 98; Luk 21:12-19

Kedua buku yang ditulis penginjil Lukas, Kisah Para Rasul dan Injil, menunjukkan kesamaan antara hidup Yesus dan hidup para murid-Nya. Yesus dimampukan oleh Roh Kudus untuk melaksanakan misi-Nya (Luk 3:22), begitu pula para murid (Kis 2:1-13). Yesus dilawan dan dibenci banyak orang, demi kian juga para murid (Luk 23:1-25 dan Kis 25-26). Yesus mengingatkan para murid-Nya, agar ketika mereka menghadapi penolakan dan kebencian, mereka tidak perlu membela diri dengan cara-cara yang biasa dipakai manusia. Sebab, Roh Yesus akan menyanggupkan mereka untuk bersaksi.

Para murid bertanya kepada Yesus tentang kapan tanda-tanda akhir zaman itu terjadi. Yesus hanya mengatakan bahwa akan didahului dengan berbagai peperangan dan bencana. Tidak seorang pun dari manusia yang hidup ini tahu kapan akhir zaman terjadi, sebab itu adalah rencana ilahi.

Yang dapat kita lakukan adalah melaksanakan kehendak Tuhan, sekalipun ada tantangan, bahkan kematian seperti Yesus. Zaman ini membutuhkan orang yang tangguh dalam iman dan mampu bersaksi tentang kebenaran dalam Yesus Kristus. Bagaimana dengan kita?

Renungan Selasa, 25 November 2014 : Hukum Kasih

 
Pekan Biasa XXXIV
 
 Why 14:14-20; Mzm 96; Luk 21:5-11

Mula-mula umat Israel tidak mempunyai rumah ibadah permanen yang disebut Kenisah. Mereka mengembara di padang gurun bersama kawanan ternak. Biasanya mereka mendirikan sebuah tenda yang di dalamnya diletakkan semacam tabernakel berisi sepuluh Firman Allah.

Baru pada masa Raja Salomon, didirikan sebuah Kenisah megah di atas bukit Moria. Kenisah itu menjadi kebanggaan dan simbol identitas umat Israel, sekaligus simbol kehadiran Allah di tengah umat-Nya (1Raj 8:10-13). Setiap orang Yahudi harus datang berziarah ke Bait Allah tersebut sekali dalam satu tahun. Begitu penting Bait Allah di Yerusalem, sehingga keruntuhannya dilihat sebagai tanda-tanda akhir zaman.

Ramalan Yesus tentang kehancuran Bait Allah dan berbagai peperangan di Yeru salem mengisyaratkan dua hal yang akan terjadi; penganiayaan terhadap Gereja oleh orang-orang Yahudi dan penghukuman Allah terhadap Yerusalem yang menolak pewartaan Yesus Kristus. Dalam Perjanjian lama hal itu dilihat sebagai ‘Hari kedatangan Tuhan’ (Yes 34:8;35:4) yang adalah saat penghakiman terhadap manusia. Perbuatan kasih yang diajarkan Tuhan menjadi dasar pengadilan-Nya.

Kehancuran Bait Allah yang kedua kali menjadi tanda berakhir zaman hukum lama; orang akan menemukan sebuah era dan jalan hidup baru dalam Yesus Kristus yang menguatkan hukum kasih. Sikap yang tepat dalam menanti hari kedatangan Tuhan adalah “bertobat”, dan hidup dalam keadaan siap sedia melaksanakan kehendak-Nya.

Renungan Minggu, 23 November 2014 : Raja Semesta Alam

 
Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam
 
Yeh 34:11-12,15-17; Mzm 23; 1Kor 15:20-26,28; Mat 25:31-46

Injil pada Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam dalam Tahun A ini berkisah tentang “Pengadilan Terakhir”. Yesus Kristus adalah Raja atas segala ciptaan: manusia, dunia, dan semesta alam. Sebagai Raja semesta alam, Yesus digambarkan sebagai Dia yang akan menghakimi dunia –terutama manusia– pada akhir zaman.

Kisah “Pengadilan Terakhir” dalam Injil Matius (Mat 25:31-46) memberi pesan yang sangat penting untuk hidup keagamaan kita. Di tempat lain dalam Injil yang sama, Yesus menegaskan, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat 5:20). Yesus menyalahkan hidup keagamaan para ahli Taurat dan kaum Farisi yang hanya bersifat legalistis-formalistis, semata lahiriah, dan tidak keluar dari hati.

Tidakkah gejala semacam itu tampak dalam kehidupan keagamaan di tengah masyarakat kita dewasa ini? Di satu pihak, tampaknya bangsa kita sangat agamis. Pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) setiap Warga Negara Indonesia (WNI) pasti tercatat sebagai pemeluk salah satu agama atau kepercayaan. Sejumlah Hari Raya setiap agama yang diakui resmi oleh negara dijadikan hari libur nasional. Tempat- tempat ibadah (masjid, gereja, pura, vihara, klenteng) bertaburan di mana-mana. Tempat-tempat ibadah tersebut hampir selalu penuh sesak pada hari-hari suci agama yang bersangkutan. Setiap pejabat negara diangkat dengan mengucapkan sumpah menurut agama masing-masing. Dalam setiap upacara kenegaraan pasti ada acara doa. Dan, setiap pidato atau sambutan pejabat selalu dibuka serta ditutup dengan sapaan khas agama.

Namun di lain pihak, perilaku masyarakat kita, khususnya kalangan elit, dalam kehidupan nyata jauh berbeda, bahkan bertentangan dengan ajaran agama. “Iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata. Penghayatan iman lebih berkisar Raja Semesta Alam Mgr Johannes Liku Ada’ Uskup Agung Makassar pada hal-hal lahiriah, simbol-simbol dan upacara keagamaan,” demikian ditegaskan dalam Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2003.

Dengan demikian, pesan Injil hari ini menjadi sungguh relevan. Pada akhir zaman, Kristus akan datang dan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya untuk mengadili kita. Saat itu, Ia tidak akan menanyakan pengetahuan kita tentang Allah atau Mesias, tentang ibadah dan praktik kesalehan kita. Ia justru akan menilai keberhasilan atau kegagalan hidup kita dengan mengemukakan satu pertanyaan saja: “Bagaimana kamu bersikap terhadap sesamamu?”

Kristus telah mengajar dan menunjukkan kepada kita tentang Hukum Kasih. Ia menegaskan bahwa kasih adalah hukum yang pertama dan utama. Kasih adalah hukum dasar yang daripadanya segala hukum lainnya bergantung. Dan, kasih itu harus dihayati serta diamalkan dalam tindakan-tindakan konkret, seperti memberi makan bagi yang lapar, memberi minum bagi yang haus, memberi tumpangan bagi orang asing, memberi pakaian kepada yang telanjang, melawat yang sakit, serta mengunjungi yang dalam penjara. Dari tindakan-tindakan kasih itulah tergantung keselamatan kita!

Bahkan, Kristus menegaskan bahwa dalam diri sesama kita yang sederhana dan hina dina, kita sebenarnya bertemu dengan Tuhan, Raja Semesta Alam itu sendiri. Sebab,Raja itu bukan seorang raja yang bersemayam di dalam kemuliaan yang tak terhampiri. Ia merupakan seorang raja yang solider dengan rakyat- Nya yang paling kecil sekalipun. Ia mengenal seluk-beluk hidup mereka dan Ia berada bersama mereka. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara- Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Ya,

Yesus Raja Semesta Alam, buatlah aku mampu melihat dan mencintai Engkau dalam diri sesamaku. .

Renungan Sabtu, 22 November 2014: Jawaban Tepat

 
Pw St Sesilia
 
Why 11:4-12; Mzm: 144; Luk 20:27-40

Injil hari ini mengisahkan sebagian dari serangan para lawan Yesus yang dengan berbagai macam cara mencoba menjerat Yesus. Mereka berusaha mencari-cari kesalahan Yesus yang sedang mengajar di Bait Allah. Mereka menunggu jawaban salah Yesus yang akan menghancurkan keyakinan orang banyak yang pada saat itu mulai terpikat dengan Yesus.

Satu per satu dari Luk 20:1 secara bergantian imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat, dan orang Saduki mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang “bercabang”. Misal, pertanyaan seputar dari mana kuasa yang didapat Yesus, apakah boleh membayar pajak kepada kaisar, dan tentang apakah ada kebangkitan. Untuk yang terakhir, kalau Yesus bilang ada kebangkitan, maka Yesus dianggap menentang Hukum Musa. Sementara, jika Yesus bilang tidak, hal itu bertentangan dengan ajaran-Nya bahwa Anak Manusia akan bangkit pada hari ketiga. (Luk 18:33).

Pertanyaan bercabang dua ini mengandung jerat perangkap pada setiap cabangnya. Namun, Yesus, Tuhan kita, sungguh luar biasa. Yesus menggunakan pola pikir atau strategi para lawannya sendiri. Jawaban cerdas Yesus diakui beberapa ahli Taurat, “Guru, jawab-Mu itu tepat sekali.” Para lawan Yesus pun tidak berani lagi menanyakan apa-apa kepada Yesus (ay.40)..

Renungan Jumat, 21 November 2014: Menyucikan Bait Allah

 
Pw Maria Dipersembahkan kepada Allah
 
Why 10:8-11; Mzm 119; Luk 19:45-48

Tindakan Yesus menyucikan Bait Allah sebenarnya dilakukan dengan dua cara. Yang pertama sebagaimana kita tahu yaitu dengan mengusir para pedagang (ay. 45) dan yang kedua yang paling penting sebenarnya adalah Yesus hadir di Bait Allah dan mengajar disana (ay. 47).

Kehadiran Yesus di rumah Allah mengingatkan kita akan kisah-kisah dalam Perjanjian Lama, seperti dalam Kitab Ulangan, Mazmur, 1-2 Samuel, dan Kitab Nabi-Nabi. Kehadiran Allah di Bait-Nya merupakan simbol identitas bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah. Kehadiran Allah di Bait-Nya akan memulihkan segala penderitaan Israel, karena kasih dan ke adilan akan ditegakkan di tengah bangsa ini.

Kehadiran Allah di tengah umat-Nya menuntut tanggapan dari pihak manusia. Hal ini digambarkan dengan indah dalam ay. 48, di mana dikatakan, “seluruh rakyat terpikat kepada-Nya dan ingin mendengarkan Dia.”

Renungan Kamis, 20 November 2014 : Tangisan Mesias

 
Pekan Biasa XXXIII
 
Why 5:1-10; Mzm 149; Luk 19:41-44

Injil menceritakan Yesus yang masuk ke kota Yerusalem. Yang menarik adalah ketika Yesus melihat kota itu, Yesus menangisinya. Ungkapan ini sangat luar biasa karena menggambarkan Tuhan Yesus mempunyai hati yang penuh dengan belas kasih. Kata “menangis” dalam Kitab Suci adalah suatu ungkapan “kekecewaan dan penyesalan”. Apa yang disesali Yesus?

Untuk bisa menjawab, kita harus mendekat dengan pewartaan nabi-nabi dalam Perjanjian Lama. Di sini Yesus seperti para nabi, bernubuat tentang kehancuran Yerusalem pada masa depan. Kota ini adalah ibukota dari Yehuda, bangsa pilihan Allah, Anak Emas Allah. Kota suci ini penduduknya seringkali menolak Allah dengan sikap hidup mereka. Sudah berulang kali Allah menghukum kota ini dalam Perjanjian Lama, namun mereka tidak juga jera. Hukuman Allah ini seringkali diikuti dengan “penyesalan” Allah, karena Ia begitu mengasihi bangsa ini.

Tangisan Yesus seumpama tangisan orangtua untuk anak yang mereka sayangi, namun anak itu selalu melawan orang tua. Kala semua tindakan kasih hanya berbalas pemberontakan dan penolakan, orangtua akan menangis ketika membayangkan akan jadi apa anak ini kelak kalau mempunyai perangai seperti ini. Tangisan orangtua untuk anak bukan soal air mata yang keluar dari mata, tetapi remuknya hati mereka menyesali dan menyalahkan diri sendiri, mungkin salah mendidik anak-anak.

Renungan Rabu, 19 November 2014 : Mendengarkan Dia

 
Pekan Biasa XXXIII
 
Why 4:1-11; Mzm 150; Luk 19:11-28

Perumpamaan tentang Mina, dipakai oleh Yesus untuk menggambarkan disposisi batin-Nya sebelum memasuki kota Yerusalem. Menarik di awal di kata kan bahwa perumpamaan ini di tujukan Yesus untuk “mereka yang mendengarkan Dia” (ay. 11). Dalam perumpamaan dikatakan bangsawan itu memanggil sepuluh orang hamba dan memberikan sepuluh Mina kepada mereka. Arti nya, setiap hamba menerima satu Mina.

Di awal kisah, bangsawan ini sebenarnya “memberi modal” atau investasi atau menabur dan menunjukkan sikap “adil” kepada hamba-hambanya. Ditambah pula hamba baik yang berhasil mengembangkan Mina diberi tanggung jawab; ikut jadi bangsawan juga, terhadap kota-kota yang jumlahnya sesuai dengan jumlah Mina yang mereka hasilkan.

Kenyataan ini jelas berlawanan dengan ucapan hamba jahat (ay. 21);“tuan adalah manusia yang keras (Yun. austeros); tuan mengambil apa yang tidak pernah tuan taruh dan menuai apa yang tidak tuan tabur.” Mereka “melihat” tindakan sang tuan secara negatif, bukan melihat se bagai kesempatan memperoleh rahmat.

Akhirnya bangsawan itu menghakimi hamba yang jahat menurut perkataan/pikiran mereka sendiri. Lagi-lagi, Injil ini mengajak kita untuk berefleksi soal cara kita; melihat, mendengar, dan mengikuti Yesus.

Renungan Selasa, 18 November 2014 : Tuhan, Lihat Aku!

 
Pekan Biasa XXXIII
 
Why 3:1-6, 14- 22; Mzm 15; Luk 19:1-10

Bacaan hari ini semakin mempertajam refleksi kita. Dikisahkan di kota Yeriko ada seorang pemungut cukai bernama Zakeus yang berbadan pendek. Ada kata-kata yang terulang dari Injil kemarin seperti, “Melihat” dan “Orang Banyak”. Perhatikan kata “melihat” yang terulang empat kali dalam kisah ini; "berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu”, “memanjat pohon ara untuk melihat Yesus”, “Yesus melihat". Lagi-lagi, orang-orang “normal” melihat dengan keliru dalam ayat 7, “semua orang yang melihat hal itu bersungut-sungut.”

Dua kata “melihat” pertama, menggambarkan pergolakan batiniah seseorang yang dianggap pendosa oleh seluruh masyarakat. Di situ tampak ada perkembangan dari keingintahuan yang mula-mula bersifat dangkal berubah menjadi suatu tindakan nyata dan perjuangan yang mengalahkan keterbatasan diri atau berlari lebih cepat supaya bisa di “depan” dan badannya yang pendek yang menjadi penghalang, diatasi dengan naik pohon ara.

Kedua usaha inilah yang “dilihat” Yesus. Yesus tidak “melihat” Zakeus sebagai pendosa, seperti orang banyak “melihat”, tetapi Yesus melihat seorang pendosa yang berusaha untuk melihat dan mencari keselamatan.

Renungan Senin, 17 November 2014 : Orang Buta

 
Pw St Elisabet dr Hungaria
 
Why 1:1- 4;2:1-5a; Mzm 1; Luk 18:35-43

Injil ini sangat kaya akan simbol dan dinamika indah yang mencerminkan proses perkembangan iman seorang kristiani. Dikisahkan seorang buta yang duduk di pinggir jalan kota Yeriko (arti: City of the Moon) yang disembuhkan Yesus. Perhatikan tiga kata yang hampir selalu muncul dalam kisah-kisah panggilan seseorang dalam Injil: “Mendengar”(ay.36), “Melihat” (ay.41.42.43) dan “Mengikuti” (ay.43). Tiga sikap ini adalah syarat utama bagi seseorang untuk menjadi murid Yesus. Pertama, mendengar Sabda Tuhan. Kedua, melihat campur tangan Allah yang mengubah hidupnya. Dan ketiga, mengikuti Yesus, bahkan sampai ke Golgota atau berani menderita.

Orang banyak (Yun: oxlos) yang tidak buta yang berjalan di depan hanya mengenal Yesus sebagai “Yesus orang Nazaret lewat” (ay. 37). Kata “di depan”adalah simbol orang yang merasa sudah lebih dulu mengenal dan dekat dengan Yesus. Tetapi apa yang “dilihat” orang buta itu? Dua kali ia “melihat” identitas Yesus yang sebenarnya. Dia berseru, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Ketika dia di larang oleh orang banyak, “indera imannya”, bahkan membuat dia melihat lebih dalam dan semakin yakin untuk berteriak lebih keras, “Anak Daud, kasihanilah aku!” Penyembuhan orang buta ini membuat rakyat (Yun. Laos) disembuhkan juga dari kebutaan iman, sehingga mereka mampu melihat dengan benar” dan memuji-muji Allah.

Renungan Minggu 16 November 2014 : Siap Bertemu Tuhan

 
Minggu Biasa XXXIII
 
Ams 31:10-13,19-20,30-31; Mzm 128; 1Tes 5:1-6; Mat 25:14-30

Allah menuntut inisiatif dan kreativitas kita untuk mengembangkan talenta, bahkan jika harus menghadapi bahaya kehilangan talenta sekalipun. Kita diberi talenta agar bersiap diri menjemput ‘hari Tuhan’, Allah datang untuk merajai kita.

Menjelang akhir Tahun Liturgi, Gereja selalu mengingatkan kita akan hari kedatangan Tuhan, seperti pencuri pada waktu malam. Meski mengetahuinya, kesibukan kita tak memberi peluang memikirkannya. Peringatan ini dibutuhkan saat kita sibuk dengan urusan duniawi hingga tak punya waktu memikirkan ‘akhir zaman’. “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua yang lain akan ditambahkan kepadamu” (Mat 6:33).

Perjumpaan dengan Tuhan ini sangat bermakna dalam persiapan menjemput ‘Hari Tuhan’. Dalam Himbauan Apostolik Evangelii Gaudium (EG, Sukacita Injil), Paus Fransiskus mengingatkan agar kita tak terjebak dalam kesalehan semu (keduniawian rohani). “Keduniawian rohani, yang bersembunyi di balik penampilan kesalehan dan bahkan kasih pada Gereja, yang sebetulnya bukan mencari kemuliaan Allah, melainkan kemuliaan manusia dan kesejahteraan pribadi.” (EG 93).

Dalam Bacaan Kedua, St Paulus mengingatkan: “...kamu sendiri tahu benar-benar, bahwa hari Tuhan datang seperti pencuri di waktu malam” (1Tes 5:2); “... baiklah kita sadar, berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan akan keselamatan” (1Tes 5:8), sehingga hidup kita terlindung dan terarah kepada Tuhan. Dalam iman, kita harus hidup seolah akan mati hari ini.

Dalam Injil, talenta dikategorikan sebagai petunjuk untuk mempersiapkan diri menjemput ‘Allah yang berkehendak merajai diri kita’. Yang penting, bukan jumlah talenta dan siapa penerimanya, atau siapa dapat apa dan berapa, melainkan ‘siapa Allah yang memberikan talenta dan dengan maksud apa Allah memberikannya pada kita’.

Allah menuntut inisiatif dan kreativitas kita untuk mengembangkan talenta, bahkan jika harus menghadapi bahaya kehilangan talenta sekalipun. Kita diberi talenta agar bersiap diri menjemput ‘Hari Tuhan’, Allah datang untuk merajai kita. Maka, dua hamba yang baik dan setia segera ‘pergi’ ke pasar untuk mengembangkan talentanya. Kala Tuhan datang, mereka telah melipatgandakan talentanya; bukan untuk kepentingan pribadi, tapi demi kepentingan bersama dan kemuliaan Pemberi talenta.

Sebagai penerima talenta, Gereja tak boleh menutup diri, tetapi pergi ke ruang publik untuk mengembangkannya bersama orang di luar Gereja. Mereka juga menerima talenta untuk dikembangkan, berbuah dan berguna bagi banyak orang.

Prioritas pengembangan talenta perlu diperhatikan agar kita tak terjebak dalam kesia-siaan. Bacaan Pertama tentang istri yang cakap menunjukkan keutamaan yang harus dijadikan sikap hidup, seperti setia kepada Allah dan mengabdi demi sukacita sejati, serta mengulurkan tangan kepada yang tertindas dan miskin. Yang diutamakan ialah kecantikan batin (inner beauty), cinta Tuhan dan sesama; bukan kemolekan fisik.

Allah memberi talenta pada kita bukan untuk disembunyikan hingga ‘mandul’ dan tak menghasilkan apa-apa. Tuntutan Tuhan sangat keras, yakni siapa yang tak berinisiatif mengembangkan talenta, berarti “siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya, akan diambil dari padanya” (Mat 13:12b; 25:29); dan harus dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi (Mat 25:30). Seperti garam yang tak lagi asin, tak ada gunanya, kecuali dibuang dan diinjak-injak orang (Mat 5:13). “Orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian, sehingga menerangi semua orang yang di dalam rumah. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga” (Mat 5:15-16; Luk 11:33).

Sebagai umat beriman, kita memilih bersikap seperti hamba yang baik dan setia. Mereka menggandakan talenta dan mempertanggungjawabkannya. Pilihan ini dibuat, bukan karena kita akan mendapatkan talenta dan kelebihannya, tapi kita akan bersukacita menyerahkan talenta dengan penggandaannya kepada Pemberi talenta. Pun pada akhir zaman, kita tanpa kecuali harus mempertanggungjawabkan talenta itu. Tak seorangpun yang tak menerima talenta demi kepentingan bersama. Maka talenta tak boleh dikubur hanya demi keamanan yang tak menghasilkan. Dalam usaha menggandakan talenta, kita yakin Tuhan senantiasa melengkapi Kita adalah alat di tangan- Nya untuk menunjukkan kasih-Nya kepada kita dan ’ sesama.

Renungan Sabtu, 15 November 2014 : Setia Berharap


Pekan Biasa XXXII

3 Yoh 5-8;Mzm 112; Luk 18:1-8

Dalam Injil hari ini, Yesus menampilkan seorang hakim yang lalim dan seorang janda yang tekun meminta pembelaan dari si hakim. Ketekunan si janda dalam memohon pembelaan lebih kuat daripada ketidakpedulian si hakim, sehingga akhirnya hakim itu mengabulkan permohonannya. Tentu saja hakim itu juga mengabulkan permohonan itu agar ia tidak dipermalukan gara-gara permohonan si janda. Kita mungkin pernah melakukan sesuatu bukan untuk membangun motivasi yang baik dan benar, tetapi supaya jangan direpotkan.

Begitulah ketekunan yang diharapkan dari orang beriman dalam menantikan hari kedatangan Anak Manusia. Penantian panjang bisa sangat membosankan dan melelahkan. Orang bisa kehilangan pengharapan sebelum tiba pada hari yang dinantikan. Melalui perumpamaan ini Yesus menegaskan bahwa Allah tidak mengecewakan. Jika seorang hakim yang lalim tahu memberikan yang diminta darinya, apalagi Allah Bapa yang baik.

Sebagai orang pilihan, kita diajak setia dalam sikap berjaga di masa penantian yang berat, seperti Yesus setia kepada kehendak Allah. Paus Fransiskus berulang kali menyerukan agar kita menjadi orang kristiani yang tidak pernah kehilangan pengharapan. Kesetiaan dan ketekunan dalam berharap tidak bisa dihasilkan dari kemauan keras manusia semata, tapi juga merupakan buah Roh yang diterima manusia dalam persahabatan dengan Allah..

Renungan Jumat, 14 November 2014 : Siap Sedia

 
Pekan Biasa XXXII
 
2 Yoh 4-9; Mzm 119; Luk 17:26-37

Yesus memberi sedikit gambaran apabila hari final itu tiba. Kedatangan Dia tanpa disertai pemberitahuan dan tanda apapun. Murid harus siap, sebab tak ada kompromi pada hari itu. Yang tercerai berai akan disatukan, yang bersatu akan tercerai-beraikan. Sekelompok orang bisa saja terlibat dalam kegiatan atau pelayanan yang sama, namun pada hari itu akan terlihat kemurnian iman dan ketulusan hati masing-masing yang belum tentu sama.

Gambaran tersebut bukan untuk menakuti murid-murid-Nya, melainkan suatu ajakan untuk menjadi orang beriman yang siap sedia, selalu berjaga, dan memiliki tekad untuk menjadi orang yang berbeda dengan orang-orang yang hidup tanpa iman. Maka iman bukanlah sesuatu yang temporer. Hidup kita mengalami pasang surut, suka duka silih berganti, sehat dan sakit turut memberi warna, tetapi kita tetap beriman sampai hari kedatangan Tuhan.

Kita tidak perlu lagi bertanya, kapan dan di mana hari terakhir itu akan tiba. Kerajaan Allah bukan perihal waktu dan tempat, melainkan anugerah keselamatan yang ditawarkan Allah kepada manusia dan oleh manusia disambut dengan iman.

Renungan Kamis, 13 November 2014 : Pemurnian Iman


 Pekan Biasa XXXII

 Flm 7-20; Mzm 146; Luk 17:20-25

Kerajaan Allah mencakup yang sudah datang, yakni karya dan kehidupan Yesus yang hadir di dunia, juga yang akan datang, yaitu kedatangan Yesus untuk kedua kali. Dibutuhkan mata hati atau iman untuk melihatnya. Kaum Farisi dan ahli-ahli kitab sering dikecam Yesus sebagai orang yang punya mata, tetapi tidak melihat.

Kerajaan Allah bukan pertama soal tanda sebagaimana diminta kaum Farisi. Yesuslah satu-satunya tanda yang menghadirkan Kerajaan Allah. Ia mengingatkan bahwa ketidak-mengertian para murid akan menjadi peluang bagi masuknya aliran-aliran yang mengatasnamakan agama dan memberi petunjuk bahwa Ia ada di sini dan di sana. Yesus ingin mereka tidak terpancing dan tidak perlu ikut menyelidiki.

Sebelum itu semua, manusia akan mengalami hari-hari Anak Manusia, yaitu masa di mana Yesus dan Kerajaan Allah yang diwartakan-Nya hadir di dunia, meski Yesus tidak hadir secara fisik. Pada masa panjang ini manusia berulang kali jatuh dalam ketidaksetiaan, hidup tanpa iman, dan tanpa syukur kepada Allah. Masa ini berakhir tanpa disertai tanda apapun pada hari yang dinantikan. Hari itu akan menjadi hari penyelamatan bagi yang tetap beriman, namun hari bencana bagi yang tidak beriman. Mari senantiasa berjaga!
Tuhan murnikanlah iman kami kepada-Mu.

Renungan Rabu, 12 November 2014 : Sembuh dan Selamat


Pw St Yosafat, Uskup Martir

Tit 3:1- 7; Mzm 23; Luk 17:11-19

Perjalanan Yesus ke Yerusalem adalah perjalanan menuju kematian demi keselamatan manusia. Dalam konteks keselamatan universal inilah kita ingin memaknai kembalinya satu orang dari sepuluh orang kusta yang disembuhkan. Yesus tidak pernah menolak siapapun, kendati Ia sering ditolak.

Penderitaan sosial yang berat akibat dikucilkan dalam pergaulan telah membuat mereka sungguh merindukan belas kasihan Yesus. Hanya satu orang (Samaria) kembali, sembilan lainnya (orang Yahudi) tidak kembali. Kerajaan Allah disambut mereka yang disebut kafir, namun hatinya terbuka, daripada oleh bangsa pilihan yang menganggap diri sudah tahu, namun menutup diri.

Di tengah perjalanan wajib lapor diri para kusta kepada imam, kebekuan hukum di cairkan oleh satu orang yang kembali kepada Yesus untuk menyembah Allah dan memuliakan-Nya sebagai Sang Penyembuh. Itulah tujuan penyembuhan, yaitu membantu orang mencari, menemukan, dan memuliakan Allah yang hidup, bukan demi kesehatan semata atau demi terhindar dari rasa sakit dan derita. Ketika orang sembuh dan tidak memuliakan Allah, ia sedang menumpuk penderitaan dalam dirinya.

Renungan Selasa, 11 November 2014 : Menekuni Kebaikan


Tit 2:1-8, 11-14; Mzm 37; Luk 17:7-10

Pernahkah Anda merasa tersinggung atau marah ketika kebaikan Anda diabaikan? Misal Anda tidak mau memberi sumbangan lagi karena panitia lupa mencatat dan mengumumkan nama Anda sebagai donatur? Atau tidak mau menyapa orang itu lagi karena ia tidak mengucapkan terima kasih atas kebaikan yang Anda berikan kepada dia?

Yesus menyampaikan nasihat-nasihat Injil bukan hanya kepada mereka yang melakukan kejahatan, tetapi juga kepada mereka yang rajin berbuat baik. Perbuatan baik yang dilakukan tanpa sikap tulus dan rendah hati dapat menciptakan batu sandungan.

Tuhan dan orang lain tidak berhutang apa-apa atas kebaikan kita. Bagi setiap orang beriman, berbuat baik adalah kewajiban, bukan keutamaan. Kitalah yang berhutang kebaikan kepada Tuhan atas semua kasih dan berkat-Nya setiap hari. Kita berterima kasih kepada sesama yang menjadi tanda kehadiran Tuhan bagi kita. Ibu Teresa dari Kalkuta memberi nasihat, “Apabila kebaikanmu diabaikan, apabila orang lain salah paham atau mencurigai perbuatan baikmu, tetaplah berbuat baik....” Itulah keutamaan kristiani yang membawa kebahagiaan sejati.

Renungan Senin, 10 November 2014: Kekuatan Iman


Tit 1:1-9; Mzm 24:1-6; Luk 17:1-6

“Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.”

Hari ini kita baca Injil Lukas yang mewartakan Yesus yang berbicara tentang kekuatan iman untuk mengatasi kesulitan dan tantangan dalam ketekunan di jalan kasih kepada Allah dan sesama. Kekuatan iman mengalahkan tantangan dan hambatan hidup kita.

Tuhan Yesus bersabda, “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.” Apa artinya?

Sabda ini serupa dengan sabda lain tentang kekuatan iman yang mampu “memindahkan gunung”. Ungkapan ini dimaksudkan sebagai kiasan untuk menyebut mereka yang mampu memecahkan persoalan yang menggunung yakni masalah-masalah besar dalam kehidupan ini. Iman adalah kunci untuk memindahkan tantangan dan kesulitan yang memampukan kita melaksanakan kehendak Allah.

Kita hanya dapat memiliki iman yang demikian dalam kekuatan Roh Kudus. Roh Kudus menolong kita bertumbuh dalam iman yang penuh pengharapan ini sehingga kita dapat mengatasi hambatan dan tantangan hidup kita. Tak ada yang mustahil bagi orang yang percaya kepada Yesus Kristus.

Sementara kita menyembah Yesus Kristus dalam Adorasi Ekaristi Abadi, kita mohon kepada Yesus agar menganugerahkan iman yang seperti disabdakan Yesus. Kita mohon Roh Kudus pada-Nya agar membantu kita bertumbuh dalam iman yang kuat, harapan yang teguh dan kasih yang setia.

Sabtu, 8 November 2014 : Setialah Mulai dari Yang Kecil-kecil


YESUS bersabda:”Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barang siapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia juga tidak benar dalam perkara-perkara besar. Jadi jika kalian tidak setia mengurus mamon yang tidak jujur, siapa mempercayakan harta sejati kepadamu.”

Berjalanlah menurut irama kehidupan. Sejak kecil kita sudah diajar untuk berjalan setapak demi setapak, lalu kita bisa melangkah dan berjalan normal. Dulu kita belum tahu apa-apa, kemudian mulai diajak belajar, mulai dari TK, SD, SMP, SLA, lalu yang mampu dapat meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Tidak ada orang yang langsung jadi profesor tanpa melalui jenjang yang lebih rendah.

Tidak ada pemimpin atau pejabat masyarakat tanpa lebih dahulu menapaki jenjang yang biasa-biasa. Tidak ada orang yang langsung menjadi kaya dan mempunyai pusat usaha yang besar tanpa melalui proses menjadi pedagang loakan atau bakul kecil-kecil.

Dalam hal ini tidak ada loncatan. Orang kecil tidak mungkin secara mendadak menjadi orang besar dan punya jabatan tinggi kalau mulus jalannya. Kalau terjadi bahwa orang kecil secara mendadak dapat meraih jabatan, hal ini terjadi, ini pasti menunjukkan adanya salah jalan, dengan kolusi, manipulasi,sogokan dsb.

Orang miskin tak mungkin langsung menjadi orang kaya kalau berjalan melalui jalan biasa. Kalau toh hal ini terjadi orang miskin tiba-tiba menjadi kaya, pasti ada sesuatu yang salah. Orang ini berjalan tidak melalui proses dari bawah, tetapi melakukan perbuatan tidak adil, merampas milik orang lain atau korupsi.

Maka Yesus menganjurkan agar orang setia dalam mengurus perkara-perkara kecil. Kalau orang setia dengan jujur menempuh kehidupan bawah dengan pasti, justru orang itu akan dipercaya untuk mengurus hal yang besar. Untuk menjadi pengajar atau dosen orang perlu menguasai materi yang nanti akan disampaikan pada calon mahasiswanya dulu. Baru kalau lulus ia dapat menjadi pengajar yang baik, dan kalau setia tekun pasti akan naik jenjangnya. Begitu kalau mau menjadi dokter atau pimipinan masyarakat.

Demikian pula dalam soal keagamaan, seperti yang dikatakan Yesus kepada orang-orang Farisi: “Kalian membenarkan diri dihadapan orang, tetapi Allah mengetahui hatimu. Sebab apa yang dikagumi manusia dibenci Allah.”
Artinya: Manusia bisa saja jadi tokoh agama atau pempinan agama, tetapi kalau tidak melewati jalan Tuhan, melaksanakan FirmanNya dan mendekatkan hidupNya kepada Tuhan, tak mungkin jadi panutan orang lain. Marilah kita refleksi: yang dipentingkan disini adalah belajar hidup suci menurut anjuran Tuhan.


Renungan 7 November 2014 : Jumat Pertama November

Filipi 3:17-4:1; Mzm 122:1-5; Luk 16:1-8

“Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang.” (Luk 16:8)

MENGAPA  Yesus memuji bendahara yang tidak jujur? Apa yang dilakukannya hingga Yesus memujinya?

Yesus memujinya karena ia telah berlaku cerdas dan bijaksana dalam menghadapi masa depan hidupnya yang sedang terancam. Ia akan dipecat karena tuduhan menyalahgunakan harta tuannya. Itu memalukan. Mencangkul ia tak bisa.

Mengemis, aduh memalukan! Dan ia pun bertindak cerdas dan kreatif. Ia mulai berhitung dengan para pengutang dan memberi mereka diskon. Kalau nanti dia dipecat, siapa tahu di antara mereka ada yang berbaik hati padanya.

Dalam memberikan diskon, ia pun sebenarnya memberikan yang menjadi haknya. Di sinilah ia diperhitungkan sebagai hamba yang bijak mengantisipasi masa depan.  Di satu pihak ia memperingan pengutang dengan diskon yang kemungkinan juga merupakan hak komisinya. Di lain pihak ia mengangkat derajat tuannya sebagai tuan yang murah hati dan baik sebab memberi keringanan hutang. Melihat itu sang tuan pun akan memaafkan dia.

Sikap hamba itu dipuji Yesus. Dengannya Yesus mengajar kita tentang hidup rohani dan relasi kita dengan Allah. Iman dan cara pandang ke depan yang bijak dapat menyelamatkan kita dari kekacauan. Yesus mengajarkan kepada kita bukan hanya soal menghadapi krisis keuangan dan ekonomi tapi juga dalam hal hidup rohani. Kita harus cerdas dan tangguh menghadapi krisis moral dan spiritual.

Dalam Adorasi Ekaristi Abadi, kita menyembah Tuhan Yesus yang mengajarkan kepada kita bahwa harta sejati tak hanya berupa apa yang kita miliki tapi apa yang kita bagikan. Dalam Adorasi Abadi kita melayani Tuhan dan sesama.


Renungan Kamis, 6 November 2014 : Yesus Mencari dan Menemukan Kita, Sang Pendosa

Flp. 3:3-8a; Mzm. 105:2-3,4-5,6-7; Luk. 15:1-10 
 
“Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka.”

YESUS selalu mencari dan bergaul dengan para pendosa dan memperlakukan mereka sebagai sahabat-sahabatNya. Kita membaca dalam Injil bahwa orang-orang Farisi terkejut dan heran saat melihat Yesus dengan bebas bergaul dengan para pendosa bahkan pergi ke rumah mereka dan makan bersama mereka.

Namun, Yesus tidak berpikir seperti orang Farisi. Syukurlah! Ia mencari dan menemkan banyap pendosa dan mereka yang tersingkir dari masyarakat. Mereka ditarik kepada-Nya untuk mendengarkan Dia yang berbicara tentang belas kasih Allah dan menawarkan hidup baru serta persahabatan dalam Kerajaan Allah.

Itulah sebabnya, kaum Farisi mulai mempertanyakan apa motivasi Yesus sehingga bergaul dengan para pendosa dan kaum tersingkir itu. Dan Yesus menjawab dengan memberikan dua perumpamaan tentang domba yang hilang dan dirham yang hilang untuk menantang cara mereka menghakimi para pendosa dan cara mereka menyingkirkan orang-orang yang dianggap pendosa itu.

Dengan perumpamaan itu, Yesus mengajarkan kepada ka sesuatu yang baru. Allah tidak bersukacita karena hilangnya seseorang tetapi menghendaki agar semua orang diselamatkan dan dipulihkan sebagai pengikut-pengikut-Nya. Di mata Yesus, surga akan bersukacita ketika seorang pendosa ditemukan dan dipulihkan dalam kesatuan dengan Allah.

Dalam Adorasi Ekaristi Abadi, kita berdoa bagi diri kita sendiri sebagai pendosa. Kecuali itu, kita juga berdoa bagi sesama. Kita berdoa agar yang hilang ditemukan. Marilah kita tekun berdoa dan memohon agar siapapun yang hilang ditemukan kembali dalam jalan Tuhan dan beroleh keselamatan.


Renungan Selasa, 4 November 2014 : Menanggapi Undangan Tuhan

 Flp. 2:5-11; Mzm. 22:26b-27,28-30a,31-32; Luk. 14:15-24. 
 
“Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah.”

Yesus mewartakan perumpamaan tentang undangan ikut serta dalam meja perjamuan Sang Raja. Kita diundang untuk makan roti dalam Kerajaan-Nya. Apa artinya?

Dalam perspektif Alkitab, undangan untuk ikut serta dalam perjamuan roti merupakan suatu kehormatan, tanda pemuliaan dan persahabatan. Undangan itu juga merupakan gambaran tentang keindahan surga yang digambarkan sebagai suatu perjamuan nikah. Tuhan sendirilah yang mengundang kita untuk ambil bagian dalam perjamuan yang terpenting itu, dan Ia sendiri menyediakan hidangan rohani bagi kita berupa tubuh dan darah-Nya, sebagai santapan dan minuman rohani kita.

Kita mestinya menambut undangan itu dengan baik. Jika Kristus Tuhan telah mengundang kita, bagaimana mungkin kita mengabaikan undangan-Nya? Undangan personal tetla dikirimkan kepada kita dan kita mempunyai banyak waktu untuk menata jadwal dan menanggapi undangan itu dengan sebaik-baiknya. Mari kita tidak mengutamakan kepentingan diri pribadi kita melebihi undangan istimewa dari-Nya.

Dewasa ini, kita menanggapi undangan-Nya dengan ambil bagian dalam Perayaan Ekaristi dan bahkan melanjutkannya dengan Adorasi Ekaristi Abadi. Mari kita tidak membiarkan tugas-tugas kita dan kesibukan kita sendiri menyerap kita sehingga kita tidak punya waktu untuk Tuhan. Jangan biarkan banyak hal menghalangi dan mengungkung kita sehingga kita tidak punya waktu untuk merayakan Ekaristi harian, berdoa, maupun menyembah-Nya dalam Adorasi Ekaristi Abadi.


Renungan Senin, 3 November 2014 : Kemurahan Hati Tuhan

 
Filipi 2:1-4; Mzm 131:1.2.3 Lukas 14:12-14 
 
“Janganlah mengundang sahabat-sahabatmu, melainkan undanglah orang-orang miskin dan cacat.”

PEPATAH  dalam bahasa Latin berbunyi: “Do ut des”. Aku memberi untuk menerima.

Pamrih! Membeŕi sesuatu untuk mendapatkan keuntungan. Yesus Kristus mengingatkan kita agar kita memberi dan tak pernah berharap menerima kembali atau mengharapkan sesuatu. Berilah tanpa mengharapkan sesuatu.

Yesus Kristus mengajarkan kepada kita tentang kemurahan hati. Jangan hanya bermurah hati kepada mereka yang akan berbaik hati pula kepada kita. Kemurahan hati yang sejati tak pernah ingin berharap memperoleh kmbali. Ada pengorbanan di dalamnya. Itulah yang memperkaya jiwa kita sebagai pemberi tanpa pernah berharap menerima balasan.

Sebagaimana Yesus telah melakukan untuk kita, kemurahan hati sejati memancar dari hati-Nya yang penuh belas kasih dan bela rasa. Kita mengasihi-Nya sebab Ia lebih dahulu mengasihi kita. Kasih kita melulu jawaban atas kasih dan kemurahan-Nya yang agung yang ditujukan kepada kita bahkan kita tak mampu membalas sepadan dengan kasih-Nya.

Dalam Adorasi Ekaristi Abadi, kita menyembah Yesus yang lebih dahulu mengasihi kita. Kendati kita menyembah-Nya namun kita tidak akan pernah mampu membalas kasih dan kemurahan-Nya bagi kita.  Maka marilah kita haturkan dan persembahkan waktu kita untuk menyembah-Nya tanpa pernah berharap menerima balasan sebab Ia telah bermurah hati kepada kita sebelum kita menyembah-Nya.


Renungan Minggu, 02 November 2014 : Doa bagi semua arwah

Keb 4:7-15; Mzm 42:2-5; Roma 8:14-23; Yoh 6:37-40

“Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman” (Yoh 6:40)

HARI  ini adalah hari istimewa bagi Gereja Katolik untuk mengenang dan mendoakan semua jiwa yang berada dalam api penyucian (purgatorium). Kita berdoa untuk mereka yang telah berpulang. Kita berdoa tak hanya untuk sanak kerabat dan saudara tetapi juga untuk semua, bahkan mereka tak pernah diingat oleh keluarganya. Apa yang dapat kita renungkan?

Pertama, pengharapan kita tak hanya untuk masa kini tetapi untuk masa depan. Kita memiliki masa depan yang indah di surga, setelah kematian kita. Setelah kematian kita, Allah memberi daya hidup abadi nan ilahi.

Dalam kita Ayub kita baca kesaksian iman yang istimewa tentang pengharapan akan masa depan. Meski ia dicobai dengan berbagai penderitaan, namun imannya tidak goyah. Ia tahu bahwa ada Penyelamat yang hidup (lihat Ayub 19:25-27). Kita juga belajar dari Daud. Dia pun berpengharapan kepada Allah (Mazmur 16:9-11).

Dalam konteks iman kita, Yesus Kristus adalah inti dan tumpuan harapan kita. Yesus berjanji, “Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman” (Yoh 6:40).

Bagaimana kita melihat Yesus Kristus? Menurut Yesus sendiri, kita melihat Yesus dalam Ekaristi. Yesus bersabda, “Akulah roti hidup” (Yoh 6:35). Yesus hadir dalam Perayaan Ekaristi, saat Roti Ekaristi dipecah dan dibagikan. Bahkan dalam Adorasi Ekaristi Abadi, kita memandang dan menyembah Yesus Kristus yang hadir sebagai sumber hidup abadi.

Yesus Kristus mengundang kita untuk ambil bagian dalam meja perjamuan Tuhan yang menawarkam Diri-Nya sebagai santapan rohani, sumber hidup abadi dari Allah. Dialah pula yang menawarkan kebangkitan badan dan kehidupan abadi.

Dari Ekaristi dan Adorasi kita pun dapat melihat kehadiran Kristus dalam sesama. Yesus bersabda, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Segala sesuatu yang kita lakukan untuk sesama kita, kita lakukan untuk Yesus. Sesungguhnya, itu semua mengalir dari persatuan kita dengam Kristus dalam Ekaristi dan Adorasi Abadi.