Hari Raya Kemerdekaan RI
Sir 10:1-8; Mzm 101; 1Ptr 2:13-17; Mat 22:15-21
Iman Kristiani menandaskan bahwa kekuasaan politis itu bukanlah segala-galanya, tetapi ditempatkan di bawah kuasa yang lebih tinggi yaitu kuasa ilahi.
Kekuasaan itu mempesona. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau orang berlomba- lomba untuk merebutnya. Bahkan orang tak segan dan tak tahu malu menggunakan segala macam cara untuk berkuasa. Kampanye hitam dalam Pilpres yang baru lewat adalah bukti yang paling jelas dari hal ini. Kekuasaan itu juga membius. Tak mengherankan kalau orang yang berkuasa berupaya dengan pelbagai cara tetap bercokol di tahta kekuasaan.
Justru karena kekuasaan itu cenderung ‘korupt’ (the power tends to corrupt), iman Kristiani menandaskan bahwa kekuasaan politis itu bukanlah segala-galanya, tetapi ditempatkan di bawah kuasa yang lebih tinggi yaitu kuasa ilahi. Kisah Injil hari ini, tentang “Membayar pajak kepada Kaisar” (Mat 22:15-22), mewartakan dengan tegas tentang hal tersebut. Memang teks ini seringkali ditafsir oleh banyak pihak sebagai ajaran Yesus tentang keterpisahan dunia politik dari ranah iman atau tentang otonomi negara dari agama.
Negara dan agama memiliki prinsip dan mekanisme masing-masing yang tidak boleh dicampur-adukkan satu sama lain. Bila negara mengurusi hal-hal politis jasmani warga negara, maka agama menangani urusan etis- rohani umat. Namun, tak jarang pandangan demikian bermuara pada kekeliruan yang fatal ketika fungsi kritis profetis iman terhadap kekuasaan politik dibungkam dan agama dibatasi dalam urusan ritual
belaka.
Dalam kisah Injil hari ini, Yesus sebetulnya berbicara tentang hal lain yaitu tentang kekuasaan sipil yang mesti dijalankan sesuai dengan kehendak ilahi. Seorang warga yang baik tentu wajib taat kepada Kaisar. Tetapi ketaatan itu bukanlah ketaatan buta. Yesus sekaligus mengingatkan bahwa ketaatan demikian mesti diselaraskan dengan ketakwaan kepada Allah. Itu berarti orang tunduk kepada Kaisar sejauh ia menjalankan kekuasaannya sesuai dengan kehendak Allah. Orang mesti “memberikan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah”. Yang menjadi milik Allah adalah segala sesuatu yang diciptakan- Nya, termasuk kekuasaan politis yang dimiliki sang Kaisar.
Dalam perspektif iman Israel, kekuasaan politik tidak dipisahkan dari otoritas religius. Seorang raja adalah representasi Allah. Artinya, ia menjalankan kuasa yang diberikan oleh Allah dan sekaligus harus bertindak sesuai dengan kehendak Dia yang Kekuasaan berikan otoritas tersebut. Karena itu seorang pemimpin politik selalu dinilai oleh prinsip- prinsip moral yang mengalir dari keyakinan iman akan Allah seperti kejujuran, kebenaran, keadilan, kesejahteraan umum dan kemanusiaan.
Hal yang sama ditegaskan oleh Kitab Sirakh dalam nasihat-nasihat untuk para penguasa (Sir 10:1-10). Kuasa politik tunduk di bawah kuasa ilahi, karena “di dalam tangan Tuhan terletak kuasa atas bumi” (Sir 10:4). Martabat seorang pejabat “dikaruniakan oleh-Nya” (Sir 10:5). Karena itu penguasa mesti mengusahakan ketertiban dan kesejahteraan bagi rakyatnya sesuai dengan kehendak Allah. Sebaliknya, ada tiga bahaya besar yang harus dihindari oleh para penguasa yakni kelaliman, kekerasan dan uang (Sir 10:8). Sirakh memperingatkan dimensi temporer penguasa yang mengabsolutkan kekuasaanya: “hari ini masih raja dan besok sudah mati!” (Sir 10:10).
Hal serupa ditegaskan oleh Santo Petrus dalam surat pertamanya (1 Ptr 2:13-17). Ia mengajak umat Kristiani untuk tunduk kepada pemegang kekuasaan “karena Allah”. Orang perlu taat kepada penguasa yang takwa kepada Allah bukan kepada penguasa lalim. Ketakwaan kepada Allah ini tampak ketika seorang penguasa memperjuangkan kebaikan dan memberantas kejahatan. Dalam konteks memperjuangkan kebaikan bersama atau kesejahteraan umum inilah seorang penguasa dinilai.
Perayaan kemerdekaan bangsa Indonesia tahun ini sangatlah bermakna karena bertepatan dengan transisi kekuasaan kepada pemimpin yang baru. Bacaan-bacaan hari Minggu ini menginspirasi prinsip-prinsip kekuasaan yang tepat. Marilah kita berdoa dan turut berjuang agar pemimpin baru Indonesia sungguh-sungguh dapat menjadi pelayan rakyat. Yaitu pemimpin yang bukan membatasi atau mengkebiri kebebasan warga, tetapi yang mengkondisikan agar anak-anak bangsa merasa dan hidup sebagai orang-orang yang merdeka dan sejahtera. Selamat merayakan 17 Agustus 2014.
Iman Kristiani menandaskan bahwa kekuasaan politis itu bukanlah segala-galanya, tetapi ditempatkan di bawah kuasa yang lebih tinggi yaitu kuasa ilahi.
Kekuasaan itu mempesona. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau orang berlomba- lomba untuk merebutnya. Bahkan orang tak segan dan tak tahu malu menggunakan segala macam cara untuk berkuasa. Kampanye hitam dalam Pilpres yang baru lewat adalah bukti yang paling jelas dari hal ini. Kekuasaan itu juga membius. Tak mengherankan kalau orang yang berkuasa berupaya dengan pelbagai cara tetap bercokol di tahta kekuasaan.
Justru karena kekuasaan itu cenderung ‘korupt’ (the power tends to corrupt), iman Kristiani menandaskan bahwa kekuasaan politis itu bukanlah segala-galanya, tetapi ditempatkan di bawah kuasa yang lebih tinggi yaitu kuasa ilahi. Kisah Injil hari ini, tentang “Membayar pajak kepada Kaisar” (Mat 22:15-22), mewartakan dengan tegas tentang hal tersebut. Memang teks ini seringkali ditafsir oleh banyak pihak sebagai ajaran Yesus tentang keterpisahan dunia politik dari ranah iman atau tentang otonomi negara dari agama.
Negara dan agama memiliki prinsip dan mekanisme masing-masing yang tidak boleh dicampur-adukkan satu sama lain. Bila negara mengurusi hal-hal politis jasmani warga negara, maka agama menangani urusan etis- rohani umat. Namun, tak jarang pandangan demikian bermuara pada kekeliruan yang fatal ketika fungsi kritis profetis iman terhadap kekuasaan politik dibungkam dan agama dibatasi dalam urusan ritual
belaka.
Dalam kisah Injil hari ini, Yesus sebetulnya berbicara tentang hal lain yaitu tentang kekuasaan sipil yang mesti dijalankan sesuai dengan kehendak ilahi. Seorang warga yang baik tentu wajib taat kepada Kaisar. Tetapi ketaatan itu bukanlah ketaatan buta. Yesus sekaligus mengingatkan bahwa ketaatan demikian mesti diselaraskan dengan ketakwaan kepada Allah. Itu berarti orang tunduk kepada Kaisar sejauh ia menjalankan kekuasaannya sesuai dengan kehendak Allah. Orang mesti “memberikan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah”. Yang menjadi milik Allah adalah segala sesuatu yang diciptakan- Nya, termasuk kekuasaan politis yang dimiliki sang Kaisar.
Dalam perspektif iman Israel, kekuasaan politik tidak dipisahkan dari otoritas religius. Seorang raja adalah representasi Allah. Artinya, ia menjalankan kuasa yang diberikan oleh Allah dan sekaligus harus bertindak sesuai dengan kehendak Dia yang Kekuasaan berikan otoritas tersebut. Karena itu seorang pemimpin politik selalu dinilai oleh prinsip- prinsip moral yang mengalir dari keyakinan iman akan Allah seperti kejujuran, kebenaran, keadilan, kesejahteraan umum dan kemanusiaan.
Hal yang sama ditegaskan oleh Kitab Sirakh dalam nasihat-nasihat untuk para penguasa (Sir 10:1-10). Kuasa politik tunduk di bawah kuasa ilahi, karena “di dalam tangan Tuhan terletak kuasa atas bumi” (Sir 10:4). Martabat seorang pejabat “dikaruniakan oleh-Nya” (Sir 10:5). Karena itu penguasa mesti mengusahakan ketertiban dan kesejahteraan bagi rakyatnya sesuai dengan kehendak Allah. Sebaliknya, ada tiga bahaya besar yang harus dihindari oleh para penguasa yakni kelaliman, kekerasan dan uang (Sir 10:8). Sirakh memperingatkan dimensi temporer penguasa yang mengabsolutkan kekuasaanya: “hari ini masih raja dan besok sudah mati!” (Sir 10:10).
Hal serupa ditegaskan oleh Santo Petrus dalam surat pertamanya (1 Ptr 2:13-17). Ia mengajak umat Kristiani untuk tunduk kepada pemegang kekuasaan “karena Allah”. Orang perlu taat kepada penguasa yang takwa kepada Allah bukan kepada penguasa lalim. Ketakwaan kepada Allah ini tampak ketika seorang penguasa memperjuangkan kebaikan dan memberantas kejahatan. Dalam konteks memperjuangkan kebaikan bersama atau kesejahteraan umum inilah seorang penguasa dinilai.
Perayaan kemerdekaan bangsa Indonesia tahun ini sangatlah bermakna karena bertepatan dengan transisi kekuasaan kepada pemimpin yang baru. Bacaan-bacaan hari Minggu ini menginspirasi prinsip-prinsip kekuasaan yang tepat. Marilah kita berdoa dan turut berjuang agar pemimpin baru Indonesia sungguh-sungguh dapat menjadi pelayan rakyat. Yaitu pemimpin yang bukan membatasi atau mengkebiri kebebasan warga, tetapi yang mengkondisikan agar anak-anak bangsa merasa dan hidup sebagai orang-orang yang merdeka dan sejahtera. Selamat merayakan 17 Agustus 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar