Renungan Senin, 01 September 2014 : Kabar Baik


Pekan Biasa XXII

1Kor.2:1-5; Mzm 119; Luk. 4:16-30

“Kabar Baik yang dibawa Mesias tidak terbatas pada bangsa tertentu, bahkan sering Tuhan mendahulukan “orang asing” daripada yang dianggap sebagai umat Allah.”

Dari padang gurun, Yesus pergi ke Nazaret, tempat asalnya. Ia masuk ke rumah ibadat dan membacakan kitab dari Nabi Yesaya tentang “Hamba Tuhan” yang diurapi untuk membawa “Kabar Baik” bagi yang lemah. Lalu, Ia mengajar, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” (Luk. 4:21). Nas yang mula-mula dibayangkan Nabi Yesaya tentang Mesias, kini terwujud dalam diri Yesus Kristus melalui hidup dan karya-Nya. Para pendengar-Nya heran mendengar pesan ini dan berdebat tentang asal-usul Yesus.

Kekaguman itu berubah menjadi kekecewaan, ketika mereka tahu bahwa Dia adalah anak tukang kayu. Yesus tahu itu, maka Ia mengutip dua perbuatan Nabi Elia dan Elisa. Ketika kelaparan mengancam seluruh Israel, Nabi Elia hanya menyelamatkan janda di Sarfat; waktu orang kusta banyak di Israel, Nabi Elisa hanya mentahirkan Naaman orang Siria. Mendengar itu sebagian orang Nazaret marah dan ingin membasmiYesus.

Kisah ini membuktikan bahwa Kabar Baik yang dibawa Mesias tidak terbatas pada bangsa tertentu, bahkan sering Tuhan mendahulukan “orang asing” daripada yang dianggap sebagai umat Allah. Selain itu, hanya mereka yang percaya pada Tuhan dapat mengalami mukijizat-Nya. Bagaimana sikap kita?

Renungan Minggu, 31 Agustus 2014

Hari Minggu Biasa XXII

Yer. 20:7-9; Mzm. 63:2,3-4,5-6,8-9; Rm. 12:1-2; Mat. 16:21-27.
 
"Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia."

Petrus, yang sebelumnya dipuji oleh Yesus kini dikatai sebagai iblis karena menjadi batu sandungan bagi-Nya. Alasannya adalah karena ia tidak memikirkan yang dipikirkan Allah tetapi hanya yang dipikirkan manusia. Apa yang dialami Petrus ini, amat sering juga kita alami. Kita tidak mampu memahami pikiran, rencana dan kehendak Allah sehingga cenderung hanya mengikuti kehendak kita sendiri. Kepada para nabi yang tugasnya mewartakan sabda dan kehendak-Nya saja, Tuhan mengatakan, "rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku ... Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu" (Yes 55:8.9). Kalau demikian, memang sulit bagi kita untuk mengerti dan memikirkan apa yang dipikirkan Tuhan karena terbentang jarak yang amat jauh. Namun, yang sulit itu bukan berarti tidak mungkin. Sebab, sebenarnya Tuhan sendiri berkenan memberitahukan pemikiran dan rancanganya untuk kita. "Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera  dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan" (Yer 29:11). Nah, ini. Jelas khan! Bagi kita, Tuhan mempunyai pemikiran dan rancangan damai sejahtera dan masa depan penuh harapan. Dan untuk mewujudkan rancangan-Nya itu, Ia mengutus Yesus Kristus, Putra-Nya, untuk datang ke dunia dan harus menderita sengsara serta wafat di salib lalu bangkit pada hari ketiga. Maka, ketika Petrus menolak cara Allah mewujudkan damai sejahtera dan masa depan penuh harapan bagi kita tersebut, ia dikatakan oleh Yesus tidak mengerti dan tidak memikirkan yang dipikirkan dan dirancangkan Allah. Bagaimana dengan kita? Semoga mengerti lalu mau untuk mengikuti-Nya dengan menempuh jalan yang sama: menyangkal diri, memikul salib kita masing-masing dan mengikuti Dia (Mat 16:24).

Renungan Sabtu, 30 Agustus 2014 : Pilihan


Pekan Biasa XXI
1 Kor 1: 26-31; Mzm 33; Mat 25:14-30

Dalam Injil, Yesus menceritakan perumpamaan tentang tuan rumah yang menitipkan talenta kepada hamba-hambanya. Kita semua sudah sangat akrab dengan kisah ini. Tetapi perlu kita sadari bahwa perumpamaan ini bersama dengan perumpamaan tentang penghakiman terakhir adalah perumpamaan terakhir yang disampaikan Yesus dalam Injil Matius. Sebab mulai Matius 26, kisah sudah bergeser, dimana Yesus mulai memasuki sengsara.

Mengapa perumpamaan ini diletakkan sebagai yang terakhir? Fungsi perumpamaan ini sebagai pengingat atau kesimpulan dari perumpamaan-perumpamaan yang lain. Dalam kedua perumpamaan ini, seolah kita mendengar kembali “gema” dari perumpamaan-perumpamaan sebelumnya, bahwa setiap dari kita harus menghasilkan buah -ingat perumpamaan tentang benih, biji sesawi, ragi- dan bahwa pada akhir zaman nanti akan ada pemisahan antara orang baik dan orang jahat, ingat perumpamaan lalang dan gandum, tentang pukat dalam Mat 13.

Artinya, pada akhir pengajaran tentang Kerajaan Surga, Yesus lagi-lagi memberikan kepada kita suatu “tawaran” atau “pilihan”, sikap apa yang kita pilih sebagai pengikut-Nya? Mengikuti Yesus bukanlah suatu paksaan tetapi didasari suatu kebebasan dalam mengambil sikap. Itulah cinta yang sejati!

Renungan Jumat, 29 Agustus 2014 : Dendam


Pw St Yohanes Pembaptis Wafat
Yer 1:17-19; Mzm 71; Mrk 6:17-29

Panggilan Yeremia dalam bacaan pertama menjadi kekuatan bagi dia saat menjalankan tugas menjadi seorang nabi. Pada panggilan awal itu Yeremia disadarkan bahwa tugasnya sangat tidak mudah. Ia akan ditentang para penguasa, para imam, dan umat Israel. Namun, Allah berjanji akan setia berada di pihak Yeremia, yang membela dan melindungi Yeremia seperti benteng yang kokoh kuat.

Semangat kenabian Yeremia bisa kita lihat dalam pribadi Yohanes Pembaptis. Orang banyak melihat Yohanes Pembaptis sebagai seorang nabi, orang baik dan lurus. Yohanes Pembaptis tidak memiliki kegentaran dalam mewartakan kebenaran. Meski yang ia tegur adalah Herodes, raja wilayah yang kedudukannya seolah “tidak tersentuh” hukum. Hal itu menimbulkan kemarahan dan kedengkian bagi Herodias, ipar Herodes, yang tidak jadi menikah dengan Herodes.

Kemarahan, kedengkian membuat orang jahat dan gelap mata. Dendam kesumat yang sudah disimpan lama, kini dibalaskan.

Renungan Kamis, 28 Agustus 2014 : Pendosa vs Allah



1 Kor 1:1-9; Mzm 145; Mat 24:42-51

Yang menarik dari Injil hari ini adalah ungkapan orang munafik kembali muncul dalam ayat 51. Nasib orang-orang munafik di sini disejajarkan dengan hamba yang jahat, yang sudah bosan menunggu tuannya yang tidak datang. Kebosanan membuat dia tidak setia terhadap perjanjian yang telah dibuat oleh tuannya.

Ketaksetiaan membuat dia menjadi pribadi yang jahat -digambarkan dengan ia memukul hamba-hamba lain yang seharusnya diberi makan- dan dia makan minum dengan para pemabuk. Kita bisa melihat di sini bahwa ketidaksetiaan manusia kepada janji dan rencana bukanlah masalah sepele. Ketidaksetiaan membuat manusia mempunyai kecenderungan menjadi “jahat”.

Sifat ketidaksetiaan dari si hamba jahat berbanding terbalik dengan sikap Allah yang digambarkan Paulus kepada jemaat di Korintus. Di sana Paulus mengungkap, “Sebab setialah Allah yang telah memanggil kalian. Inilah dasar dari kesetiaan kita kepada Allah, yaitu Allah sendiri ternyata adalah Allah yang setia.”

Kesetiaan mendatangkan ganjaran yang luar biasa, seperti yang kita baca dalam Injil. Hamba yang setia diangkat menjadi pengawas seluruh harta milik tuannya. Hidup bila diiringi kesetiaan akan mendatangkan kebaikan yang luar biasa.

Renungan Rabu, 27 Agustus 2014 : Kota Keindahan


Pw St Monika 
2 Tes 3:6-10, 16-18; Mzm 128; Luk 11-17

Ada suatu simbol tersembunyi dalam bacaan Injil hari ini. Dikisahkan Yesus masuk ke sebuah kota yang bernama Nain. Arti dari kata Nain adalah “keindahan”. Di gerbang kota ada rombongan yang membawa jenazah seorang anak laki-laki tunggal dari seorang janda. Ada kebiasaan orang Yahudi memakamkan jenazah di luar kota. Perhatikan gerakan dari setiap peristiwa!

Seorang janda hanya menggantungkan nasib kepada anak-anaknya saja. Nah, dalam bacaan ini, sang janda hanya mempunyai satu anak, dan sekarang anak itu mati. Bisa dibayangkan nasib janda ini kemudian hari. Hidup dia hancur berantakan. Mungkin, ia akan menjadi pengemis yang menggantungkan hidup kepada belas kasih orang lain. Hal itu dilukiskan secara indah dengan adegan si janda “keluar” dari pintu gerbang kota “keindahan”. Tapi, hidup sang janda tak indah lagi.

Yesus bertemu dengan rombongan ini. Yesus membangkitkan anak dari janda itu. Dilukiskan Yesus menyerahkan anak itu kepada ibunya. Bisa dibayangkan, rombongan ini tidak jadi meninggalkan kota Nain. Mereka masuk lagi ke kota yang penuh keindahan. Inilah gerak hidup si janda yang diselamatkan Yesus dari kehancuran.

Rahasia inilah yang dibongkar Paulus dalam bacaan pertama, di mana Paulus mengatakan kepada jemaat di Tesalonika, “Tuhan mengaruniakan damai sejahtera kepadamu terus-menerus dalam segala hal karena Ia menyertai kalian semua.”

Renungan Selasa, 26 Agustus 2014 : Kesetiaan


Pekan Biasa XXI
2 Tes 2:1-3a. 13b- 17; Mzm 96; Mat 23:23-26

Injil hari ini merupakan sambungan dari bacaan Injil kemarin. Kita bisa melihat bahwa Yesus tidak menyerang atau mencela secara pribadi orang-orang Farisi dan ahli Taurat. Bahkan, kadang Yesus memuji ketekunan kedua kelompok ini. Yang dicela Yesus adalah kemunafikan mereka dalam menjalani hidup keagamaan. Kedua kelompok ini, terutama orang Farisi berusaha menjaga tradisi, aturan-aturan yang dibuat supaya orang Israel tetap menjaga Taurat.

Seumpama ayam goreng yang dibungkus dalam kardus, mereka lebih memperhatikan dan mengindahkan bungkusnya, bukan melihat dan menikmati ayam goreng. Bungkusan memang perlu untuk menjaga dan melindungi ayam goreng, tetapi yang ada dalam bungkusan itu yang harus menjadi hal paling penting.

Segala peraturan yang diciptakan dan dijaga orang Farisi secara turun-temurun semakin lama makin jauh dari maksud aturan itu dibuat. Bungkusan makin lama semakin tebal, sehingga orang tak lagi berpusat pada Firman Allah dalam Taurat, tetapi lelah dan sibuk pada aturan yang membungkusnya. Yesus dalam Injil Matius mengingatkan mereka kembali, inti sari dari segala aturan-aturan tersebut, yaitu keadilan, belas kasih dan kesetiaan.

Renungan Senin, 25 Agustus 2014 : Munafik


Pekan Biasa XXI
2 Tes 1:1-5.11b-12; Mzm 96; Mat 23:13-22

Yesus mengecam orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dengan teguran yang cukup keras. Yesus menyebut mereka sebagai “orang-orang munafik”. Ada yang menarik dari kata “munafik” dalam Kitab Suci. Dalam bahasa Yunani, kata “munafik” disebut hypokritos.

Lebih menarik lagi, kata ini juga dipakai untuk menyebut para pemain drama atau sandiwara. Aktor atau aktris dalam drama bisa saja menangis dengan tersedu-sedu, tertawa, berbuat baik seperti malaikat atau bertindak kejam atau sadis dalam suatu pementasan drama. Namun, kita bisa membedakan bahwa dalam hidup harian atau yang ada dalam hati mereka mungkin berbeda sama sekali dengan peran yang mereka tampilkan di panggung.

Inilah yang menggambarkan dengan tepat yang dimaksud dengan kata “munafik”, yaitu ada perbedaan antara hal yang dilakukan dengan hal yang ada dalam diri atau hati. Perbedaan lain tentu adalah soal motivasi. Motivasi seorang aktor dalam sandiwara tentu untuk menarik perhatian, menggugah perasaan penonton. Dengan kata lain, motivasi sang aktor hanya untuk dilihat atau dipuji orang.

Hidup jemaat di Tesalonika adalah gambaran terbalik dari sifat munafik. Perbuatan baik yang mereka lakukan bertujuan hanya untuk memuliakan Yesus yang hidup di tengah-tengah mereka.

Renungan Minggu,24 Agustus 2014 : Peran Petrus sebagai Batu Karang


Hari Minggu Biasa XXI
Yes 22:19-23; Mzm 138; Rm 11:33-36; Ma t 16:13-20

Tugas Petrus adalah melindungi Gereja agar tidak masuk ke dalam bahaya “alam maut”, yang bisa berarti simbolik segala macam tantangan yang membuat Gereja lumpuh dan tak berdaya.

Kisah mengenai pengakuan Petrus yang dibacakan Minggu ini mempunyai tempat yang amat penting dalam katekese Injil Matius. Yesus sudah menyatakan diri dengan berbagai cara: melalui berbagai pengajaran, mukjizat, dan pertikaian pendapat dengan pemimpin agama Yahudi. Tentulah muncul pertanyaan dalam diri orang banyak, khususnya para murid yang dipanggil secara khusus untuk mengikuti-Nya, mengenai jati diri Yesus. Pertanyaan ini tampak, misalnya pada peristiwa Yesus meredakan angin ribut. Orang-orang yang mengalami peristiwa itu bertanya, “Orang apakah Dia ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?” (Mat 8:27). Atau sebagaimana ditanyakan oleh murid-murid Yohanes, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” (Mat 11:3). Banyak orang ingin tahu dengan pasti siapakah sebenarnya Dia. Kepastian diinginkan, misalnya oleh orang-orang Farisi dan Saduki yang meminta Yesus untuk memperlihatkan tanda dari sorga (bdk. Mat 16:1).

Rupanya, Yesus pun ingin tahu apa yang dipikirkan oleh orang banyak dan murid-murid istimewa-Nya mengenai Diri-Nya. “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” (Mat 16:13). Jawaban yang diberikan oleh orang banyak yang menyebut Dia Yohanes Pembaptis, Elia atau Yeremia (Mat 16:14) – menunjukkan bahwa Dia dianggap pribadi yang istimewa, mengarah pada pendahulu Mesias yang dinantikan oleh orang-orang Yahudi sebagai pembebas.

Selanjutnya Ia mengajukan pertanyaan kepada murid-murid-Nya, “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” (Mat 16:15). Simon Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat 16:16). Jawaban tegas Simon Petrus ini disampaikan lebih lugas dan sederhana dalam Mrk 8:29: “Engkau adalah Mesias”.

Mengapa Matius menambah keterangan “Anak Allah yang hidup”? Matius ingin mengatakan bahwa Yesus bukanlah Mesias seperti dimengerti pada umumnya di kalangan orang Yahudi, yaitu sebagai pemimpin politik pembebasan. Jawaban Petrus bukan bagian dari spekulasi agama Yahudi, tetapi diterima dari Allah sendiri (Mat 16:17). Untuk menegaskan hal yang sama seperti ditegaskan Matius, jawaban Petrus menurut Lukas lebih sederhana, “Mesias dari Allah” (Luk 9:20). Artinya, Dia tidak bertindak atas namanya sendiri; Ia bertindak untuk melaksanakan kehendak Allah.

Sampai pada bagian ini, kisah yang diceritakan oleh ketiga penginjil – Matius, Markus, Lukas – kurang lebih selaras. Kata-kata Yesus yang tertuju kepada Petrus pada bagian selanjutnya (Mat 16:18-19) hanya diceritakan dalam Injil Matius. Matius mencantumkan kata-kata untuk menjelaskan bagaimana kisahnya sampai Petrus diterima sebagai pemimpin Gereja dan tugas terpenting apa saja yang menjadi tanggungjawabnya. Penjelasan ini penting untuk perkembangan Gereja selanjutnya. Dalam bagian yang hanya diceritakan oleh Matius itu, Petrus dinyatakan sebagai batu karang yang menjadi dasar Gereja yang didirikan Yesus.

Dalam arti apa Petrus menjadi batu karang itu? Peranan Petrus sebagai batu karang dapat dijawab kalau dikaitkan dengan kata-kata “… gerbang alam maut tidak akan menguasainya” (Mat 16:18). Menurut paham waktu itu, orang yang mati masuk ke tempat yang disebut alam maut. Siapapun, sekali masuk, ia tidak akan bisa keluar lagi. Hanya Yesus yang tidak mengalami hal seperti ini. Satu-satunya jalan agar orang tidak masuk ke alam maut melalui gerbangnya adalah menutup gerbang itu dengan batu yang lebih besar dari gerbang tersebut. Itulah peran Petrus sebagai batu karang. Dengan demikian tugas Petrus adalah melindungi Gereja agar tidak masuk ke dalam bahaya “alam maut”, yang bisa berarti simbolik: segala macam tantangan yang membuat Gereja lumpuh dan tak berdaya.

Dalam rangka itu pula dapat kita mengerti mengapa Yesus memberikan kunci KerajaanAllah dan kuasa untuk mengikat dan melepaskan. Kata-kata Yesus ini jangan pernah dimengerti sebagai pemberian kuasa untuk mengadili dan menentukan siapa yang masuk surga dan siapa tidak boleh masuk surga. Bukan itu. Petrus diberi kunci Kerajaan Sorga agar kuasa alam maut jangan sampai masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Yang diikat (atau ditutup) adalah gerbang masuk ke alam maut. Yang dilepas di bumi adalah pribadi-pribadi manusia yang sudah dilepaskan dari alam maut itu. Dengan latar belakang ini, pantas kita renungkan kritik diri Gereja yang disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam Anjuran Apostolik Sukacita Injil: “Seringkali kita bertindak bagai penguasa penentu daripada sebagai pembagi rahmat”.

Renungan Sabtu, 23 Agustus 2014 : Sandiwara


Pekan Biasa XX
 Yeh 43:1-7a; Mzm 85; Mat 23:1-12

Dalam sandiwara, seorang aktor bisa memainkan peran yang sama sekali berbeda dengan watak asli. Injil hari ini menampilkan Yesus yang menasihati orang dan murid-murid untuk mendengarkan dan melakukan segala yang diajarkan para pemimpin agama, namun tak boleh meniru perbuatan mereka. Mengapa? Karena ajaran dan perilaku para pemimpin itu tidak padu alias tidak serasi.

Mereka bukan pemimpin otentik tapi orang-orang yang pandai bersandiwara. Mereka melakukan kebaikan hanya demi dilihat orang, namun sikap asli mereka sehari-hari sangat buruk. Mereka menindas orang dengan ajaran yang mengatasnamakan agama, tapi mereka sama sekali tidak melaksanakan ajaran itu. Itulah musuh Kerajaan Allah.

Yehezkiel membawa kisah happy ending dalam penglihatan Allah yang kembali ke Bait Suci sebagai pemulihan terhadap kisah Allah yang meninggalkan Bait Suci karena dinajiskan oleh tingkah laku para pemimpin yang tak berkenan kepada-Nya. Marilah memupuk pengharapan dan cinta kasih agar Allah berkenan melindungi kita semua dari jerat sandiwara, baik yang dimainkan kita maupun oleh orang-orang yang kita hormati sebagai pemimpin.

Renungan Jumat, 22 Agustus 2014 : Mencobai Allah


Pw St Perawan Maria Ratu
Yeh 37:1-14; Mzm 107; Mat 22:34-40

Pernahkah Anda mendapat pertanyaan dari seseorang, bukan karena ia membutuhkan jawaban, tetapi karena ingin menguji kemampuan dan mencari kesalahan Anda? Lalu, bagaimana reaksi Anda? Kita bisa memilih, memberikan jawaban yang memperlihatkan kemarahan atas sikap tak simpatik itu, atau memberikan jawaban yang membuat si penanya tidak memiliki lagi bahan untuk mencobai kita.

Yesus kerap mengalami hal itu. Ia tidak terpancing marah atau menjatuhkan mereka yang mencobai-Nya. Mengapa? Ia datang untuk menyelamatkan pendosa, membawa pulang yang tersesat dan membangkitkan mereka yang mati, karena dosa dan kejahatan. Kasih Yesus kepada manusia termasuk kepada para musuh- Nya merupakan cermin kasih-Nya kepada Allah. Itulah hukum utama dan pertama yang ditawarkan Yesus.

Yehezkiel dalam penglihatannya tentang tulang-tulang kering, menggambarkan belas kasih Allah yang menghidupkan dan menyelamatkan. Keputusasaan bangsa Israel dalam pembuangan di Babel tak membuat Allah tinggal diam, melainkan membangkitkan belas kasih- Nya sebagai Allah yang aktif dan peduli. Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik (Mzm 107:1). Apakah cintaku kepada Allah mendorong juga cinta dan perbuatan baik bagi sesama?

Renungan Kamis, 21 Agustus 2014 : Menolak Kebaikan


Pw St Pius X
Yeh 36:23-28; Mzm 51;Mat 22:1-14

Dalam ibadat tobat dalam sebuah retret, imam pembimbing mengajak peserta memusatkan perhatian bukan kepada sejumlah perbuatan jahat yang dilakukan, tapi kepada perbuatan baik yang tidak dilakukan atau diabaikan. Cukup banyak peserta terkejut dengan cara ini. Mereka yang semula merasa hidup baik-baik saja karena tidak berbuat jahat, tiba-tiba terhenyak akan hal-hal baik yang seharusnya bisa dilakukan, tapi diabaikan.

Injil hari ini tidak hanya berkisah tentang perbuatan jahat, tapi tentang kebaikan Allah yang diabaikan. Ia mengadakan pesta perjamuan, tapi para undangan tak hadir. Pendosa yang buruk melulu mencatat kejahatan-kejahatan yang dilakukannya. Pendosa yang baik mencatat keutamaan-keutamaan yang tidak dilakukannya.

Yehezkiel memberi gambaran yang sangat hidup tentang Allah yang tak jemu mengundang manusia agar membarui kembali perjanjian dengan-Nya. Allah membimbing dan membuka wawasan para pendosa bahwa tanpa Roh-Nya manusia tak mampu merindukan yang luhur dan baik. Roh dan hati baru yang dijanjikan-Nya menjamin kebahagiaan manusia dalam melaksanakan perintah dan ajaran-Nya, bukan pertama-tama sebagai hukum atau aturan, tetapi sebagai sumber kebaikan yang pantas dirindukan, dicari, dan dilaksanakan penuh cinta.
 


Renungan Rabu, 20 Agustus 2014 : Haus Kuasa


Pw St Bernardus
Yeh 34:1-11; Mzm 23;Mat 20:1-16a

Dalam Perjanjian Lama, istilah gembala sering dikenakan pada mereka yang diberi kepercayaan memimpin umat, seperti raja, nabi, dan imam. Tugas gembala adalah mengasuh domba-domba, memberi makan, membimbing, mencari, dan membawa pulang yang hilang. Namun, tak jarang kepemimpinan diidentikkan dengan kekuasaan yang menekan, memanfaatkan dan memanipulasi pihak-pihak yang dipimpin.

Dalam sebuah kursus, seorang ibu bercerita, ia pernah meninggalkan Gereja selama beberapa tahun, tapi tak ada yang mencari, menyapa dan mengajak dia kembali. Ibu itu merasa seperti domba yang hilang, namun tak dicari. Mungkin tidak jarang kita mendengar, “Biar saja. Hilang satu tidak rugi apa-apa. Kan dombanya banyak dan bertambah terus setiap tahun melalui baptisan baru.”

Firman Allah hari ini amat tegas! Ia tak ingin mengecewakan umat yang menderita, karena perilaku gembala. Allah tampil melalui Mesias-Nya yang membawa kebahagiaan dan keselamatan dengan menjadi Gembala yang baik, melawan gembala-gembala yang jahat. Ia memerintah dan menggembalakan domba-domba-Nya dengan damai sejahtera. Berbahagialah gembala yang dikenal suaranya dan dicintai domba-domba.

Renungan Selasa, 19 Agustus 2014 : Kelekatan


Pekan Biasa XX
Yeh 28:1-10; Ul 32;Mat 19:23-30

Raja Tirus yang dikisahkan Nabi Yehezkiel mirip dengan orang muda kaya dalam kisah Matius, yaitu membiarkan diri dikuasai kelekatan tak teratur terhadap harta dunia. Raja Tirus pandai berdagang dan menjadi kaya. Namun sayang, karunia hikmat dan pengertian yang ia miliki sebagai raja segera pudar karena kesombongan. Emas dan perak membuat dia tinggi hati. Ia menempatkan diri sama dengan Allah, lalu mati dibunuh bangsa asing (28:7).

Yesus mengingatkan, betapa sulit orang kaya masuk dalam Kerajaan Surga. Para murid heran dan gempar. Kalau begitu siapa yang dapat diselamatkan? (19:25). Zaman sekarang, orang yang tak memiliki hasrat menjadi kaya dianggap aneh. Tidak menerima suap dituduh munafik, menolak korupsi dianggap sok suci. Apakah salah jika kita kaya? Tidak! Yang salah adalah jika menghalalkan semua cara agar menjadi kaya.

Petrus dan para murid yang mengambil jarak terhadap jabatan, kekuasaan dan kenikmatan harta dunia, menanyakan upah mereka. Yesus pun membuka rahasia Kerajaan Allah. Jika karena menjadi murid Kristus kita dihina dan dikecewakan manusia, Allah tidak demikian. Upah yang diterima seratus kali lipat dari hal-hal yang ditinggalkan. Juga, upah pada masa depan, yaitu hidup yang kekal. Ini berlaku bagi setiap murid Kristus.
Percayakah saya?

Renungan Senin,18 Agustus 2014 : Pesona Semu


Pekan Biasa XX
Yeh 24:15-24; Ul 32; Mat19:16-22

“Pendosa yang buruk melulu mencatat kejahatan-kejahatan yang dilakukannya. Pendosa yang baik mencatat keutamaan-keutamaan yang tidak dilakukannya.”

Ada seorang pemuda yang kaya dan telah menuruti perintah Allah sejak masa kecil. Jika ia berada di tengah para perempuan lajang yang mencari jodoh atau di antara orangtua yang sedang mencari menantu, pasti akan menjadi rebutan. Si pemuda rupanya sedang galau. Ia berkonsultasi kepada Yesus mengenai cara memperoleh hidup kekal. Sepintas orang pasti terpesona, karena kaya dan taat pada perintah Allah, serta terus mencari hal-hal baik untuk masuk Surga. Tunggu dulu! Persis di situlah kekeliruan itu.

Si pemuda kaya itu bertanya, “Apa yang harus kuperbuat untuk...?” Dia menyangka hidup kekal dapat ditukar dengan per buatan baik. Kesempurnaan praktik agama Yahudi berbeda dengan kesempurnaan yang ditawarkan Yesus. Jalan menuju kesempurnaan hidup kekal bukan peraturan-peraturan hukum atau perbuatan baik, melainkan jalan tata penyelamatan baru, yakni Yesus sendiri. Dialah Jalan, Kebenaran dan Hidup yang mengosongkan diri-Nya dan menjadi sama dengan manusia.

Itulah yang diminta Yesus dari si pemuda kaya, yakni mengidentifikasi diri dengan orang miskin melalui pengosongan dan pembersihan diri dari kelekatan harta dunia. Kerajaan Allah tak diraih karena prestasi manusia, tetapi rahmat yang dicurahkan dalam hati yang lepas bebas. Bagaimana saya?

Renungan Minggu, 17 Agustus 2014 : Kekuasaan dalam Cahaya Iman


Hari Raya Kemerdekaan RI
Sir 10:1-8; Mzm 101; 1Ptr 2:13-17; Mat 22:15-21

Iman Kristiani menandaskan bahwa kekuasaan politis itu bukanlah segala-galanya, tetapi ditempatkan di bawah kuasa yang lebih tinggi yaitu kuasa ilahi.

Kekuasaan itu mempesona. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau orang berlomba- lomba untuk merebutnya. Bahkan orang tak segan dan tak tahu malu menggunakan segala macam cara untuk berkuasa. Kampanye hitam dalam Pilpres yang baru lewat adalah bukti yang paling jelas dari hal ini. Kekuasaan itu juga membius. Tak mengherankan kalau orang yang berkuasa berupaya dengan pelbagai cara tetap bercokol di tahta kekuasaan.

Justru karena kekuasaan itu cenderung ‘korupt’ (the power tends to corrupt), iman Kristiani menandaskan bahwa kekuasaan politis itu bukanlah segala-galanya, tetapi ditempatkan di bawah kuasa yang lebih tinggi yaitu kuasa ilahi. Kisah Injil hari ini, tentang “Membayar pajak kepada Kaisar” (Mat 22:15-22), mewartakan dengan tegas tentang hal tersebut. Memang teks ini seringkali ditafsir oleh banyak pihak sebagai ajaran Yesus tentang keterpisahan dunia politik dari ranah iman atau tentang otonomi negara dari agama.

Negara dan agama memiliki prinsip dan mekanisme masing-masing yang tidak boleh dicampur-adukkan satu sama lain. Bila negara mengurusi hal-hal politis jasmani warga negara, maka agama menangani urusan etis- rohani umat. Namun, tak jarang pandangan demikian bermuara pada kekeliruan yang fatal ketika fungsi kritis profetis iman terhadap kekuasaan politik dibungkam dan agama dibatasi dalam urusan ritual
belaka.

Dalam kisah Injil hari ini, Yesus sebetulnya berbicara tentang hal lain yaitu tentang kekuasaan sipil yang mesti dijalankan sesuai dengan kehendak ilahi. Seorang warga yang baik tentu wajib taat kepada Kaisar. Tetapi ketaatan itu bukanlah ketaatan buta. Yesus sekaligus mengingatkan bahwa ketaatan demikian mesti diselaraskan dengan ketakwaan kepada Allah. Itu berarti orang tunduk kepada Kaisar sejauh ia menjalankan kekuasaannya sesuai dengan kehendak Allah. Orang mesti “memberikan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah”. Yang menjadi milik Allah adalah segala sesuatu yang diciptakan- Nya, termasuk kekuasaan politis yang dimiliki sang Kaisar.

Dalam perspektif iman Israel, kekuasaan politik tidak dipisahkan dari otoritas religius. Seorang raja adalah representasi Allah. Artinya, ia menjalankan kuasa yang diberikan oleh Allah dan sekaligus harus bertindak sesuai dengan kehendak Dia yang Kekuasaan berikan otoritas tersebut. Karena itu seorang pemimpin politik selalu dinilai oleh prinsip- prinsip moral yang mengalir dari keyakinan iman akan Allah seperti kejujuran, kebenaran, keadilan, kesejahteraan umum dan kemanusiaan.

Hal yang sama ditegaskan oleh Kitab Sirakh dalam nasihat-nasihat untuk para penguasa (Sir 10:1-10). Kuasa politik tunduk di bawah kuasa ilahi, karena “di dalam tangan Tuhan terletak kuasa atas bumi” (Sir 10:4). Martabat seorang pejabat “dikaruniakan oleh-Nya” (Sir 10:5). Karena itu penguasa mesti mengusahakan ketertiban dan kesejahteraan bagi rakyatnya sesuai dengan kehendak Allah. Sebaliknya, ada tiga bahaya besar yang harus dihindari oleh para penguasa yakni kelaliman, kekerasan dan uang (Sir 10:8). Sirakh memperingatkan dimensi temporer penguasa yang mengabsolutkan kekuasaanya: “hari ini masih raja dan besok sudah mati!” (Sir 10:10).

Hal serupa ditegaskan oleh Santo Petrus dalam surat pertamanya (1 Ptr 2:13-17). Ia mengajak umat Kristiani untuk tunduk kepada pemegang kekuasaan “karena Allah”. Orang perlu taat kepada penguasa yang takwa kepada Allah bukan kepada penguasa lalim. Ketakwaan kepada Allah ini tampak ketika seorang penguasa memperjuangkan kebaikan dan memberantas kejahatan. Dalam konteks memperjuangkan kebaikan bersama atau kesejahteraan umum inilah seorang penguasa dinilai.

Perayaan kemerdekaan bangsa Indonesia tahun ini sangatlah bermakna karena bertepatan dengan transisi kekuasaan kepada pemimpin yang baru. Bacaan-bacaan hari Minggu ini menginspirasi prinsip-prinsip kekuasaan yang tepat. Marilah kita berdoa dan turut berjuang agar pemimpin baru Indonesia sungguh-sungguh dapat menjadi pelayan rakyat. Yaitu pemimpin yang bukan membatasi atau mengkebiri kebebasan warga, tetapi yang mengkondisikan agar anak-anak bangsa merasa dan hidup sebagai orang-orang yang merdeka dan sejahtera. Selamat merayakan 17 Agustus 2014.

Renungan Sabtu, 16 Agustus 2014 : Menjaga Anak


Pekan Biasa XIX
Yeh 18:1-10.13b.30- 32; Mzm 51; Mat 19:13-15

Kisah sederhana yang dibacakan hari ini sudah amat terkenal. Yesus mendoakan dan memberkati anak-anak kecil yang dibawa kepada-Nya. Melalui kisah ini mau ditunjukan bahwa mereka yang datang kepada Yesus tak hanya mereka yang memang mau dan mampu memutuskan untuk datang sendiri kepada Yesus secara sukarela. Yesus juga menerima mereka yang datang bukan karena keinginan atau keputusan sendiri, tetapi karena dibawa orang lain atau juga mereka yang belum mengerti apa-apa tentang Yesus, seperti diwakili anak-anak yang dibawa kepada Yesus.

Yang mesti diperhatikan adalah menjaga dan membawa anak-anak itu sehingga mereka bisa sampai pada pengalaman pribadi dengan Yesus. Sesuai dengan janji perkawinan, kedua orangtua yang mesti bertanggung jawab untuk pendampingan ini. Tapi seringkali harapan ini tak bisa kesampaian. Kalau demikian siapa yang bisa membantu orangtua dalam mendampingi anak-anak ini? Bukankah masa depan Gereja bergantung kepada mereka yang sekarang ini masih kanak-kanak?

Lalu? Soal pendampingan anak tak bisa dibuat hanya orangtua yang bersangkutan. Bagaimana ini mau dipikirkan?

Renungan Jumat, 15 Agustus 2014 : Coba Lagi


Pekan Biasa XIX
Yeh 16:59-63; Yes 12; Mat 19:3-12

Perikop ini diberi judul Perceraian. Rupanya persoalan perceraian ini sudah menjadi masalah sejak zaman kuno. Di zaman kita, perceraian juga menjadi berita yang selalu bisa ditemukan dalam hidup sehari-hari. Ada pasangan yang baru saja menikah kemudian bercerai. Tapi ada juga pasangan berusia 90-an tahun dan sudah menikah puluhan tahun, akhirnya juga berpisah. Lembaga perkawinan juga tidak lagi dihormati.

Di lain pihak, kita juga melihat, meskipun fenomena perceraian yang begitu hebat, toh masih banyak orang yang tetap mau menikah. Pernikahan mewah dan mahal terus diadakan di mana-mana. Rupanya fenomen perceraian tidak membuat mereka khawatir akan membangun rumah tangga. Banyak pasangan terus mengikrarkan diri hidup bersama dalam lembaga perkawinan. Mengapa? Teolog terkenal, N.T. Wright, mengatakan bahwa kehausan dan kerinduan orang untuk hidup bersama dalam ikatan kasih merupakan tanda kehendak Allah. Allah sang kasih itu ingin selalu mempersatukan manusia.

Lalu? Perkawinan adalah kehendak Tuhan. Tetapi “karena kekerasan hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (ay. 8). Jika memang demikian, mengapa kita tidak mencoba sekali lagi mengusahakan apa yang setiap orang sudah tahu, yaitu melunakkan hati kita

Renungan Kamis, 14 Agustus 2014 : Pengampunan


Pw St Maximilianus Maria Kolbe, Im. Mrt
Yeh 16:59-63; Yes 12; Mat 18:21-19:1

Perikop yang cukup panjang ini, yang masih merupakan bagian dari pewartaan Matius tentang hidup komunitas Kristiani, berbicara tentang pengampunan tanpa batas. "Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." Allah sudah melaksanakan. Sakramen Tobat adalah bukti keterbukaan Allah kepada manusia yang lemah yang bisa selalu jatuh dalam dosa, bahkan selalu dosa yang sama.

Ada cerita kecil. Seorang datang berkali-kali kepada seorang imam untuk mengaku dosa. Dosanya tetap sama, seperti tak ada perubahan dalam diri orang ini. Hal ini membuat sang imam jengkel dan marah. Maka, ketika orang itu datang lagi, sang imam menegur dia, "Tampaknya engkau kurang serius dalam mengusahakan pertobatanmu sehingga engkau jatuh pada dosa-dosa yang sama. Karena itu, untuk kali ini saya tidak bisa memberikan absolusi." Si peniten menangis dan kecewa, dengan sedih ia meninggalkan bilik pengakuan. Baru saja ia mau meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia mendengar suara, "Ego te absolvo a peccatis tuis in nomine Patris, et Filii, et Spiritus Sancti." Orang itu terkejut dan menoleh ke belakang. Ternyata suara pengampunan itu datang dari salib Yesus yang tergantung di sana. Imam menolak memberikan pengampunan; Tuhan Yesus memberikan pengampuan itu.

Lalu? Pengampunan itu indah. Sayang, Sakramen Rekonsiliasi yang bisa diterima berulang-ulang, ada kecendrungan direduksi, dibatasi, dan hanya diterima dua kali setahun saja.

Renungan Rabu, 13 Agustus 2014 : Tegurlah Dia


Pekan Biasa XIX
Yeh 9:1-7; 10:18- 22; Mzm 113; Mat 18:15-20

Injil Matius pasal 18 yang hari-hari ini kita baca biasa disebut sebagai tata hidup dalam komunitas para pengikut Kristus. Kasusnya adalah bagaimana jika ada anggota komunitas yang berdosa? Jawabannya bertahap. Tahap pertama adalah pergi kepada dia “dan menegur dia di bawah empat mata”. Sebenarnya ini adalah konkretisasi dari bacaan hari sebelumnya tentang mencari seekor domba yang hilang.

Harus diakui bahwa langkah pertama Yang Tersesat, Pulanglah! ini, yaitu menegur orang yang berdosa, yang nampak sederhana merupakan sesuatu yang amat sulit terjadi di kalangan kita. Ada banyak kendala mengapa dalam banyak kasus langkah pertama ini tidak terjadi dan akibatnya seorang yang jatuh akan semakin terjerumus ke dalam lumpur kedosaan. Bayangkan kalau yang berdosa adalah orang yang lebih tinggi status sosial ekonominya daripada kita? Apa kita memang berani menegur? Omong gampang, pelaksanaannya setengah mati. Bisa jadi kita lalu bersikap kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Atau lebih buruk lagi, kita justru membicarakan kasus ini dari mulut ke mulut, tapi tidak pernah kepada yang bersangkutan.

Lalu? Pertanyaan mendasar rasanya tetap sama, apakah kita memang sungguh- sungguh mengasihi sesama kita? Atau perintah Kristen yang mendasar ini hanya menjadi sekadar jargon kosong?

Renungan Selasa, 12 Agustus 2014 : Yang Tersesat


Pekan Biasa XIX
Yeh 2:8-3:4; Mzm 119; Mat 18,1-5.12-14

Kali ini, bacaan Injil menyampaikan dua kisah yang berbeda. Yang satu tentang yang terbesar dalam Kerajaan Surga (ay. 1-5) dan yang kedua tentang sikap seorang gembala kalau ada seekor domba yang sesat (ay. 12-14). Dan sekali lagi merenungkan pokok kedua mungkin menarik.

Menurut pengajaran Yesus, gembala yang baik akan meninggalkan sembilan puluh sembilan dombanya dan mencari seekor domba lain yang hilang tersesat. Tapi kita bisa merenungkan, apakah prinsip seperti ini memang baik diterapkan? Jangan-jangan pada waktu kita mencari yang seekor, yang sembilan puluh sembilan justru berantakan? Kalau demi kian bukankah akan lebih besar kerugian kita? Tetapi yang pertama-tama mau di tunjuk kan Yesus melalui perumpamaan itu adalah soal perhatian istimewa kepada yang tersesat.

Lalu? Sebenarnya ada banyak orang yang hilang tersesat, yang meninggalkan Gereja karena berbagai alasan. Kita bisa bertanya, apakah kita juga seperasaan dengan Bapa yang “tidak menghendaki salah seorang dari anak-anak ini hilang?”

Renungan Senin, 11 Agustus 2014 : Biasa Saja


Pw St Klara dari Assisi
Yeh 1:2.24- 2:1a; Mzm 148; Mat 17:22-27

“Sakramen Tobat adalah bukti keterbukaan Allah kepada manusia yang lemah yang bisa selalu jatuh dalam dosa, bahkan selalu dosa yang sama.”

Sebenarnya ada dua perikop terpisah dalam bacaan injil hari ini.Pertama, tentang pemberitaan sengsara Yesus (ay. 22- 23).Kedua, tentang membayar pajak untuk Bait Allah (ay. 24-27). Kisah kedua mungkin menarik untuk direnungkan kali ini.

Apakah Yesus membayar pajak Bait Suci? Menurut Yesus, sebenarnya mereka tidak perlu membayar pajak yang katanya untuk biaya pengelolaan Bait Suci itu. Tapi agar banyak orang tak ter sandung, Yesus menyuruh Petrus membayar pajak wajib itu, meskipun kita tahu, cara Petrus mendapatkan uang itu juga tidak biasa. Jadi, Yesus tahu bahwa membayar pajak Bait Suci merupakan se suatu yang patut dicurigai. Tapi, Yesus tak mau mempersoalkan. Ia juga tak mau diperlakukan istimewa, meski mungkin Ia bisa mengajukan protes. Alasannya? Agar tidak menjadi sandungan bagi orang lain.

Lalu? Kisah seperti ini mungkin lebih menarik jika dibaca banyak orang di antara kita yang selalu ingin diperlakukan secara istimewa dalam berbagai kesempatan. Misal seharusnya antri, ada saja orang yang nyelonong begitu saja ke depan. Dan ketika ditegur, tanpa rasa malu, ia justru marah-marah dan menunjukkan siapa dirinya. Tapi sayang, mungkin tidak banyak di antara mereka yang membaca renungan ini.

Renungan Minggu 10 Agustus 2014 : Kepasrahan Bunda Maria


Hari Raya Maria Diangkat ke Surga
Why 11:19a;12:1,3-6a,10ab; Mzm 45; 1Kor 15:20-26; Luk 1:39-56

Ia diangkat dan dipermuliakan di surga karena kepasrahan dan pembaktian hidup seutuhnya pada kehendak dan rencana penyelamatan Allah dalam Yesus, lewat dirinya. Ia menyerahkan seluruh hidupnya dalam kepasrahan pada Allah.

Kesalehan dan kepasrahan Bunda Maria di hadapan Tuhan dikenal banyak orang. Pada peristiwa Kabar Gembira, Maria bernazar pada Malaikat: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38). Mungkin waktu itu hatinya berbunga-bunga dan kagum akan keajaiban peristiwa yang akan terjadi, seturut kata- kata Malaikat Gabriel. Dengan ungkapan itu, Maria menyatakan ketaqwaan terdalamnya pada Tuhan.

Hati Maria pun diselimuti keheranan. Tiap kali rasa heran singgah, ia selalu berucap: “Yang seperti ini, belum pernah kubayangkan”. Ada tujuh keheranan Maria.
Pertama, tatkala ia telah mengandung tua dan harus pergi ke Bethlehem untuk cacah jiwa bersama Yosef. Lelah dalam perjalanan jauh dengan keledai, mereka bahkan tak menemukan penginapan, kecuali kandang ternak dan palungan. Ia berkata dalam hati: “Mengapa harus begini?” Namun setelah Tiga Raja bersujud sembah pada Anaknya, spontan ia berucap: “Yang seperti ini, belum pernah kubayangkan”.

Kedua, saat Yosef mendapat bisikan Tuhan untuk mengungsi ke Mesir, menyelamatkan Anaknya dari kebengisan Herodes. Setelah perjalanan jauh bersama para pedagang dan khalifah, akhirnya mereka menumpang dalam satu rumah, dekat sungai Nil. Suatu sore, Maria spontan berkata di beranda rumahnya: “Yang seperti ini belum pernah kubayangkan”.

Ketiga, sewaktu perkawinan di Kana. Tuan rumah sangat terperanjat, sebab terancam rasa malu karena kehabisan anggur. Maria menyuruh Yesus mengubah air menjadi anggur. Tiba-tiba hal itu terjadi dan membuatnya tercengang. Sambil menggelengkan kepala, ia berkata: “Yang seperti ini, tak pernah kubayangkan”.

Keempat, ketika Yesus dihukum mati dan dipaksa memanggul salib ke Gunung Golgota: Yesus dihina bermahkota duri; Ia terjatuh dan dicambuk. Ia didera dan dipermalukan di depan khalayak. Hati Sang Bunda teriris kepedihan tak terperikan. Timbul dalam hatinya: “Yang seperti ini, tak pernah kubayangkan”.

Kelima, pada peristiwa Paskah. Maria telah menghantar jenazah Putranya ke makam milik Yosef dari Arimatea. Tiba-tiba terdengar berita Yesus bangkit. Akhirnya ia pun bertemu dengan Yesus hatinya: “Yang seperti ini, belum pernah kubayangkan”.

Keenam, ketika para murid kebingungan dan ketakutan di Yerusalem. Sesudah Yesus naik ke surga, Ia menyuruh para murid berkumpul di Yerusalem menantikan turunnya Roh Kudus. Maria pun berada bersama mereka. Mereka ketakutan terhadap orang Yahudi. Mereka menutup pintu rapat-rapat. Mereka berbisik- bisik, sebab takut orang Yahudi mendengarnya. Kecemasan melingkupi hati mereka. Namun kala Roh Kudus turun atas mereka, semuanya berubah. Mereka sangat bersemangat. Mereka menjadi berani, bahkan naik ke sotoh rumah. Mereka menegur orang Yahudi dan mengatakan bahwa orang Yahudi bersalah karena membunuh Yesus yang tak bersalah. Mereka memerintahkan orang Yahudi bertobat. Hari itu, lebih dari 3.000 orang dibaptis. Maria berkata: “Yang seperti ini, belum pernah kubayangkan”.

Ketujuh, peristiwa di surga, seturut Kitab Wahyu. Maria dipermuliakan dan dijadikan Ratu Surgawi. Para malaikat dan orang kudus takzim di hadapannya. “Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya” (Why 12:1). Terkesima, Maria lalu berkata: “Yang seperti ini, belum pernah kubayangkan”.

Demikianlah kisah hidup Bunda Maria. Ia diangkat dan dipermuliakan di surga karena kepasrahan dan pembaktian hidup seutuhnya pada kehendak dan rencana penyelamatan Allah dalam Yesus, lewat dirinya. Ia menyerahkan seluruh hidupnya dalam kepasrahan pada Allah.

Jika kita melihat dalam kacamata manusiawi, hidup Maria tak terlalu beruntung. Ia bahkan harus memeluk jenazah Putranya yang rusak dalam pangkuannya sendiri. Betapa hancur hatinya. Namun dalam kepasrahan pada Allah, semua berakhir pada kebahagiaan abadi: berbahagia di surga. Kita pun dapat dan patut mengikuti teladan Bunda Maria ini..

Renungan Sabtu, 09 Agustus 2014 : Kecil tetapi Besar


Pekan Biasa XVIII
Hab 1:12-2:4; Mzm 9:8-13; Mat 17:14-20

Bacaan Injil hari ini seakan menjadi peneguhan terhadap pernyataan Yesus tentang penderitaan-Nya di Yerusalem. Yesus menantang kesetiaan para murid untuk mengikuti-Nya dan mewartakan Kerajaan Allah sampai akhir. Iman mereka pun diuji dengan peristiwa pengusiran setan. Para murid belum dapat mengusir setan karena mereka kurang percaya. Padahal, jika mereka memiliki iman sebesar biji sesawi saja, mereka dapat melakukan karya yang besar. Mengapa Yesus memilih biji sesawi sebagai takaran iman para murid? Biji sesawi ukurannya sangat kecil, tetapi jika disemai, biji itu akan segera tumbuh dengan kuat, besar, dan relatif lebih tahan kekeringan. Biji yang kecil itu juga menghasilkan manfaat yang besar.

Yesus bermaksud meyakinkan para murid bahwa mereka harus lebih percaya kepada Bapa-Nya. Mereka harus memiliki iman yang kuat dan teguh supaya dapat membawa banyak orang pada keselamatan. Iman kita pun seringkali diuji oleh berbagai tantangan dan kesulitan dalam hidup dan karya kita. Namun, Yesus ingin supaya kita tetap teguh. Hanya dengan setitik iman yang teguh disertai doa dan usaha terus-menerus, kita dapat memperoleh mukjizat sesuai dengan kehendak-Nya. Yesus meminta kita untuk percaya, selebihnya Ia yang akan menyempurnakan

Renungan Jumat, 08 Agustus 2014 : Menyangkal Diri


Pw. St. Dominikus, Pendiri Ordo Pengkotbah Im.
Nah 1:15; 2:2; 3:1-3,6-7; Ul 32:35-36, 39,41; Mat 16:24-28

Menjadi orang baik dan benar itu gampang-gampang susah. Saya sendiri sering menghadapi dilema saat harus menjadi baik, entah karena keinginan sendiri atau tuntutan orang sekitar. Kualitas orang baik secara umum antara lain: rendah hati, jujur, sabar, pemaaf, suka menolong, rajin bekerja, dan tekun berdoa. Semua kualitas itu akan berbuah kasih dan kebaikan jika mengakar dalam hidup sehari-hari.

Pada saat godaan menyerang, kita harus berani menyangkal diri. Artinya kita mau menolak atau melawan ke cenderungan nafsu duniawi dan egoisme dalam diri. Penyangkalan diri membutuhkan penguasaan diri yang kuat. Contoh sederhana, menyisihkan uang untuk disumbangkan kepada fakir miskin. Atau, bila kita biasanya malas ikut kegiatan Gereja, cobalah untuk mulai terlibat minimal satu kegiatan menggereja seperti pendalaman Kitab Suci. Dengan begitu, kita semakin mengenal dan dekat dengan Tuhan. Kita pun bisa menjadi pewarta Kabar Gembira bagi sesama dimulai dari keluarga sendiri.

Santo Dominikus berpesan: “Tetaplah penuh dalam cinta kasih dan kerendahan hati, dan jangan tinggalkan kemiskinan!” Apakah kita berani menyangkal diri dan menjadi pewarta Kabar Gembira di lingkungan tempat tinggal kita?

Renungan Kamis, 07 Agustus 2014 : Kehendak Bapa

Pekan Biasa XVIII
Yer 31:31-34; Mzm 51; Mat 16:13-23

Dalam perjalanan hidupnya, manusia belajar membedakan mana yang benar dan salah. Manusia juga dipanggil untuk melakukan apa yang baik dan benar sesuai kehendak Tuhan. Semua itu karena Tuhan telah menaruh hukum-Nya dalam batin setiap manusia (Yer 31:33). Ia menuliskannya dalam hati manusia sehingga manusia mengenal Tuhan. Inilah awal perjanjian baru yang diadakan Allah dengan umat Israel. Di kemudian hari, Yesus memperbaruinya kepada seluruh umat manusia.

Yesus datang ke dunia sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup (Mat 16:16). Petrus mendapat karunia untuk mengenali siapa sesungguhnya Yesus. Allah Bapa telah menyatakan hal itu kepada Petrus supaya ia dapat menjadi dasar berdirinya Gereja. Meski pada awalnya Petrus kurang siap dan takut kehilangan Yesus, namun ia di tegur oleh Yesus supaya tidak jatuh dalam ketakutan semu dari iblis. Yesus menginginkan Petrus berani menjadi batu karang yang teguh membangun Kerajaan Allah sesuai kehendak Bapa.

Kita pun seperti Petrus, kadang kita takut tampil sendiri untuk mewartakan Injil. Padahal, kita sudah memiliki cukup bekal yaitu hukum Tuhan yang tertulis di hati kita. Kita dipanggil untuk mewartakan Kerajaan Allah dan membawa lebih banyak orang kepada keselamatan meski sendirian. Percayalah, dengan pertolongan Roh Kudus, kita dapat bersaksi dengan berani melalui cara hidup kita. Asalkan kita selalu menyediakan diri untuk mendengarkan kehendak Bapa.

Renungan Rabu, 06 Agustus 2014 : Berani Turun

Pesta Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya
Dan 7:9-10,13-14 atau 2Ptr. 1:16-19; Mzm 97; Mat 17:1-9

Sebelum menampakkan kemuliaan-Nya, Yesus memberitahu para murid tentang penderitaan yang harus Ia tanggung di Yerusalem. Kemudian dalam perjalanan, Ia mengajak Petrus, Yakobus, dan Yohanes naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di sana Yesus menampakkan kemuliaan- Nya.

Kehadiran dua tokoh Perjanjian Lama (Musa dan Elia) menjadi tanda bahwa perjanjian antara Allah dengan umat- Nya terus berlanjut melalui Yesus. Suara Allah dari langit merupakan pengesahan kedua setelah peristiwa pembaptisan (Mat 3:16-17) bahwa Yesuslah puncak pemenuhan janji Allah. Tetapi pada Iman Menuntut Aksi Nyata catholicreligion teacher.com Theresia Vita Prodeita Mahasiswi Program Master Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta saat itu, ketiga rasul belum mengerti bahwa jalan untuk memenuhi janji penebusan umat manusia harus melalui penderitaan di Yerusalem. Petrus malah ingin mendirikan kemah supaya dapat berlama-lama dalam kenyamanan dan kemuliaan di atas gunung.

Refleksi atas peristiwa mulia ini menunjuk pada perjalanan hidup manusia. Ada saat di mana manusia beroleh kepuasan dan kedamaian, baik secara fisik maupun rohani. Sayangnya, manusia cenderung cepat berpuas diri dengan keberhasilan. Hal ini membuat banyak orang sulit keluar dari zona nyaman. Kita di tantang untuk berani turun dan keluar dari zona nyaman demi melanjutkan pemenuhan janji keselamatan dari Allah. Beranikah kita terjun langsung menolong sesama yang menderita?

Renungan Selasa, 05 Agustus 2014 : Mempercantik Rohani

Pekan Biasa XVIII
Yer 30:1-2, 12-15, 18-22; Mzm 102; Mat 15:1-2, 10-14

Lagi-lagi para Farisi dan ahli Taurat mencari-cari kesalahan yang dilakukan murid-murid Yesus. Dengan tegas dan bijak, Yesus mengingatkan bahwa yang menajiskan seseorang bukanlah apa yang masuk ke dalam mulut melainkan apa yang keluar dari mulutnya. Yang dimaksud “keluar dari mulut” adalah perkataan jahat yang berasal dari dalam hati (Mat 15:18-20). Mungkin kita teringat perumpamaan “lidah tak bertulang namun setajam pedang”.

Perkataan Yesus itu dianggap keras. Ia berusaha meluruskan kembali ajaran Yahudi yang hanya mementingkan hukum fisik. Ia menekankan bahwa perkataan jahat seseorang dapat menyakiti sesamanya sekaligus mempermalukan diri sendiri. Oleh karenanya, Yesus menyebut orang-orang Farisi dan ahli taurat sebagai “orang buta”. Mereka telah dibutakan oleh hukum buatan manusia yang hanya mementingkan kemegahan fisik tanpa memperhatikan kesejahteraan hidup bersama. Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga seperti orang Farisi yang hanya mempercantik fisik luar tanpa mempercantik hati kita secara rohani?

Renungan Senin, 04 Agustus 2014 : Percaya Penuh

Pekan Biasa XVIII
Yer 28:1-17; Mzm 119; Mat 14:22-36

Santo Yohanes Maria Vianney dikenal sebagai pelindung para pastor paroki. Latar belakang hidup Pastor Vianney yang sederhana membuatnya menjadi pribadi yang tekun dalam doa dan usaha. Hidup doa dan mati raga yang kuat membuatnya dekat dengan Tuhan sehingga ia percaya penuh dan selalu mengandalkan pertolongan-Nya. Pastor Vianney meneladan Yesus yang selalu meluangkan waktu untuk berdoa sebelum memulai karya-Nya.

Yesus datang dengan cara yang tak terduga, seperti kisah ia berjalan di atas air. Hal itu membuat para murid terkejut dan ketakutan. Mereka belum percaya bahwa Tuhan dapat melakukan hal-hal yang ajaib.

Sebagai manusia biasa, kita sering kurang percaya pada Tuhan. Pada saat seperti itu kita diingatkan untuk kembali meminta pertolongan Tuhan, seperti Petrus yang minta pertolongan-Nya. Percaya lah, Yesus pasti mengulurkan tangan- Nya untuk menolong kita. Bagai mana dengan kita? Apakah kita sudah cukup meluangkan waktu untuk Tuhan?