Renungan Minggu, 28 Desember 2014: Keluarga Kudus Nazaret

 
Hari Raya Keluarga Kudus
 
 Kej 15:1-6,21:1-3; Mzm 105; Ibr 11:8,11-12,17-19; Luk 2:22-40

Hari Raya Keluarga Kudus menjadi muara perkembangan yang panjang. Pesta ini baru dirayakan seluruh Gereja tahun 1895, kala Paus Leo XIII (1878-1903) menetapkan perayaan ini pada hari Minggu ketiga sesudah Penampakan Tuhan. Kemudian St Yohanes XXIII (1958-1963) memindahkan perayaan ini pada hari Minggu sesudah Hari Raya Kelahiran Yesus.

Pemindahan dan penempatan Hari Raya itu, pastilah mengandung pesan iman. Yang mau ditegaskan, keluarga merupakan bagian karya penyelamatan Allah. Artinya, keluarga adalah persekutuan hidup –dalam bahasa alkitabiah, Gereja kecil– yang dipakai Allah dalam melaksanakan rencana penyelamatan- Nya. Dalam Keluarga Kudus Nazaret, Yesus lahir, dididik hingga “bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada- Nya” (Luk 2:40) dan akhirnya siap melaksanakan perutusan yang harus diselesaikan- Nya.

Seperti apakah Keluarga Kudus sehingga Anak yang lahir di dalamnya menjadi penuh hikmat dan kasih karunia Allah ada pada-Nya? Jawabannya antara lain dapat ditemukan dalam dua pribadi yang disebut dalam Luk 2:22-40, yaitu Simeon (Luk 2:25) dan Hana (Luk 2:36). Tak ada keterangan apakah Simeon pernah berkeluarga. Sementara Hana adalah seorang janda. Yang jelas, mereka berdua termasuk dalam kelompok yang sering disebut “orang-orang yang cinta damai di negeri” (bdk. Mzm 35:20). Mereka hidup dengan spiritualitas tertentu. Spiritualitas atau semangat hidup mereka lebih mudah dipahami jika dibandingkan dengan semangat hidup kelompok lain yang merupakan arus besar pada zaman itu. Bangsa Yahudi yakin, sejak semula mereka adalah bangsa terpilih dan yakin pula pada suatu saat mereka akan menjadi penguasa dunia dan semua bangsa lain tunduk pada mereka. Karena itu, mereka mengharapkan datangnya tokoh istimewa yang akan mewujudkan keyakinan ini; dan sebagian percaya tokoh ini akan muncul dari wangsa Daud. Dengan kata lain, kelompok arus besar ini mengharapkan seorang pembebas dari garis Daud yang akan datang dengan kekuatan dan kekuasaan.

Sementara Simeon dan Hana, “orang-orang yang cinta damai di negeri”, hidup dalam penantian akan janji Allah dengan doa yang tekun dan sabar. Simeon menantikan penghiburan bagi umat. Penantian itu terpenuhi ketika ia datang ke Bait Allah oleh Roh Kudus, melihat Yesus yang muncul tidak dengan kekuasaan dan kekuatan. Bagi Simeon, Yesus yang dipersembahkan kepada Tuhan di Bait Allah ialah kepenuhan penantian dan harapannya. Karena sudah tak ada yang dinantikan dan diharapkan lagi, Simeon mohon pada Tuhan agar ia dibiarkan pergi dalam damai sejahtera.

Hana disebut sebagai nabi perempuan. Ia janda berusia 84 tahun dan hanya sempat hidup bersama suaminya selama tujuh tahun. Dengan riwayat hidup seperti ini, bisa dibayangkan, hidupnya berbeban. Ternyata beban itu tak membuat hidupnya pahit. Sebaliknya, pengalaman hidup membuatnya tegar dan makin dekat dengan Tuhan. Dalam usia uzur, ia tetap berharap dan meneguhkan harapannya dengan berpuasa dan berdoa (Luk 2:36-38). Akhirnya, ia pun berbicara tentang Yesus yang dipersembahkan ke Bait Allah sebagai kepenuhan harapannya sendiri dan harapan seluruh bangsanya.

Dalam Gereja Katolik, perkawinan adalah sakramen. Melalui sakramen perkawinan, dianugerahkan rahmat yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan perkawinan. Adapun salah satu tujuan sakramen perkawinan adalah agar keluarga yang dibangun olehnya menjadi Injil –warta gembira bagi Gereja dan dunia– seperti keluarga Nazaret, Simeon dan Hana. Rahmat itu tak datang dengan sendirinya, tapi mesti selalu dimohon. Berikut ini adalah bagian doa yang ditawarkan dalam bagian terakhir pesan yang disampaikan Paus Fransiskus bersama dengan para peserta Sinode Luar Biasa mengenai keluarga pada Oktober 2014.

“Bapa, anugerahkanlah kepada semua keluarga, mempelai-mempelai yang kuat dan bijaksana, agar mereka menjadi dasar keluarga yang merdeka dan bersatu. Bapa, anugerahkanlah kepada semua orangtua, agar mereka mempunyai rumah tempat mereka boleh hidup dalam damai dengan keluarga mereka. Bapa, buatlah agar anak-anak menjadi tanda kepercayaan serta harapan dan agar orang-orang muda boleh memiliki keberanian untuk menempa komitmen kesetiaan seumur hidup.”

Renungan Rabu, 24 Desember 2014: Nama Besar

 
Pekan Biasa Khusus Adven IV
 
2Sam 7:1-5, 8b-12, 16; Mzm 89; Luk 1:67-79

Pernahkah Anda bercita-cita menjadi orang hebat, punya nama besar dan berkuasa? Sekiranya menjadi kenyataan, sampai berapa lama kehebatan dan kebesaran itu dapat Anda nikmati? Lalu masih dapat dikenang berapa lama oleh anak cucu? Banyak orang terobsesi meraih nama besar dengan menempuh segala cara sampai mengorbankan hakikat dan makna hidup. Berjuang tanpa arah yang benar dan bekerja keras tanpa mencapai tujuan. Betapa melelahkan bukan? Kemegahan dunia dan kejayaan manusia akan lenyap.

Tuhan memiliki rancangan dan Ia hendak bertindak atas kita seperti yang Ia janji kan kepada keturunan Daud melalui Nabi Natan, “Aku membuat besar namamu seperti nama orang-orang besar yang ada di bumi.... Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan- Ku, takhtamu akan kokoh untuk selama-lamanya” (7:9,16). Allah menawarkan yang tak bisa diberikan dunia kepada kita; kebesaran yang kokoh, kejayaan abadi, dan kemuliaan kekal.

Imanuel, Allah beserta kita, menghidupkan bumi dengan kuasa-Nya yang tak akan sirna dan melindungi manusia dengan nama-Nya yang besar untuk selama-lamanya. Dialah Sang Surya Pagi yang memancarkan terang bagi bangsa-bangsa yang hidup dalam kegelapan. Dari tempat- Nya yang mahatinggi, Dia akan melawat kita. Maranata! Datanglah Tuhan!


Renungan Sabtu, 20 Desember 2014: Bersedia Ikut Serta

 
Hari Biasa Khusus Adven III
 
 Yes 7:10-14; Mzm 24; Luk 1:26-38

“Ecce ancilla Domini fiat mihi secundum verbum tuum” (Luk 1,38). Inilah kata-kata yang menutup dialog antara Maria dengan Malaikat Gabriel yang kemudian menjadi sangat terkenal dan mengilhami banyak orang. Tiga kali dalam sehari kita mendaraskan dalam doa Angelus. Jelas, kata-kata ini merupakan kesediaan untuk ikut serta dalam karya Tuhan dengan segala risiko. Bunda Maria tentu mengungkapkan kalimat ini setelah dia menimbang-nimbang kata-kata malaikat yang mendatangi dia.

Seperti yang saya renungkan pada hari-hari ini, Tuhan tampaknya membutuhkan kerja sama manusia untuk dapat mewujud kan karya keselamataan-Nya. Seandai nya Bunda Maria menolak, Tuhan tetap tidak akan merampas kebebasan manusia untuk menyatakan pendapat. Tapi meskipun demikian, kita tetap boleh yakin bahwa karya Tuhan tetap akan terwujud karena “tidak ada satu pun dari firman-Nya itu yang dibiarkan-Nya gugur” (bdk. 1Sam 3,19). Tetapi ketika Bunda Maria mengungkapkan fiat-nya, maka ini merupakan keputusan dewasa yang lahir dari kemerdekaan yang murni untuk bekerja sama dengan Allah, dengan segala risiko yang mengiringi. Kalau sudah demikian, tak ada lagi tempat untuk mengeluh dan mempersalahkan pihak lain!

Lalu? Tuhan sangat menjunjung tinggi manusia dengan kebebasan. Persoalannya, bagaimana kita mau memanfaatkan kebebasan ini? Untuk kemuliaan Tuhan atau untuk kemuliaan kita?

Renungan Jumat, 19 Desember 2014: Yohanes Pembaptis

 
Hari Biasa Khusus Adven III
 
Hak 13:2-7.24-25a; Mzm 71; Luk 1:5-25

Yohanes Pembaptis yang kelahirannya dinubuatkan dalam Injil hari ini merupakan tokoh yang secara khusus memper siapkan kedatangan Yesus. Ia menjadi contoh orang yang bisa melayani Yesus, mempersiapkan jalan bagi Yesus. “Ia menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya” (Luk 1:17). Seruan pertobatan yang ia warta kan mempersiapkan orang untuk menyambut Sang Terang sejati “yang sedang datang ke dalam dunia” (bdk. Yoh 1:8).

Rencana keselamatan Allah yang memasuki babak penting dengan kelahiran Yesus ke dunia ini masih perlu secara konkret diwujudkan di dunia ini. Masih dibutuhkan partisipasi banyak orang untuk ikut membangun Kerajaan Allah, se hingga semakin banyak orang bisa merasakan keselamatan yang dari Allah itu. Tanpa kecuali, semua mendapat kesempatan ambil bagian dalam karya agung ini. Yohanes Pembaptis menjadi contoh ideal, justru karena ia mengatakan “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh 3:30). Lalu? Menjadi seperti Yohanes Pembaptis memang bukan pilihan populer. Berani menerima tantangan ini?

Lalu? Menjadi seperti Yohanes Pembaptis memang bukan pilihan populer. Berani menerima tantangan ini?


Renungan Kamis, 18 Desember 2014: Sabda Jadi Daging

 
Hari Biasa Khusus Adven III
 
Yer 23:5-8; Mzm 72; Mat 1:18-24

Misteri inkarnasi, Firman yang menjadi daging, sungguh-sungguh merupakan misteri Allah yang turun ke dunia. Dia yang penuh kuasa rela turun menjadi manusia yang lemah dan sepenuhnya menggantungkan nasib kepada manusia. Ketakberdayaan Yang Kuasa ini sudah tampak sejak Sang Firman berada dalam gua garba Bunda Maria. Yusuf sudah mau menceraikan Maria, ketika ia mengetahui bahwa tunangannya hamil. Hanya oleh desakan Malaikat Tuhan, Yusuf bersedia mengambil Maria dan dengan demikian menjadi ayah Yesus secara hukum. Kelahiran Sang Firman ke dunia ini bisa terjadi, karena ada manusia yang bersedia melayani-Nya, meskipun mengurbankan kepentingan sendiri.

Sampai kini pun rasanya masih sama. Sesuai dengan janji-Nya, Tuhan Yesus masih tetap menyertai kita sampai pada akhir zaman (bdk. Mat 28:20). Akan tetapi, untuk melahirkan Sang Firman dalam kehidupan manusia zaman modern ini, diperlukan orang-orang yang bersedia mengurbankan diri dengan menjadi tangan, kaki, atau bibir Tuhan untuk mendatangi dan menyapa sesama. Dulu, Maria dan Yusuf yang bersusah payah berkurban untuk menghadirkan Yesus di dunia. Sekarang, orang Kristen juga mesti bersusah payah menampakkan Yesus di dunia ini melalui hidup dan tindakan.

Lalu? Semoga Natal nanti menjadi kesempatan bagi kita untuk bersama Ibu Maria dan Bapa Yusuf melahirkan Sang Penyelamat dalam hidup kita sehari-hari.


Renungan Rabu, 17 Desember 2014: Silsilah Yesus

 
Hari Biasa Khusus Adven III
 
Kej 49:2.8-10; Mzm 72; Mat 1:1-17

Silsilah biasa ditulis mundur, dari generasi sekarang sampai ke nenek moyang. Demikian juga dengan silsilah Tuhan Yesus. Dari Tuhan Yesus, orang lalu merunut kebelakang dan menyusun silsilah. Dikatakan bahwa masing-masing ada empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud, dari Daud sampai pembuangan Babel, dan dari pembuangan Babel sampai Kristus (ay. 17).

Melalui silsilah itu, mau dinyatakan betapa Allah dengan sabar mempersiapkan rencana-Nya dengan sangat rinci dan persis. Kalau diperhatikan, juga tampak bahwa nenek moyang Tuhan Yesus bukanlah para tokoh istimewa yang menjadi pahlawan pada setiap generasi. Bahkan, ada juga orang-orang yang di kenal justru karena dosanya. Daud dan Salomo adalah raja-raja besar yang juga berbuat dosa besar. Tetapi ternyata dosa manusia tidak harus menjadi penghalang mewujudkan rencana keselamatan Allah. Logika Allah tidak sama dengan logika manusia.

Lalu? Masing-masing dari kita mempunyai tempat dan peranan juga dalam sejarah keselamatan Allah. Apakah kita menyadari dan berusaha mewujudkan?

Renungan Selasa, 16 Desember 2014: Mewujudkan Iman

 
Pekan Adven III
 
 Zef 3:1-2.9-13;Mzm 34; Mat 21:28-32

Sebenarnya ada masalah tekstual dalam bacaan hari ini. Coba periksa Alkitab Anda! Apa sebenarnya jawaban dari anak yang pertama kali ditanya bapa nya? (ay. 29). Menjawab ‘Aku tidak mau’, tapi ia berangkat atau menjawab ‘ya’, tapi tidak berangkat? Lalu, siapa di antara mereka yang dinilai melakukan kehendak bapanya? (ay. 31). Yang pertama atauyang terakhir? Lectionarium dan Alkitab yang dimiliki oleh kebanyakan dari Anda berbeda dengan Perjanjian Baru edisi revisi yang terbit 1997.

Kesempatan seperti ini tentu bukan saat untuk menjelaskan persoalan teks seperti itu. Cukup bagi kita untuk menegaskan bahwa teks manapun yang diambil, perumpamaan ini mau menunjuk kan bahwa mengatakan ‘ya’ kepada Tuhan, mesti diiringi dengan langkah-langkah hidup yang sesuai. Menjadi Kristen bukan sekadar menerima Sakramen Baptis, tetapi juga cara menghidupi iman Kristen itu. Mesti ada keselarasan antara yang diungkapkan di bibir dan yang diwujudkan dalam hidup sehari-hari.

Lalu? Masa Adven rasanya merupakan kesempatan yang tepat untuk merenung. Kita bersiap merayakan kelahiran Tuhan mungkin dengan macam-macam kegiatan. Tetapi apakah Tuhan juga lahir dalam hidup keseharian kita?

Renungan Sabtu, 13 Desember 2014: Elia yang Baru

 
Pw S. Lusia, PrwMrt.
 
 Sir 48:1-4,9-11; Mzm 80; Mat 17:10-13

Santa Lusia adalah martir kemurnian. Ia meninggal pada usia yang masih muda. Latar belakang keluarga Katolik yang saleh membuat Lusia setia dalam iman serta mempertahankan kemurnian demi kasih kepada Kristus. Ia tekun berdoa dan menolong orang-orang miskin. Santa Lusia bagaikan Elia yang baru pada zamannya.

Bacaan hari ini mengingatkan kita pada sosok Nabi Elia. Dalam Perjanjian Lama pernah disebutkan bahwa Elia akan datang lebih dulu sebelum kedatangan Mesias. “Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari Tuhan yang besar dan dahsyat itu” (Maleakhi 4:5). Akan tetapi, Yesus memberitahu para murid bahwa yang dimaksud Nabi Elia janganlah diartikan secara harfiah sebagai kedatangan personal Elia.

Yohanes Pembaptis adalah Elia yang baru pada zaman Yesus yang datang mendahului- Nya. Banyak orang tidak mengindahkan, bahkan bertindak seenaknya terhadap Yohanes Pembaptis. Namun banyak pula yang mendengarkan dia dan turut mempersiapkan kedatangan Tuhan. Bagaimana dengan kita pada zaman sekarang? Apakah kita cukup peka untuk melihat dan mendengarkan seruan Elia yang baru?

Renungan Jumat, 12 Desember 2014: Memperhatikan Tuhan


Pekan II Adven

Yes 48:17-19; Mzm 1; Mat 11:16-19

Dalam Kitab Yesaya dikatakan, “Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah- Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti” (Yes 48:18).

Pada masa Adven ini, kita diberi kesempatan untuk memperhatikan Tuhan secara khusus. Pada pengujung tahun, saat ada masa liburan dan umat beriman antusias mempersiapkan hari raya Natal, saat ini lah semangat kita untuk memperhatikan Tuhan lebih menyala. Kebersamaan dalam keluarga juga lebih terasa menjelang Natal. Maka, gunakanlah kesempatan ini untuk lebih memperhatikan anggota keluarga.

Jangan lupa juga memperhatikan masyarakat di sekitar kita, terutama mereka yang kekurangan dan sedang menderita. Sebab, kita pun memperhatikan Tuhan melalui mereka. Saat kita sungguh memperhatikan Tuhan, Ia akan menuntun untuk melakukan yang benar menurut ke hendak-Nya. Dengan begitu, hidup kita selalu diberkati, karena dekat dengan-Nya. Lewat Injil hari ini, Yesus mengajarkan untuk selalu memperhatikan dengan benar dan bertindak dengan bijaksana. Percayalah bahwa kita akan dipenuhi dengan damai sejahtera dan kebahagiaan setiap hari, bila kita lebih memperhatikan-Nya. Mampukah aku menjadi pribadi yang memperhatikan Tuhan, keluarga, dan masyarakat?

Renungan Kamis, 11 Desember 2014: Berani Aktif

 
Pekan II Adven
 
Yes 41:13-20, Mzm 145; Mat 11:11-15

Yesus pernah mengatakan, “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!” Seruan ini keras sekaligus menguatkan. Ia ingin supaya orang-orang beriman mengambil bagian secara aktif dalam transformasi Gereja yang berlangsung terus-menerus. Kalau masih banyak keluarga Katolik yang belum berani terlibat aktif dalam hidup menggereja dengan berbagai alasan, mestinya mereka jangan takut, sebab Tuhan sendiri yang memegang tangan kanan umat-Nya dan menolong mereka. Langkah pertama yang paling penting adalah berani menyediakan waktu.

Pembelajaran yang hebat adalah ada keluarga-keluarga Katolik yang meskipun sedang menghadapi tantangan dan cobaan hidup yang berat, masih mau menyediakan waktu untuk aktif dalam kegiatan menggereja. Mereka mampu melakukan dengan keberanian, iman, dan kasih. Mereka tidak menganggap beban hidup sebagai penghalang untuk melayani Tuhan dan sesama. Bagaimana dengan kita? Apakah kita dan keluarga kita sudah berani aktif melayani Tuhan dan sesama?

Renungan Rabu, 10 Desember 2014: Kekuatan Baru

 
Pekan II Adven
 
 Yes 40:25-31; Mzm 103; Mat 11:28-30

Tantangan terbesar dalam sebuah keluarga adalah kesetiaan, baik itu kesetiaan antara suami dan istri maupun antara orangtua dan anak. Keluarga membutuhkan iman yang kuat, kerendahan hati, kepedulian, dan waktu yang berkualitas dalam keluarga. Namun, tuntutan hidup dan berbagai godaan seringkali menjadi alasan berkurangnya waktu untuk memperhatikan keluarga. Kalau sudah begitu, biasanya sangat mudah terjadi perselisihan. Beban pribadi dan keluarga yang dipikul pasti terasa berat.

Bacaan hari ini mengingatkan kita untuk selalu berharap kepada Tuhan, menanti kan pertolongan-Nya yang memberikan kekuatan baru bagi kita untuk mengatasi segala beban hidup di dunia. Dengan kekuatan baru dalam iman, harapan, dan kasih, kita dikuatkan untuk memikul salib kita tanpa kenal lelah.

Yesus tidak bermaksud mengangkat semua beban hidup kita. Ia ingin, kita tetap berusaha. Ia memberi pertolongan kepada orang yang mau datang kepada-Nya. Pertolongan itu berupa sarana untuk memikul beban yang dalam perumpamaan disebut kuk. Sarana yang dimaksud Yesus adalah iman, harapan, dan kasih yang akan membantu kita melihat dan merasakan belas kasih Allah dalam kehidupan kita. Yesus adalah Guru yang sabar dan rendah hati, Ia senantiasa mengajarkan untuk mau berkurban dan saling memaafkan. Inilah panggilan bagi keluarga-keluarga kristiani yang sejati.

Renungan Selasa, 09 Desember 2014 : Melawat Umat-Nya

 
Pekan II Adven
 
Yes 40:1-11; Mzm 96; Mat 18:12-14

Siapa yang tidak senang jika di kunjungi orang yang sangat dikasihi? Pasti kita akan mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum bertemu. Begitu pula dengan orang-orang yang mengasihi Tuhan. Mereka akan mempersiapkan diri untuk kedatangan-Nya. Meski tidak ada yang tahu kapan Tuhan akan datang, namun kuncinya adalah kesetiaan karena iman.

Tuhan tidak terlihat, tapi Tuhan selalu setia kepada umat-Nya. Ia menjanjikan keselamatan bagi seluruh umat manusia. Ia mau turun ke dunia untuk melawat umat-Nya. Tidak hanya melawat, tapi Ia tinggal, melayani, dan menebus dosa-dosa umat manusia. Ia juga tidak memilih siapa yang akan diselamatkan. Justru, Ia datang mencari dan memberi perhatian khusus kepada orang-orang berdosa.

Yesus datang ke dunia dengan misi mencari dan menyelamatkan yang hilang (Luk 19:10). Ia memanggil orang-orang yang dikucilkan dan tidak terhormat (Mat 9:13). Sikap Yesus inilah yang harus kita perbuat kepada orang-orang di luar Gereja, misal kepada masyarakat yang terpinggirkan. Apakah kita hanya sibuk dan nyaman melayani keluarga sendiri, atau kita juga berani menyelamatkan sesama yang terpinggirkan?

Renungan Senin, 08 Desember 2014: Hidup Suci

 
Hari Raya SP Maria Dikandung Tanpa Noda
 
Kej 3:9-15, 20; Mzm 98; Ef 1:3-6,11-12; Luk 1:26-38

Kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa disebabkan godaan iblis. Sejak itu, Allah mengadakan permusuhan antara iblis dengan manusia. Tapi sayang, manusia sepertinya lebih mudah berteman dengan iblis, daripada bermusuhan dengan iblis. Banyak godaan dalam pikiran dan perasaan yang membuat manusia sulit hidup suci luar dalam, begitu juga dalam keluarga. Tantangan dan cobaan bagaikan bayangan gelap yang sering muncul dalam rumah. Jika ditanggapi, bayangan gelap itu akan melahirkan dosa dan merusak keharmonisan keluarga.

Namun, Allah tetap mencintai manusia. Ia selalu ingat janji setia kepada umat- Nya. Manusia yang meyakini janji setia Allah akan melihat keselamatan. Sebab sesungguhnya manusia memperoleh jalan kepada pembebasan dan keselamatan sejak Allah menciptakan manusia, diingat kan melalui kedatangan Kristus, dan di penuhi pada saat kebangkitan-Nya.

Allah menciptakan manusia kudus dan tanpa cacat sejak semula. Manusia yang setia menjaga kekudusan pasti beroleh kasih karunia Allah. Bukti nyatanya adalah Bunda Maria. Penyertaan Tuhan atas Bunda Maria memberi kekuatan sebagai Bunda Kristus sekaligus Bunda Gereja. Kunci hidup suci meneladan Bunda Maria adalah kerendahan hati dan kedekatan dengan Tuhan. Teladan ini harus dimulai pertama-tama dari lingkup keluarga. Apakah keluarga saya mampu bersikap rendah hati dan mau dekat dengan Tuhan?

Renungan Minggu, 07 Desember 2014: Sukacita dalam Roh Kudus

 
Minggu Adven II
 
Yes 40:1-5,9-11; Mzm 85; 2Ptr 3:8-14; Mrk 1:1-8

Pada akhir masa pembuangan di Babilonia, tanda-tanda kedatangan penyelamat Israel semakin dirasakan nabi Yesaya (Deutero Yesaya). Ia menyerukan warta sukacita Allah, “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku … ” (Yes 40:1). Nubuat itu terpenuhi ketika Koresh Agung, Raja Persia, mengeluarkan surat perintah yang mengizinkan orang Yahudi kembali ke Yerusalem (538 SM).

Yohanes Pembaptis pun merasakan kedatangan Sang Juru Selamat, Yesus Kristus kian dekat dan mempersiapkan jalan bagi-Nya. Nubuat itu terjadi ketika ia berjumpa dengan Yesus di Sungai Yordan. Bahkan, dialah yang membaptis-Nya. Namun, Yohanes sadar bahwa sesudah dia, akan datang Dia yang lebih berkuasa. “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus” (Mrk 1:8).

Apa artinya Yesus akan membaptis kita dengan Roh Kudus? Pertanyaan itu muncul dalam pikiran saya ketika Sidang Tahunan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2014, selama para uskup mempelajari Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium (EG). Buah pembelajaran para uskup tertuang dalam Pesan Sidang Tahunan KWI 2014. (Baca: http://www.hidupkatolik.com/2014/12/05/pesan-sidang-tahunan-2014-kwi).

“Sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus” (EG. 1). Perjumpaan dengan- Nya menjadi alasan utama mengapa murid- Nya mewartakan sukacita Injil kepada orang lain. Panggilan menjadi murid memuat tugas perutusan untuk membangun persaudaraan baru. Kepada para murid, Yesus telah memberikan amanat perutusan Tuhan, “…pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Mat 28:19). Agar Kerajaan Allah hadir secara nyata dan Injil tetap diwartakan, Kristus mendirikan Gereja- Nya, himpunan orang beriman Kristiani berkat baptisan air yang menjadikan seseorang anggota Gereja, Tubuh Kristus. Kita berdoa dan bersyukur karena rahmat-Nya, Gereja tumbuh, berakar, mekar, dan berbuah di Indonesia.

Kristus membaptis dengan Roh Kudus (bdk. Mrk 1: 8). Roh Kudus mengubah manusia lama yang dikuasai dosa menjadi manusia baru, yakni kepada mereka yang menerima maupun yang tidak menerima baptisan air. Bagaimana Roh Kudus bekerja ditegaskan oleh Bapa Suci: “Roh Kudus dapat dikatakan memiliki kreativitas tak terbatas, tepat untuk pikiran ilahi, yang tahu bagaimana melonggarkan simpul-simpul permasalahan manusia, bahkan yang paling rumit dan sulit dipahami” (EG.178).

Roh Kudus yang bekerja dalam diri Yesus memampukan- Nya untuk melaksanakan kehendak Allah secara tuntas dengan bersedia menapaki jalan salib menuju kematiaan-Nya di Golgota. Di puncak Golgota, Yesus Kristus diakui sungguh Anak Allah (bdk. Mat 27:54). Dalam Yesus, kita menemukan pola hidup sebagai Anak Allah, pola dasar untuk membangun persaudaraan sejati dengan siapa saja dan apa saja. Bagaimana persaudaraan sejati itu dibangun di Indonesia? Dalam Pesan Sidang para Uskup ditegaskan: “Di bumi Indonesia yang majemuk, beriman berarti beriman dalam kebersamaan dengan yang lain, yang berbeda agama, suku, ras dan golongan. Dialog antaragama memerlukan sikap terbuka terhadap kebenaran dan terhadap kasih” (EG.250). Membangun persaudaraan sejati tak cukup dengan sikap toleran, sekadar menerima yang lain karena ada, tapi dibutuhkan sikap kasih terhadap yang lain, dan saling menghormati untuk mewujudkan persaudaraan sejati antarsesama manusia dan semua makhluk, di mana Alllah menjadi Bapa bagi semua.

Dewasa ini, kita merasakan hembusan Roh Kudus yang bekerja secara kreatif untuk membangun bangsa Indonesia melalui orang-orang yang berkehendak baik. Bangsa Indonesia sedang merasakan tanda-tanda zaman dengan terpilihnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Kesediaannya untuk mengemban tugas kepemimpinan dengan semangat pelayanan dalam pemerintahan yang bersih menjadi harapan bagi banyak orang untuk membangun masa depan lebih baik. Kiatnya mengadakan revolusi mental merupakan ajakan pertobatan bagi seluruh bangsa untuk membangun Indonesia Baru.

Memasuki Minggu Adven II, marilah kita bersuka cita dalam Roh Kudus. Allah telah menitipkan pesan-Nya, “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku …” (Yes 40:1), karena ’ Sang Juru Selamat kita segera datang.

Renungan Sabtu, 06 Desember 2014: Inisiatif Allah

 
Pekan I Adven
 
 Yes 30:19-21,23-26; Mzm 147; Mat 9:35-10:1,6-8

Ketika pertama kali memanggil para murid, Yesus mengatakan, “Ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala ikan.” (Mat.4:19). Tugas menjadi ‘penjala ikan’ merupakan tugas pengadilan, yaitu memilah yang baik dan yang buruk, seperti digambarkan Mat 13:46-47.

Hal yang sama juga terkandung dalam ungkapan therismos (Yun. tuaian), yang dipakai Mat 9:37, 13:30, dan 13:39. Nuansa pengadilan dalam Kerajaan Allah sangat kuat. Seperti penjala, para penuai juga bertugas membuat pemisahan; menyimpan gandum yang baik ke dalam lumbung dan mencabut serta membuang ilalang ke dalam api. (Mat 13:30). Karena tugas pengadilan ini, maka pekerja tuaian tak dipilih oleh sistem manusia, tetapi oleh sistem illahi. “Mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Dia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu.” (Mat 9:38).

Panggilan menjadi Kristen, dengan tugas ikut serta dalam pengadilan Kerajaan Allah, bukanlah usaha atau inisiatif manusia. Keselamatan tak bisa diupayakan sendiri oleh manusia. Di sinilah, panggilan menjadi penuai menjadi sesuatu yang mengagumkan. Aksi panggilan yang paling tepat adalah ‘berdoa memohon kepada Allah untuk mengutus para penuai yang segera menjawab panggilan tersebut’..

Renungan Jumat, 05 Desember 2014: Kasihanilah Kami

 
Pekan I Adven
 
Yes 29:17-24;Mzm 27; Mat 9:27-31

Zaman kemajuan teknologi komunikasi telah memunculkan, yang oleh Bertram Gross (1964) disebut information overload. Orang banyak mendapatkan informasi, sehingga tak mampu lagi membuat keputusan. Ia menjadi ‘buta’, tak tahu arah bersikap, atau tak tahu prinsip yang harus dipegang. Yang kemudian terjadi, mengikuti trend tanpa harus berpikir, atau kembali kepada dirinya, menjadi narsis.

Dalam hal ini, penyembuhan mata dua orang buta dalam Mat 9:27-31 menjadi relevan. Kedua orang buta itu berteriak, “Eleson hemas” (Yun. kasihanilah kami). Sesuai artinya, dalam kata ‘eleos’ (belas kasih) terkandung perasaan hati yang sedih karena penderitaan. Kedua orang buta itu melihat kebutaan sebagai penderitaan yang tak dapat ditangani manusia. Maka, mereka mengandalkan masa depan kepada Yesus. Ada nuansa iman dalam teriakan, “eleson hemas”. Iman itulah yang kemudian menyembuhkan.

Satu dampak terbesar dari information overload adalah manusia tenggelam dalam lautan informasi. Tak ada lagi prinsip hidup atau iman kokoh yang menjadi acuan. Inilah situasi culture of death, kata St Yohanes Paulus II. Masalah ini tak cukup diatasi dengan kecanggihan ilmu. Yang dibutuhkan adalah kembali kepada Allah, di mana terdapat ‘segala sesuatu yang ada di bumi maupun di sorga’

Renungan Kamis, 04 Desember 2014: Dimensi Sosial Iman

 
Pekan I Adven
 
Yes 26:1-6;Mzm 118; Mat 7:21,24-27

Dalam ilmu bangunan, fondasi dasar merupakan yang paling utama. Ia menentukan masa depan bangunan beserta seluruh penghuninya. Hal yang sama berlaku bagi fondasi kehidupan. “Bila taufan melanda, lenyaplah orang fasik, tetapi orang benar tetap abadi kokoh berlandasan.” (Ams 10:25).

Dalam Mat 7:25, Yesus menunjukkan masa depan rumah kehidupan harus didirikan di atas petra (Yun. gunung batu). Dalam tradisi Perjanjian Lama, petra adalah gambaran kekuatan Allah. Yahwe adalah gunung batu keselamatan kita, kata Mzm 95:1. Ini berarti, kekuatan dan kehadiran Allah merupakan satu-satunya landasan setiap kehidupan Kristen. Namun, iman ini tak boleh berhenti dalam ucapan, tapi harus diwujudkan, sehingga iman akan kekuatan dan kehadiran Allah, memiliki dimensi sosial.

Ungkapan ‘mengikuti’ (Yun. akoloutheó) Yesus, memiliki arti ‘berada di belakang keleuthos (Yun. jalan)’ yang ditempuh Yesus. Ini berarti, seluruh hidup kita harus berjalan melalui dan dalam ‘tapak-tapak Yesus’, di mana terdapat seluruh karya, penderitaan, kematian, serta kebangkitan-Nya. Dalam tapak-tapak itulah, keselamatan terjadi.

Renungan Selasa, 02 Desember 2014 : Sujud Kepada Allah

 
Pekan I Adven
 
Yes 11:1-10;Mzm 72;Luk 10:21-24

Satu-satunya yang membuat Yesus bersyukur, karena Allah adalah Bapa- Nya. Ia juga minta agar para murid-Nya selalu mengimani Allah sebagai Bapa. Dialah Pencipta dan sekaligus Penguasa dunia dan sorga. Paulus mengatakan, “Aku sujud kepada Bapa, yang dari pada- Nya semua turunan dalam sorga dan di atas bumi menerima nama-Nya” (Ef 3:14-15). Sebagai Bapa, Allah selalu setia memberikan kasih dan concern-Nya, dalam situasi suka maupun duka.

Namun, dengan memakai dikotomi ‘orang bijak yang tak mampu mengimani ke-Bapa-an Allah’, dan ‘orang kecil yang diberi kurnia melihat pernyataan Allah’, Yesus memberi peringatan. Kesombongan bisa menjadi hambatan mengasihi dan memahami Allah sebagai Bapa. Kesombongan yang selalu memusatkan diri kepada ego dapat menutup manusia dari kebenaran Allah dan kebijakan hidup. Itulah yang dalam diri para malaikat yang jatuh dalam kesombongan (Why 12:7-9; Yud 1:6-7).

Sebaliknya, mereka yang rendah hati dan berhati sederhana, lebih mudah ‘merasakan’ kelembutan kehadiran Allah sebagai Bapa, yang datang seperti angin (Yoh 3:8). Tugas kita adalah memantulkan kembali sinar ke-Bapa-an Allah ini kepada sesama dan alam semesta.